logo
×

Selasa, 23 Februari 2021

Highlight Ekonomi Indonesia Lepas Landas Dari Resesi Ekonomi

Highlight Ekonomi Indonesia Lepas Landas Dari Resesi Ekonomi

Oleh: Fahmi Hafel

PROGRES pemulihan ekonomi akibat dampak Covid-19 oleh pemerintahan Jokowi menunjukan keberhasilannya, hal ini tercermin dari tidak terlalu dalamnya kontraksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2020 mengalami kontraksi sebesar 2,07 persen.

Dengan demikian, selama tiga kuartal berturut-turut di tahun 2020, tercatat mengalami pertumbuhan ekonomi minus namun menunjukan makin mengecil kontraksi yang terjadi dari 2Q20-4Q20.

Tentu saja hal tidak terlepas dari kinerja yang positif dari Komite PC19-PEN bentukan presiden Jokowi yang diketuai oleh Airlangga Hartarto, dimana pemerintah menanggapi krisis dengan cepat dengan berbagai tindakan bantuan untuk mendukung rumah tangga dan perusahaan, termasuk usaha kecil dan menengah.

Total dukungan pemerintah terkait Covid-19 berjumlah Rp 695 triliun, atau 4,4 persen dari PDB, dan termasuk bantuan langsung tunai, penyediaan sembako, jaminan, dan insentif pajak.

Pemerintah juga melakukan beberapa kebijakan dengn mengambil beberapa tindakan sementara yang luar biasa, yang mencakup penangguhan tiga tahun atas plafon defisit yang diberlakukan sendiri sebesar 3 persen dari PDB dan pembiayaan langsung bank sentral atas defisit tersebut.

Dalam pandangan IDM kebijakan fiskal yang berhati-hati dalam beberapa tahun terakhir telah memberikan ruang utama bagi langkah-langkah bantuan.

Defisit fiskal jauh di bawah batas atas selama dekade terakhir, dan ini menggambarkan dukungan untuk kebijakan fiskal yang berhati-hati di seluruh spektrum politik. Oleh karena itu, diyakini  pemerintah kemungkinan akan melanjutkan pagu defisit 3 persen dari PDB pada tahun 2023, sejalan dengan niat yang dinyatakan.

Pengeluaran pemerintah yang lebih tinggi dan pendapatan yang lebih rendah karena perlambatan ekonomi akibat dampak Covid 19 akan menyebabkan defisit fiskal meningkat menjadi sekitar 6,0 persen pada tahun 2020 dari 2,2 persen pada tahun 2019. Dan diperkirakan defisit akan menyempit menjadi 4,9 persen pada tahun 2021 dan 3,4 persen pada tahun 2022, karena sebagian besar dari Pengeluaran terkait pandemi merupakan yang bersifat sementara.

Terkait utang diperkirakan utang pemerintah umum akan meningkat menjadi 36,7 persen dari PDB pada tahun 2020 dari 30,6 persen dari PDB pada tahun 2019, dan mencapai puncaknya pada 39,1 persen dari PDB pada tahun 2022.

Baik beban utang maupun kenaikannya tahun ini (6 persen dari PDB) masih jauh lebih kecil dari median kategori 'BBB' sebesar 51,7 persen (9,5 persen dari PDB lebih tinggi dari tahun 2019).

Namun demikian, beban utang pemerintah, jika diukur sebagai rasio terhadap pendapatan pemerintah secara umum, lebih tinggi daripada beban utang pemerintah sejenis, yaitu 307,7 persen pada tahun 2020 (median BBB: 138,3 persen).

Dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak, termasuk pengembangan sistem IT yang lebih baik untuk memastikan penggunaan data yang tersedia secara optimal dalam mengoptimalkan pendapatan negara melalui pajak yang seiring waktu akan meningkatkan rasio pendapatan, yang terendah yaitu 11,9 persen pada tahun 2020.

Namun, penurunan bertahap dalam tarif pajak perusahaan antara tahun 2021 dan 2023, dari 25 persen menjadi 20 persen, kemungkinan akan memberi dampak peningkatan pendapatan dari tindakan lain dalam jangka pendek sebelum potensi keuntungan jangka menengah terwujud melalui masukny investasi yang lebih tinggi kedalam negeri.

Karena itu, IDM memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan mengalami rebound menjadi di 5,1 persen pada tahun 2021, sebagian didorong oleh inflasi dengan efek basis rendah, dan momentum pertumbuhan akan berlanjut di 5,4 persen pada 2022. Hal ini sebagian didukung oleh fokus baru pemerintah untuk melanjutkan pembangunan proyek infrastruktur strategis yang tertunda di tahun 2020.

Basis pendapatan yang rendah memperburuk tantangan pembiayaan pengeluaran terkait pandemi yang besar. Pemerintah menanggapi kebutuhan belanja yang lebih tinggi dengan menerapkan skema mirip dengan strategi modern monetary theory. Di mana Bank Indonesia (BI) akan membeli obligasi pemerintah di pasar perdana dan menanggung sebagian biaya bunga dari penerbitan utang tambahan.

Skema ini akan membantu mengurangi biaya bunga langsung pemerintah, dan dalam pandangan kami tidak mungkin menimbulkan tekanan inflasi dalam lingkungan kompresi permintaan tahun ini. Namun, skema mirip MMT yang banyak ditentang oleh ekonom ekonom kolot tersebut menimbulkan pertanyaan tentang pendekatan kebijakan Indonesia dalam jangka menengah.

Secara khusus, jika pembiayaan bank sentral diminta berulang kali, setelah tahun 2020, hal itu akan meningkatkan potensi campur tangan pemerintah dalam pembuatan kebijakan moneter, dan dapat merusak kepercayaan investor.

Hal ini dapat dikurangi dengan sikap kebijakan moneter Indonesia yang umumnya disiplin dalam beberapa tahun terakhir. Menurut kami bahwa sepanjang skema MMT tersebut bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada peningkatan lapangan kerja baru dan didorong oleh keadaan pandemi yang tidak biasa, skema ini harus terus dijalankan. Ketergantungan Indonesia pada pembiayaan portofolio luar negeri harus dikurangi.

Likuiditas eksternal, yang diukur dengan rasio aset eksternal likuid negara terhadap liabilitas eksternal yang likuid, juga lebih lemah dibandingkan dengan arus keluar portofolio yang tajam dan intervensi bank sentral menyebabkan penurunan cadangan devisa sebesar 10,7 miliar dolar AS menjadi 121,0 miliar dolar AS pada akhir Maret 2020.

Stabilisasi lingkungan keuangan global dan penerbitan obligasi pemerintah dalam mata uang asing sejak itu telah memfasilitasi BI membangun kembali cadangannya menjadi 135,1 miliar dolar AS  pada akhir Juli, mencakup 7,1 bulan pembayaran rekening giro, jauh di atas median rating 'BBB' yaitu 4,9 bulan.

Kami memperkirakan cadangan penyangga ini akan didukung oleh penyempitan defisit transaksi berjalan menjadi 1,8 persen dari PDB pada tahun 2020 dari 2,7 persen pada tahun 2019, mengingat tekanan permintaan domestik dan pemulihan nilai tukar perdagangan Indonesia sejak April.

BI telah menyediakan likuiditas ke sistem perbankan sebagai tanggapan terhadap pandemi dan memangkas suku bunga kebijakannya dengan total 100bp sejak Februari 2020 menjadi 4,0 persen. Diharapkan BI akan mempertahankan suku bunga tidak berubah, asalkan ekonomi tidak semakin memburuk, mengingat keinginan yang jelas untuk mencegah volatilitas rupiah. Eksposur pemerintah terhadap risiko sektor perbankan terbatas. Kredit swasta hanya mewakili 36,4 persen dari PDB dan rasio kecukupan modal sektor perbankan tetap kuat di 22,1 persen pada Mei 2020.

Pemerintah terus melanjutkan upaya reformasi strukturalnya, meskipun dalam beberapa bulan terakhir fokus kebijakan telah diarahkan pada krisis yang sedang dihadapi.

Yang akhinya bisa tercipta UU Ciptaker walau dengan susah payah di saat Covid 19 dimana UU tersebut berisikan peraturan yang terkait dengan lingkungan bisnis dan dilaporkan bertujuan untuk menyederhanakan kerangka peraturan, memudahkan pembebasan lahan, mengurangi jumlah item dalam daftar investasi negatif, dan memastikan fleksibilitas pasar tenaga kerja yang lebih besar.

Dalam pandangan Fitch, reformasi tersebut berpotensi mengangkat pertumbuhan ekonomi dan investasi asing langsung dalam jangka menengah, tergantung pada detail dan implementasinya. Sementara itu, peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, tetapi berada di peringkat ke-60.

Dampak pandemik Covid tidak sepenuhnya menggagalkan, rencana ambisius pemerintah untuk pembangunan infrastruktur selama beberapa tahun ke depan, termasuk pembangunan ibu kota baru yang diusulkan di Kalimantan Timur. Pembangunan infrastruktur sudah menjadi tujuan kebijakan utama selama masa jabatan pertama Presiden Joko Widodo,  ketika kemajuan dicapai pada sejumlah proyek, termasuk Proyek MRT bawah tanah di Jakarta.

Di mana Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memainkan peran penting dalam rencana ini dan telah meningkatkan leverage di neraca mereka sejak pertengahan 2017. Utang gabungan bruto BUMN meningkat menjadi 7,3 persen dari PDB pada Maret 2020 dari 4,7 persen dua tahun sebelumnya.

Tren ini kemungkinan besar akan berlanjut dalam beberapa tahun mendatang dan dapat menjadi ujian kemampuan untuk pemantauan risiko pemerintah untuk mengatasi kerentanan gagal bayar utang dari sejumlah BUMN.

(Direktur Executive Indonesia Development Monitoring)

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: