DEMOKRASI.CO.ID - Pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta DPR RI untuk merevisi UU ITE dianggap hanya manis di mulut. Sebab, di era kepemimpinan Jokowi, sudah puluhan aktivis yang masuk bui karena mengkritik pemerintah atau dilaporkan anak buahnya.
Hal tersebut dikatakan pengamat politik dari LAWAN Institute, Muhammad Mualimin, melalui keterangannya yang diterima Kantor Berita RMOLJabar, Selasa (16/2).
"Zaman Soeharto pengkritik diculik dan ditembak. Di era Jokowi, UU ITE jadi alat membungkam kritikus. Tidak mungkin Jokowi serius merevisi UU ITE, sebab dia menikmati undang-undang ini jadi alat gebuk oposisi. Pidato kemarin pasti hanya manis di mulut!" kata Mualimin.
Menurut Mualimin, sudah terlalu banyak tokoh dan aktivis yang jadi tumbal dari UU ITE. Semua terjerat kasus yang mirip. Yaitu mengkritik di media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, YouTube), lalu dilaporkan pendukung Jokowi. Atau polisi langsung menciduknya tanpa panggilan pemeriksaan terlebih dulu.
"Lihat saja kasus Mohammad Hisbun Payu di Solo, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, atau Marco Kusumawijaya. Indonesia ini aneh, sudah susah cari makan dan pekerjaan, mengkritik pemerintah pun jadi aktivitas yang berbahaya," ujar Mualimin
"Sebagai presiden, Jokowi harus menerima pujian dan kritik sekaligus. Itu konsekuensi demokrasi. Terlihat konyol kalau Pemimpin hanya mau yang manis-manis saja," sindirnya.
Selain cacatnya penerapan UU ITE, papar Mualimin, rezim Jokowi seolah membuat barikade politik hukum yang menjamin buzzer pemerintah kebal hukum.
Hal itu bisa dilihat dalam kasus Abu Janda dan Denny Siregar yang kebal laporan sehingga bebas ngomong apapun asal tak menyerang Jokowi.
"Ada orang baru mencuit kritik saja, besoknya langsung ditangkap. Sedangkan Abu Janda dan Denny Siregar, dilaporkan 10 kalipun belum tentu diperiksa. Ini namanya diskriminasi hukum. Pasal hukumnya sama, tapi kalau yang diadukan buzzer pemerintah, laporan mengendap," pungkasnya(RMOL)