logo
×

Sabtu, 17 Oktober 2020

Kejahatan Legislasi: Presiden dan DPR Masih Bisa Batalkan Omnibus Law

Kejahatan Legislasi: Presiden dan DPR Masih Bisa Batalkan Omnibus Law

 


DEMOKRASI.CO.ID - DPR mengakui masih terus melakukan “perbaikan” meskipun Rancangan Undang-undang Cipta Kerja sudah disahkan dalam rapat paripurna, sementara sejumlah akademisi menilai saat sudah disahkan seharusnya semua proses sudah selesai.

Sejak Februari lalu sampai 12 Oktober 2020 tercatat ada lima versi naskah RUU Cipta Kerja yang beredar di masyarakat.

Draft versi awal RUU itu terdiri dari 1.208 halaman dan diunggah di website resmi badan legislasi DPR.

Kemudian beredar draft versi 5 Oktober 2020 yang ramai didistribusikan melalui WhatsApp yang dikabarkan merupakan naskah yang dibahas saat paripurna sebelum disahkan.

Namun, pada 9 Oktober setelah RUU disahkan, kembali beredar draft sebanyak 1.052 halaman yang disebut-sebut merupakan penyempurnaan naskah paripurna.

Tiga hari kemudian, pada 12 Oktober, Sekjen Dewan Perwakilan Rakyat Indra Iskandar mengaku masih merampungkan finalisasi Undang-Undang Cipta Kerja dengan tebalnya mencapai 1.035 halaman.

Indra mengklaim tidak ada perubahan substansi pasal dalam UU Cipta Kerja sesudah disahkan dalam rapat paripurna DPR.

Naskah tersebut ternyata belum final, karena naskah yang akhirnya diterima oleh Kementerian Sekretariat Negara pada Rabu (14/10) berjumlah 812 halaman.

Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin menjamin tidak ada perubahan substansi selama perjalanan draf UU Cipta kerja menjadi final dengan 812 halaman.

Apa saja perbedaan dari tiga naskah UU Cipta Kerja?

Di tengah aksi unjuk rasa besar-besaran yang menolak omnibus law, perhatian yang luas dari masyarakat, serta di masa pandemi COVID-19, Herlambang mengingatkan Presiden dan DPR masih memiliki kewenangan konstitusional untuk membatalkan UU Cipta Kerja.

“Ini pernah kok terjadi dalam sejarah legislasi kita, pengalamannya dulu dengan UU Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan,” kata Herlambang.

Ia menambahkah kewenangan konstitusional itu biasanya “siapa yang memulai, maka dia juga yang mengakhiri.”

“Jangan dia yang memulai tapi yang mengakhiri menyuruh MK,” katanya.

Herlambang bersama sejumlah akademisi lain di Indonesia setiap hari selama dua minggu (14-27 Oktober) mengadakan Kuliah Bersama Rakyat yang membahas omnibus Cipta Kerja sebagai, yang disebutnya, “ikhtiar akademisi untuk kerja pencerdasan publik.”

“Kami akan kawal dan kumpulkan terus fakta demi fakta, termasuk perbedaan-perbedaan yang terjadi dari draft ke draft secara detil sesuai dengan keahlian masing-masing akademisi,” kata dia. 

Artikel Asli

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: