logo
×

Kamis, 04 Februari 2021

Pakar Hukum: Jerat Pidana Pendiri Pasar Muamalah Debatable dan Berlebihan

Pakar Hukum: Jerat Pidana Pendiri Pasar Muamalah Debatable dan Berlebihan

DEMOKRASI.CO.ID - Pendiri Pasar Muamalah di Depok, Zaim Saidi, ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri pada Rabu (3/2). Zaim dijerat dengan Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana dan atau Pasal 33 UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata uang.

Berikut adalah bunyi dari kedua pasal tersebut: 

Pasal 9 Undang-undang nomor 1 tahun 1946 tentang Hukum Pidana

Barang siapa membikin benda semacam mata uang atau uang kertas dengan maksud untuk menjalankannya atau menyuruh menjalankannya sebagai alat pembayaran yang sah, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya lima belas tahun.

Pasal 33 poin 1a Undang-undang nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang

Setiap orang yang tidak menggunakan rupiah dalam bertransaksi yang mempunyai tujuan pembayaran dapat dikenakan pidana. Hukumannya antara lain berupa kurungan penjara maksimal satu tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta

Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai, sangkaan terhadap Zaim itu masih bisa diperdebatkan dan berlebihan. “ZS ditangkap dan diproses hukum dengan sangkaan yang menurut saya masih debatable dan berlebihan,” ujar Abdul kepada kumparan, Kamis (4/2). 

Untuk jeratan Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana, menurut Abdul, hal itu tidak tepat. Sebab, aturan tersebut melarang penggunaan mata uang lain yang seolah-olah berlaku di Indonesia selain rupiah. Pada realitasnya yang dibuat atau dipesan dari PT Antam Tbk adalah batangan kecil emas yang diidentifikasi sebagai dinar atau dirham. 

Jika ini dianggap sebagai pidana, maka Antam pun sebagai pembuatanya harus dipertangungjawabkan.

-Abdul Fickar Hadjar

“Jika yang dimaksud membuat semacam kupon atau bentuk barang yang diidentifikasi sebagai alat bayar, maka tafsir ini berbahaya karena berapa banyak pusat perbelanjaan dan permainan yang menggunakan kupon atau semacam benda yang dapat digunakan sebagai alat bayar di kasir tertentu akan dilarang juga,” lanjut dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini.

Kemudian, terkait sangkaan Pasal 33 UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, hal itu masih bisa diperdebatkan. Sebab, apakah kepingan emas yang digunakan dan diidentifikasi  sebagai mata uang itu benar produk sebuah negara dengan identifikasi seri mata uang atau hanya dengan berat ringannya. 

“Jika benda yang disebut dirham itu bukan produk negara yang mengeluarkan, maka ZS tidak bisa dijerat dengan ketentuan  ini,” tambah Abdul. 

Ia menegaskan, jika penekanannya pada perbuatan mencari keuntungan, hal ini dinilai tidak tepat untuk menerapkan pasal UU Mata Uang. 

“Artinya jika masyarakat yang membeli merasa dirugikan itu namanya penipuan. Jika tidak ada yang dirugikan dan tidak ada yang menuntut, itu masuk pada ranah perdata perjanjian biasa sebagai sebuah kesepakatan,” pendapat Abdul. 

Menurutnya, perbuatan itu bisa ditarik dengan ranah pidana dengan syarat ada kepentingan umum yang terlanggar. Dalam hal ini adalah menggunakan mata uang asing dalam bertransaksi di Indonesia. 

“Realitasnya belum tentu yang disebut "dinar" itu masuk kualifikasi sebagai mata uang, yang pasti ia benda berharga, yaitu logam mulia," kata Abdul. 

Hati-hati, jangan sampai timbul kesan bersyariah kok dipidanakan.

-Abdul Fickar Hadjar

[]

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: