logo
×

Senin, 02 November 2020

Ketika Negara Jadi Perusahaan Dan Presiden Di Bawah Menteri

Ketika Negara Jadi Perusahaan Dan Presiden Di Bawah Menteri

Oleh:Adian Napitupulu

MENDENGAR talkshow Erick Thohir dan Karni Ilyas di salah satu channel YouTube terbaru membuat saya kaget luar biasa dan mengelus dada berkali-kali.

Dalam pernyataannya di menit ke-11 detik ke-20, Erick Thohir menyampaikan keinginanan agar nanti Kementerian BUMN tidak lagi menerima dana dari APBN, tapi cukup 1 persen dari pembagian Deviden. Menurut saya ini pernyataan berbahaya yang bisa mengubah negara menjadi perusahaan yang dibiayai oleh laba usaha semata-mata.

Ini bukan pernyataan main-main, ini pernyataan yang keluar dari mulut seorang menteri yang tentunya tidak bisa dianggap remeh karena terkait dengan konstitusi dan ideologi negara.

Baiknya Erick Thohir mempelajari bahwa mengelola negara itu bukan hanya sekadar berapa angka uang, tapi di dalamnya ada mekanisme konstitusi dan kontrol melalui parlemen, sehingga penentuan anggaran kementerian juga harus persetujuan DPR dan pemerintah, bukan main asal ambil 1 persen laba BUMN.

Negara bisa mendapatkan uang dari berbagai sumber, bisa deviden BUMN, pajak dan sebagainya. Semua uang itu tidak serta merta bisa dicomot begitu saja karena penggunaanya akan diatur melalui APBN yang dibuat bersama oleh DPR dan Pemerintah lalu menjadi UU dan berikutnya DPR diberi kewenangan juga untuk mengawasi penggunaan anggaran itu.

Mekanisme ini tidak bisa dilanggar walaupun deviden BUMN berjuta-juta kali lipat dari APBN.

Di sisi lain pernyataan ini menunjukan bahwa Menteri BUMN benar-benar tidak memahami apa itu APBN yang diatur dalam konstitusi, tidak mengerti tentang tata kelola negara dan BUMN sebagai badan usaha milik negara bukan Negara Milik Badan Usaha.

Saya tidak tahu apa maksud dari Pernyataan Erick Thohir, apakah pernyataan yang lahir dari ketidakmengertian atau dari kesombongan sebagai menteri yang mengelola aset terbesar.

Tapi apapun itu, saya berharap Erick Thohir tidak berniat meniadakan atau mengerdilkan peran DPR dan Presiden dalam menyusun anggaran kementriannya.

Pernyataan kedua di menit ke-34 detik ke-30, membuat saya cukup terganggu ketika Erick Thohir mengatakan bahwa presiden juga titip komisaris. Saya berharap maksud Erick Thohir bukanlah presiden “menitip” tapi “memerintahkan” untuk menempatkan.

Kenapa demikian, makna kata “menitip” dan “memerintahkan” adalah dua hal yang sangat berbeda. Kata menitip menempatkan presiden sebagai pemohon dan Erick Thohir sebagai penentu.

Melalui pernyataannya itu, Erick Thohir menempatkan dirinya seolah berada di atas presiden atau dengan kata lain presiden lah yang menjadi pembantu dan Erick yang menjadi presiden.

Sekali lagi saya tidak mengerti kenapa ucapan yang memutarbalik posisi menteri dan presiden itu bisa diucapkan. Apa maksud dan tujuannya? Apakah ucapan itu ekspresi spontan dari imajinasi terpendam untuk menjadi capres 2024 atau tidak, saya juga tidak mengerti.

Saya berharap telinga saya salah mendengar atau nalar saya salah memaknai apa yang saya dengar karena jika kedua pernyataan yang saya dengar tidaklah salah dan alur nalar saya juga tidak salah maka boleh jadi kedua pernyataan itu merendahkan dua lembaga negara, yaitu DPR dan presiden.

Saran saya Erick Thohir sebagai menteri BUMN perlu meluruskan atau meralat atau melengkapi pernyataannya yang di tonton oleh sekian banyak orang agar tidak ada salah persepsi terkait pernyataan itu.

Tapi jika Erick Thohir merasa yakin bahwa pernyataannya sudah sesuai dengan konstitusi dan mekanisme ketatanegaraan maka mungkin ini bisa menjadi diskusi menarik dengan para pakar tata negara, konstitusi termasuk dengan para legislator.

(Sekjen Pena ‘98)

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: