logo
×

Senin, 23 November 2020

Panglima Sebut Negara Perlu Atur Dunia Maya, Rizal Ramli: Bukan Tugas TNI Cawe-cawe Urusan Sipil

Panglima Sebut Negara Perlu Atur Dunia Maya, Rizal Ramli: Bukan Tugas TNI Cawe-cawe Urusan Sipil

DEMOKRASI.CO.ID - Dalam webinar bertajuk 'Sinergi Anak Bangsa dalam Menjaga Keutuhan Bangsa dan Negara dari Aksi Separatisme di Dunia Maya' pada Sabtu, 21 November 2020, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyebut kini dunia maya telah menjadi arena perang informasi dan propaganda.

Untuk itulah, menurutnya, perlu dibuat aturan tertentu yang mengatur cara masyarakat beraktivitas di dunia maya agar tak sampai membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa.

"Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus mengakui media sosial dapat dimanfaatkan sebagai media propaganda," tuturnya, seperti dilansir dari keterangan tertulis Puspen TNI.

Terang saja pernyataan Panglina TNI tersebut menimbulkan pro-kontra. Beberapa pihak mendukung Panglima Hadi Tjahjanto namun tak sedikit yang menyebut hal tersebut bukan wilayah TNI.

Salah satu yang berpendapat demikian ialah pakar ekonomi Rizal Ramli.

Melalui akun twitternya @RamliRizal, ia mengatakan bukanlah tugas TNI untuk mengatur dinamika masyarakat sipil.

"Mas Hadi, Panglima TNI, ini mah sudah kejauhan. Bukan tugas TNI ngatur dinamika masyarakat sipil," tuturnya, seperti dilansir dari twitter @RamliRizal pada Senin, 23 November 2020.

Lebih lanjut, menurutnya, TNI harus lebih berfokus pada serangan siber dari negara-negara lain yang dapat mengancam pertahanan NKRI.

"TNI perlu siapkan counter cyber war, untuk hadapi ancaman perang cyber dari negara-negara lain. Bukan cawe-cawe urusan sipil," tambahnya.



Rizal Ramli memang dikenal kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Belakangan, ia juga sempat mengkritisi semakin membengkaknya utang luar negeri Indonesia.

Melalui cuitan yang diunggah pada 19 November 2020 lalu, secara tegas ia mempertanyakan ke mana arah strategi dan kebijakan ekonomi Indonesia.

"Mas Jokowi, mau dibawa ke mana RI? Surat utang bunganya semakin mahal. Untuk bayar bunga utang saja, harus ngutang lagi. Makin parah. Makanya mulai ganti strategi jadi 'pengemis utang bilateral' dari satu negara ke negara lain. Itu pun dapatnya recehan, itu yang bikin 'shock'," tulis pria kelahiran Padang, 10 Desember 1954 tersebut. ***

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: