OLEH: WIDIAN VEBRIYANTO
Ajakan Presiden Joko Widodo kepada masyarakat untuk lebih kritis pada pemerintah disambut dengan pesimistis. Pasalnya, ajakan ini tidak sesuai dengan kenyataan bahwa tidak sedikit dari mereka yang kritis justru ditangkapi.
Contoh mutakhir adalah dua aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat yang harus berurusan dengan aparat setelah aktif melontar kritik kepada pemerintah.
Bahkan kini, ajakan Presiden Joko Widodo itu dianggap sebagai sebuah “jebakan Batman”. Seolah dipersilakan masuk, tapi berujung pada “penikaman”.
Strategi yang sempat juga dilakukan oleh pendiri negara komunis China, Mao Zedong. Di mana pada akhir tahun 1956 atau tujuh tahun setelah Tentara Merah berhasil mengalahkan perlawanan dari tentara nasionalis (saat ini menjadi Taiwan), sebuah kebijakan baru diumumkan Mao. Kebijakan itu bernama Kampanye Seratus Bunga.
Kebijakan ini memiliki motto yang bagus, yakni biarkan seratus bunga berkembang dan seratus pikiran yang berbeda-beda bersaing. Kritik diyakini bisa mendorong pemerintah berubah ke arah yang lebih baik.
Namun pada akhirnya, saat kalangan mahasiswa, pengamat politik, dan kaum intelektual memberanikan diri untuk mengkritik, Mau justru kelimpungan karena tidak menyangka bahwa permasalahan yang terjadi atas berbagai kebijakannya begitu banyak, sehingga kritik yang muncul juga banyak.
Kritik kemudian dianggap sebagai ancaman terhadap eksistensi Mao dan partai. Akhirnya pada Juni 1957, kampanye ini dihentikan dan 700 ribu intelektual kritis ditangkap pemerintah.
Kembali soal ajakan Jokowi. Keraguan tidak hanya dirasakan oleh kelompok kritis untuk bersuara lantang. Tapi juga dirasakan sejumlah tokoh bangsa.
Mantan pendamping Presiden Joko Widodo di periode pertama pun buka suara. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla secara gamblang bertanya mengenai cara agar mereka yang kritis tidak dipolisikan.
“Bapak presiden mengumumkan silakan kritik pemerintah. Tentu banyak yang ingin melihatnya, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi seperti yang dikeluhkan oleh Pak Kwik atau siapa saja,” tutur JK dalam sebuah acara yang digelar PKS.
Pertanyaan JK cukup mengagetkan. Pasalnya, JK merupakan tokoh yang pernah dekat dengan Presiden Jokowi. Singkatnya, JK seperti merasa ada yang berubah 180 derajat dari gaya kepemimpinan mantan walikota Solo itu. Minimal tidak sama seperti saat dia berada di samping mendampingi.
Apalagi dalam pernyataan itu, JK turut menjadikan keluhan ekonom senior Kwik Kian Gie sebagai bahan referensi orang mulai ketakutan menyampaikan kritik. Tentu pernyataan JK ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Sedikitnya mengindikasi bahwa kebebasan berpendapat mulai mengkhawatirkan.
Tak lama setelah JK, giliran Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berbicara mengenai kritik. Walau tidak secara tersurat mengomentari pernyataan Jokowi, kicauan SBY berisi tentang bagaimana kritik harus dihadapi.
Obat dan gula jadi perumpamaan SBY dalam memberi peringatan. Katanya, kritik walau pahit seperti obat harus tetap ditelan karena bisa mencegah atau menyembuhkan penyakit. Sementara gula memiliki rasa yang manis dan jika berlebihan memakannya bisa jadi penyakit.
Pertanyaan JK dan peringatan dari SBY ini tidak boleh dianggap angin lalu oleh Jokowi. Bagaimana pun keduanya pernah dua periode menjadi presiden dan wakil presiden, bahkan JK pernah jadi pendampingnya.
Jokowi tidak boleh lagi sebatas lips service dalam mempersilakan kaum intelektual, aktivis, dan mahasiswa menyampaikan kritik. Harus ada jaminan bahwa mereka yang kritik tidak diganggu atau dilaporkan ke polisi, sementara kritik yang disampaikan juga harus dipertimbangkan untuk jadi bahan referensi mengambil kebijakan.
Jokowi harus sadar bahwa The Economist Intelligence Unit (EIU) telah mencatat indeks demokrasi Indonesia berada peringkat ke-64 dunia dengan skor 6.3. Catatan ini merupakan yang terburuk dalam 14 tahun terakhir.
Dan yang harus diingat betul adalah jika kebebasan berpendapat kian terkungkung, maka hal itu menjadi tanda pemerintah mulai otoriter. Jika benar demikian, maka Jokowi harus belajar pada sejarah negeri ini dan pemimpin di negeri lain. Di mana mereka yang otoriter akan diadili oleh aksi jalanan dan berakhir sebagai catatan buruk sebuah rezim di negara yang pernah dipimpin. []