logo
×

Kamis, 03 September 2020

Seorang Mualaf Santiago Paul Erazo Yang Terpikat Adzan di Indonesia

Seorang Mualaf Santiago Paul Erazo Yang Terpikat Adzan di Indonesia

DEMOKRASI.CO.ID - Sekilas, paras wajah lelaki ini tak ubahnya orang Indonesia pada umumnya. Namun, Santiago Paul Erazo Andrade, demikian namanya, sebenarnya berasal dari luar negeri. Ia lahir 40 tahun lalu di Quito, ibu kota Ekuador, sebuah negara di pesisir Amerika Selatan.

Di sana, ia tumbuh besar di tengah lingkungan keluarga yang terpelajar. Ayah dan ibundanya berprofesi sebagai guru dan dosen.Santiago kecil pun hidup dalam keluarga yang religius. Orang tuanya mengajarkan nilai-nilai agama (non- Islam) kepadanya sedari dini. Sejak masih kanak-kanak, ia bersama kakak nya mengenyam pendidikan di sekolah agama. Dibandingkan dengan anggota keluarganya yang lain, Santiago mengenang dirinya kala itu memiliki kepekaan spiritual yang lebih besar.

Santiago kecil mulai mencari siapa sesungguhnya Tuhan itu? Akan tetapi ia merasa tidak dapat menemukannya dalam kepercayaan yang ia anut saat itu. Merasa tidak yakin pada agama yang dianut keluarganya, ia pun memutuskan untuk tidak beribadah lagi.

“Suami saya waktu itu merasa yakin, ia memiliki Tuhan meski tidak pergi ke gereja. Dia sering menyendiri dan berdoa dengan caranya sendiri,” ujar istri Santiago, Dita Oktaria, menuturkan kisah masa lalu suaminya itu kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu.

Dita meneruskan, Santiago kemudian beranjak dewasa. Lelaki ini akhirnya menemukan minat pada dunia seni. Namun, kedua orang tuanya waktu itu memandag sebelah mata profesi seniman. Alhasil, Santiago pun terpaksa menuruti kemauan mereka, yakni mendaftar pada sekolah tinggi teknik industri.

Saat duduk di bangku kuliah, San tiago tidak melupakan kecintaannya terhadap seni. Secara tidak ter duga, hal tersebut membawanya bertemu seseorang yang menawarkan kunjungan studiwisata yang diadakan pemerintah Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Ke bu dayaan (Kemendikbud) RI membuka kesempatan bagi sejumlah mahasiswa asing untuk belajar selama satu tahun di kampus-kampus Indonesia.

Santiago mendaftar. Tak disangka, ia ternyata lulus seleksi. Dengan penuh sukacita, ia terbang ke Jakarta, untuk kemudian menjadi mahasiswa asing di Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah, pada tahun 2009. Itulah untuk pertama kalinya dirinya menginjakkan kaki di Nusantara.

Dengan tekun, ia mempelajari teknik membatik dan industri batik di Pekalongan. Setelah satu tahun, Santiago pun kembali ke Ekuador. Ia memutuskan untuk menjadi pengajar dan dosen di negara asalnya.

Dari luar, mungkin keadaan dirinya baik-baik saja. Namun, batin Santiago tetap merasakan kegundahan. Ia masih menganggap diri nya sedang mencari tambatan spiritual, untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang mengusik hatinya tentang eksistensi Tuhan.

Setelah beberapa tahun mengajar di Ekuador, Santiago merasa amat merindukan Indonesia. Dari tahun ke tahun, ia selalu mencari kesempatan untuk dapat kembali ke negara di khatulistiwa itu. Gayung bersambut. Kali ini, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) RI mengadakan beasiswa S-2 bagi para mahasiswa asing. Pada 2016, ia pun berhasil diterima di Institut Teknologi Bandung (ITB) Jawa Barat.

Berbeda dengan studi sarjana yang lalu, Santiago kali ini cenderung lebih bebas dalam memilih jurusan yang disukainya. Ia menempuh program studi seni rupa. Di kampus tersebut, ia berkenalan dengan banyak teman baru. Bahkan, sempat juga membentuk sebuah grup band musik.

Ketika menjalani studi di Bandung itulah Santiago mulai sering berkumpul dan membahas soal Islam. Hal pertama yang dia bicarakan dengan kawan-kawannya adalah tentang adzan. Bagaimana tidak? Lima kali dalam sehari gema panggilan sholat itu berkumandang melalui pengeras suara di masjid-masjid. Santiago bertanya-tanya mengenai arti dari adzan itu. Inilah langkah awalnya mempelajari Islam.

Semakin lama, ia merasa semakin yakin bahwa Islam-lah agama yang sesuai dengan prinsipnya selama ini mengenai eksistensi Tuhan.Yakni, Tuhan tidak mungkin sama seperti manusia yang menyembah-Nya.

“Rasanya, dari lubuk hati yang paling dalam, saya ingin belajar Alquran karena penasaran dengan arti dari bacaan indah itu. Saya juga berbincang dengan beberapa teman tentang Alquran. Lalu, sebelum bulan puasa 2018, saya ingin memeluk Islam,” ujar Santiago saat dihubungi Republika.co.id.

Saat mempelajari Alquran, sepanjang hari, Santiago hanya memutar lantunan ayat suci beserta terjemahan Alquran berbahasa spanyol dari YouTube. Sembari melakukan kegiatan sehari-hari, lantunan ayat suci tidak pernah lepas dari telinganya. Dalam satu hari, ia bahkan bisa khatam mendengarkan Alquran dari awal hingga akhir.

Hampir dua tahun lamanya Santiago mempelajari Alquran terjemahan. Namun, itu tidak cukup baginya. Ia semakin ingin mendalami isi kandungan Alquran tersebut.Melalui seorang kawan, Santiago kemudian diperkenalkan kepada seorang ustadz di Masjid Lembang, Bandung. Ia pun semakin sering berdiskusi untuk mendalami Islam.

Ustadz tersebut menyarankan agar Santiago menjadi Muslim agar dapat mendalami Islam dengan lebih baik. Ketika itu, Santiago belum berkenalan dengan istrinya saat ini.

Baru pada akhir April 2018, dia bertemu dengan Dita Oktaria, perempuan yang kini menjadi istrinya. Ketika itu, Santiago harus menyelesaikan tugas membuat jam otomatis.Karena membutuhkan bantuan ahli IT, ia pun memutuskan untuk mencarinya di Fakultas IT, tempat istrinya dahulu menempuh studi pascasarjana.

Takdir Allah menuntunnya mendatangi laboratorium tempat Dita sedang belajar. Karena Dita wanita yang percaya diri dengan kemampuan berbahasa Inggrisnya, Dita pun mencoba membantu Santiago mencari orang yang dibutuhkannya. Dari sanalah mereka menjalin hubungan pertemanan dan menjadi dekat.

Santiago memutuskan untuk menjadi mulaf di awal Mei 2018, sepekan setelah berkenalan dengan Dita. Pria itu berikrar secara resmi untuk memeluk Islam di sebuah mas jid di Lembang, Bandung.

Santiago memahami bahwa ketika dirinya mengucapkan sya ha dat untuk menjadi Muslim, artinya dia menjadi seperti bayi yang baru lahir, belum berlumur dosa. Karena tidak ingin berdosa dan tertarik untuk menikahi Dita, Santiago memutuskan untuk melamar Dita menjadi istrinya.

Namun, permintaan itu ditolak Dita. Perempuan asal Bengkulu itu masih merasa ragu dengan keseriusan Santiago. Mereka baru sepekan berkenalan dan Dita tidak mengetahui secara mendalam latar belakang Santiago.

Meski demikian, keduanya tetap berhubungan dekat. Setelah San tiago bersyahadat, Dita berniat membantu Santiago mendalami Islam sekaligus mengenal pria itu lebih dekat. Untuk itu, Dita mengajak Santiago mengunjungi kedua orang tuanya di Bengkulu.

Saat itu, kedua orang tua Dita hanya tahu jika hubungan putri mereka dan Santiago sebatas teman.Kedua orang tua Dita dengan senang hati membantu Santiago untuk belajar Islam. Ibunda Dita bahkan ikut membantu mengajarkan iqra kepada Santiago.

Karena bertepatan dengan bulan Ramadhan, Santiago sekaligus belajar berpuasa dan shalat bersama keluarga Dita. Perempuan ini juga mencarikan seorang ustaz yang biasa mem bimbing para mualaf di Bengkulu. Dengan begitu, Santiago dapat didampingi dalam mengkaji Islam.

Setiap hari selama di Bengkulu San tiago berusaha mendalami agama ini. Berpuasa pun ia jalani selama satu bulan–tanpa ada satu hari pun batal.

Kedua orang tua Dita merasa kagum dengan kesungguhan pria yang kini telah menjadi suami anaknya.Karena keduanya belum lulus ketika itu, kedua orang tua Dita meminta keduanya menikah setelah lulus pascasarjana.

Juli 2019, keduanya melangsungkan pernikahan di Bengkulu.Namun, kini keduanya tinggal terpisah karena Santiago harus merawat ayahnya yang menderita kanker dan harus mempelajari ilmu kesehatan un tuk merawat sang ayah di Ekuador. Sementara itu, Dita tetap di Ban dung karena masih memiliki pekerjaan. [ROL]
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: