DEMOKRASI.CO.ID - Gerakan Anti Radikalisme Institut Teknologi Bandung (GAR ITB) dinilai telah melakukan standar ganda dalam menuding tokoh bangsa, Din Syamsuddin sebagai seorang yang radikal.
Pasalnya, jika radikal dianggap sebagai melawan pemerintahan yang sah, maka GAR ITB seharusnya tidak memasukkan orang-orang yang juga pernah terlibat melawan pemerintahan yang sah, seperti Fadjroel Rachman yang saat ini menjadi Jurubicara Presiden Joko Widodo.
"Yang menarik, di GAR ITB terselip nama Fadjroel Rachman, mantan aktivis dan jubir presiden," ujar peneliti Institut Riset Indonesia (Insis), Dian Permata kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (15/2).
Menurut Dian, sejumlah manuver yang dilakukan GAR ITB tidak dimasukkan secara jelas soal definisi radikal yang dilakukan Din Syamsuddin.
Sehingga, jika menggunakan terminologi radikal sebagai kegiatan melawan pemerintah sah, malah hal itu menjadi rancu.
"Lantaran melihat masuknya Fadjroel di Grup WA GAR ITB. Fadjroel pernah masuk di (Lapas) Nusa Kambangan lantaran menuntut pemerintahan sah saat itu. Jadi ini menjadi standar ganda," jelas Dian.
Dian pun juga curiga, jika ternyata GAR ITB sedang cek ombak atau mengukur dirinya sejauh mana titik eksistensi mereka berada dan bisa dikapitalisasi.
"Jika digunakan metafor rantai makanan biologis, maka mereka sedang mencari tahu posisi GAR ITB ada di mana di rantai makanan politik. Apakah posisi ular yang memakan tikus di sawah atau posisi elang yang memakan ular," terang Dian.
Padahal kata Dian, Din Syamsuddin sendiri merupakan orang yang pernah di lingkaran kekuasaan. Jika Istana menggunakan Din, maka pertanyaannya adalah kenapa beliau bisa ke luar masuk Istana dan bahkan menjadi orang kepercayaan.
“Masuk hingga menjadi orang kepercayaan di Istana tentu tidak mudah. Ada beragam tahapan. Dulu dikenal penelitian khusus (litsus). Metode yang sama tentu juga digunakan Istana sebelum menggunakan tenaga Din,” tuturnya.
Sehingga kata Dian, lebih baik GAR ITB menggunakan litsus yang dilakukan terhadap Din agar tidak terjadi standar ganda seperti terhadap Fadjroel.
"Sehingga tidak terjadi nilai standar seperti pada kasus Fadjroel," pungkasnya.[rmol]