logo
×

Kamis, 17 Desember 2020

Pemenang Pilkada Medan Bukan Bobby Nasution, tapi Golput

Pemenang Pilkada Medan Bukan Bobby Nasution, tapi Golput

DEMOKRASI.CO.ID - Muhammad Bobby Afif Nasution akhirnya menang di laga Pilkada Medan 2020 versi resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menantu Presiden Joko Widodo yang berpasangan dengan Aulia Rachman ini mendapatkan suara 53,5 persen dari total 4.303 TPS se-Kota Medan--awalnya hanya 4.299.

Total suara hingga 100 persen terakhir dihitung pada Senin (14/12/2020) malam pukul 18.39 WIB.

Bobby dan Aulia mengalahkan pasangan Akhyar Nasution dan Salman Alfarisi yang hanya mendapatkan angka 46,5 persen dari total suara. Dengan demikian selisih keduanya 7 persen.

Jumlah suara yang diperoleh Bobby-Aulia sebanyak 393.533 suara, sedangkan Akhyar-Salman 342.480. Totalnya hanya 736.013 suara, padahal jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di kota tersebut mencapai 1.601.001. Ada 864.988 orang yang tidak menggunakan hak suaranya pada hari pemilihan 9 Desember lalu, lebih banyak dua kali lipat dari pemilih Bobby-Aulia.

Dalam konteks politik Indonesia, warga yang tidak memilih, terlepas apa motivasi dan penyebabnya, biasa digolongkan sebagai golongan putih alias golput.

Di TPS tempat Bobby mencoblos pun suara golput lebih banyak.

Jumlah golput ini belum termasuk mereka yang karena beberapa perkara teknis lain menjadi tidak terdaftar, salah duanya karena belum merekam e-KTP dan baru berumur 17 tahun dan tak mendaftarkan diri.

Dari total suara yang masuk pun belum diketahui ada berapa yang rusak atau dinyatakan tidak sah, seperti yang terjadi di beberapa daerah.

Angka golput yang tinggi ini sebenarnya adalah kelanjutan dari tren serupa dalam setidaknya dua pilkada terakhir. Pada 2010, misalnya, warga yang mencoblos hanya sekitar 38 persen. Begitu juga dengan 2015 lalu, hanya 25,38 persen. Golput mencapai sekitar 74 persen.

Dalam pilkada terakhir partisipasi warga memang cenderung naik. Angkanya mencapai 45,97 persen. Namun tetap saja golputlah yang terbanyak: 54 persen.

Mengapa Banyak Golput?

Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti mengatakan tren rendahnya partisipasi pemilih di Medan disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya terkait kinerja penyelenggara pemilu sendiri yang seharusnya bisa lebih masif dalam hal sosialisasi dan akurasi pendataan.

“Isu pendataan pemilih ini seharusnya bisa diatasi oleh verifikasi faktual atau disebut pencocokan dan penelitian (coklit) oleh petugas lapangan. Tapi ini memang selalu ada kendalanya, dan semakin sulit dilakukan di masa pandemi,” kata Puput, sapaan akrabnya, saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu (16/12/2020) malam.

Faktor lain kemungkinan karena calon masih terkait dengan Pemerintahan Kota Medan periode sebelumnya yang kinerjanya dinilai tak banyak memberikan dampak terhadap warga. Warga jadi merasa tak ada beda antara memilih atau tidak.

“Bisa saja antusiasme ini dipengaruhi oleh sosok calon yang ada, oleh kepuasan kerja pemerintah kota sebelumnya dan lainnya. Tentunya patut dicek kembali secara mendalam,” katanya.

Atas dasar itu pula dalam pemilihan tahun ini angkanya sedikit naik. Bobby sebagai menantu Jokowi turut memengaruhi. “Meskipun rendah, sesungguhnya ini kemajuan untuk Medan,” kata Puput.

Anggota Tim Pemenangan Bobby-Aulia, Ikrimah Hamidiy, menilai partisipasi pemilih di Pilkada Medan 2020 justru patut dibanggakan karena meningkat hampir dua kali lipat dari 2015 lalu. Dia juga mengatakan sekitar 55 persen yang tak menggunakan hak suara disebabkan banyak faktor, yang kebanyakan karena perkara teknis.

“Ada dua hal yang sangat penting. Pertama faktor COVID-19. Ada beberapa warga yang enggan keluar rumah atau ikut dalam kerumunan. Kedua, banyak warga yang terdata di Medan, tapi tinggalnya di luar Medan. Banyak kasus seperti itu. Otomatis terdaftar di DPT,” kata Ikrimah saat dihubungi Rabu sore.

Karena kendala utama ada di persoalan teknis, Ikrimah menepis anggapan bahwa minimnya partisipasi pemilih di Medan faktor utamanya karena ada gerakan golput yang aktif--tidak memilih karena alasan-alasan politis.

“Kenapa pilpres pada 2019 sampai 70-an persen di Medan, tapi pilkada kecil? Kenapa ada disparitas? Karena pilpres, kan, tidak mengenal tempat. Orang bisa nyoblos di mana saja,” katanya. “Golput itu bukan karena keinginan pribadi, tapi karena memang sistem yang masih kurang. Kalau memang ada kelompok golput, jumlahnya tidak signifikan.” []

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: