DEMOKRASI.CO.ID - Panglima Militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing mengambil alih kekuasaan pemerintah setelah angkatan bersenjata (Tatmadaw) menahan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi dalam kudeta, Senin (1/2).
Selain Suu Kyi, militer juga menahan sejumlah pejabat pemerintahan sipil lain seperti Presiden Myanmar Win Myint dan sejumlah tokoh senior partai berkuasa, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pada Senin dini hari.
Beberapa jam setelah penahanan pejabat, Tatmadaw mengumumkan status darurat militer selama satu tahun melalui stasiun televisi mereka, Myawaddy TV.
Dalam pengumuman itu, militer juga menyatakan kekuasaan pemerintah Myanmar telah diserahkan kepada Jenderal Min Aung Hlaing.
Sebelum pemilu 2010, Myanmar memang telah lama dikuasai pemerintah junta militer yang hingga kini masih haus kekuasaan.
Pemerintah junta militer berlaku di Myanmar sejak kudeta 1962.
Pria 64 tahun itu mulai terjun ke dunia politik saat kuliah jurusan hukum di Yangon University pada 1972-1974.
"Dia (Aung Hlaing) terkenal tidak banyak bicara dan tidak sering mencuri perhatian," kata seorang rekan satu angkatan Aung Hlaing saat kuliah kepada Reuters.
Ketika mahasiswa lain bergabung dalam sejumlah demonstrasi, Aung Hlaing memilih untuk mendaftar dalam sekolah militer, Defence Service Academy (DSA). Ia berhasil masuk pada 1974 setelah tiga kali mendaftar.
Berdasarkan teman seangkatannya di DSA, Aung Hlaing terlihat seperti kadet biasa ketika mereka bertemu di acara reuni tahunan.
"Dia dipromosikan secara terstruktur dan pelan-pelan," kata teman sekelasnya itu.
Namun, ia mengaku terkejut ketika Aung Hlaing naik jabatan melampaui korps perwira.
Aung Hlaing mengambil alih kepemimpinan militer pada 2011 ketika Myanmar tengah dalam masa transisi menuju negara demokrasi.
Sejumlah diplomat di Yangon menuturkan ketika Suu Kyi menjabat sebagai pemimpin de facto pada 2016, Aung Hlaing terus mengubah dirinya dari seorang yang pendiam menjadi politikus dan tokoh masyarakat.
Pelanggaran HAM Rohingya
Sebagian besar pengabdiannya di militer juga dihabiskan memerangi pemberontak di perbatasan timur Myanmar hingga dirinya dikenal kerap melecehkan etnis minoritas.
Pada 2009, dia memimpin operasi di perbatasan Myanmar-China untuk memberangus kelompok separatisme.
Sosok Aung Hlaing kian disorot dunia ketika militer Myanmar diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia hingga genosida terhadap etnis minoritas Rohingya Rakhine.
Pada 2018, Facebook bahkan memblokir akun Min Aung Hlaing bersama 19 pejabat militer dan organisasi terkait untuk mencegah ketegangan etnis dan agama yang lebih lanjut di Myanmar.
Setahun kemudian, Twitter juga melakukan langkah serupa. Amerika Serikat bahkan menjatuhkan sanksi terhadap Aung Hlaing dan beberapa pejabat militer akibat pelanggaran HAM yang diduga dilakukan mereka.
Dugaan Korupsi
Selain kontroversinya terkait pelanggaran HAM, nama Aung Hlaing juga kerap terlibat dalam sejumlah dugaan tindakan korupsi terkait beberapa usaha keluarganya yang berpotensi memiliki konflik kepentingan.
Selain menjadi Panglima Militer Myanmar, Aung Hlaing merupakan pemegang saham utama Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) milik militer.
Putranya, Aung Pyae Sone, memiliki sejumlah perusahaan swasta termasuk Sky One Construction Company dan AUng Myint Mo Min Insurance Company.
Pada 2013, Pyae Sone mendapat izin pemerintah untuk menyewa tanah pemerintah di Yangon selama 30 tahun tanpa melalui tender tak lama setelah sang ayah menjabat sebagai panglima militer. Tanah itu dipakai untuk membangun restoran dan galeri seni kelas atas.
Selain itu, putri Aung Hlaing dan menantunya, Khin Thiri Thet Mon dan Myo Radana Htaik juga memiliki sejumlah bisnis besar di Myanmar. (*)