logo
×

Senin, 22 Februari 2021

Ribuan Orang Hadiri Pemakaman Demonstran Myanmar yang Tewas Ditembak

Ribuan Orang Hadiri Pemakaman Demonstran Myanmar yang Tewas Ditembak

DEMOKRASI.CO.ID - Kerumunan besar di ibu kota Myanmar, Nay Pyi Taw, terlihat saat ribuan orang menghadiri pemakaman seorang perempuan muda yang tewas dalam protes menentang kudeta militer.

Mya Thwe Thwe Khaing ditembak di kepala sebelum ulang tahunnya yang ke-20. Ia adalah orang pertama dari setidaknya tiga orang yang tewas dalam protes tersebut.

Pada hari Minggu, ribuan orang berbaris di jalan untuk menghormatinya, beberapa membuat penghormatan dengan tiga jari, simbol yang digunakan oleh para demonstran.

  • Penguasa militer Myanmar menutup akses internet di tengah unjuk rasa terbesar menentang kudeta
  • Gerakan perlawanan menentang kudeta militer meluas, dosen dan mahasiswa ikut berdemo
  • Malaysia, Indonesia serukan pertemuan 'khusus' menlu ASEAN untuk bahas kudeta di Myanmar

Militer menggulingkan pemerintah terpilih awal bulan ini.

Janji untuk mengadakan pemilihan lebih awal telah gagal untuk memuaskan para demonstran, yang juga mengupayakan pembebasan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi dan anggota lain dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).

Mya Thwe Thwe Khaing baru berusia 20 tahun namun meninggal setelah kena tembak dalam aksi protes menentang kudeta militer Myanmar


Militer menuduh kemenangan telak pemilihan NLD tahun lalu dipenuhi kecurangan, tetapi mereka tidak memberikan bukti.

Mya Thwe Thwe Khaing, seorang pekerja supermarket, luka-luka parah ketika polisi berusaha membubarkan pengunjuk rasa awal bulan ini.

Dia bertahan hidup selama 10 hari dengan bantuan alat medis, tetapi meninggal pada hari Jumat.

Dia telah menjadi titik fokus para demonstran dan fotonya dibawa oleh demonstran yang menentang kudeta.

Peti matinya, yang berwarna hitam dan emas, dibawa melalui jalan-jalan di atas mobil jenazah, dan dikawal oleh ratusan sepeda motor.

Ribuan orang berduka atas kematian Mya Thwe Thwe Khaing (Reuters)


Para pengunjuk rasa turun ke jalan di seluruh negeri lagi pada hari Minggu, meskipun pada hari sebelumnya mereka menyaksikan kekerasan terburuk dalam beberapa minggu terakhir demonstrasi diadakan.

Dua pengunjuk rasa ditembak mati ketika polisi menggunakan peluru tajam untuk membubarkan massa.

Kematian tersebut membawa kecaman luas.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan: "Penggunaan kekuatan mematikan, intimidasi dan pelecehan terhadap demonstran yang damai tidak dapat diterima."

Juga pada hari Minggu, istri aktor terkenal Lu Min mengatakan dia telah ditangkap setelah mengunggah video yang mengecam kepemimpinan militer.

Demonstrasi dimulai kembali pada Rabu (10/02) dengan melibatkan sekelompok besar pegawai negeri di Ibu Kota Nay Pyi Taw.

Pengunjuk rasa membawa poter, Mya Thwe Thwe Khine.

Mya Thwe Thwe Khine baru menginjak 20 tahun. (Getty Images)


Bagaimana perempuan itu bisa terluka?

Polisi menggunakan meriam air untuk melawan pengunjuk rasa di Nay Pyi Taw, yang menolak mundur.

Tembakan peringatan dilaporkan ditembakkan ke udara sebelum peluru karet ditembakkan ke kerumunan. Tetapi dokter kemudian mengatakan tampaknya ada peluru tajam yang mengenai pengunjuk rasa.

Menurut BBC Burma, yang berbicara dengan petugas medis yang tidak disebutkan namanya dari rumah sakit Nay Pyi Taw, seorang perempuan menderita cedera kepala yang serius dan seorang demonstran lainnya mengalami cedera dada.

Wanita yang tertembak itu mendapat perawatan intensif.

Kelompok hak asasi manusia dan outlet berita lokal mengatakan perempuan itu ditembak di kepala saat melakukan protes.

Seorang pengunjuk rasa yang mengenakan topeng memberi hormat dengan tiga jari

Demonstran di Myanmar (Getty Images)


Menurut laporan Human Rights Watch, seorang dokter dari rumah sakit mengatakan perempuan itu memiliki "proyektil yang bersarang di kepalanya dan telah kehilangan fungsi otak yang signifikan".

Dokter itu mengatakan bahwa luka perempuan itu akibat peluru tajam, yang menembus bagian belakang telinga kanannya. Seorang pria yang terluka pada protes yang sama juga tampaknya memiliki luka serupa.

Laporan terpisah oleh Fortify Rights mengutip seorang dokter yang mengatakan perempuan itu mengalami mati otak karena "luka tembak yang fatal di kepala".

Sebelumnya, sebuah rekaman beredar di sosial media menunjukkan seorang perempuan sedang ditembak.

Rekaman itu menunjukkan seorang perempuan yang mengenakan helm sepeda motor itu tiba-tiba roboh. Secara terpisah, gambar di media sosial menunjukkan apa yang tampak seperti helm berlumuran darah. BBC belum memverifikasi ini.

Rumah sakit di ibu kota Nya Pyi Taw mengkonfirmasi kematian Mya Thwe Thwe Khaing pada pukul 11:00 waktu setempat (04:30 GMT).

Seorang anggota komite pemakaman mengatakan kepada BBC Burma bahwa pemakaman atas korban tengah direncanakan dan rinciannya segera diinformasikan.

"Kami akan mencari keadilan dan terus bergerak," kata seorang dokter kepada kantor berita AFP, sambil menambahkan bahwa para staf menghadapi tekanan besar sejak korban dibawa ke unit perawatan intensif.

Pihak berwenang mengatakan akan menyelidiki kasus ini.

Militer Myanmar 'serbu dan hancurkan' markas NLD

Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyuarakan "keprihatinan yang kuat" atas kekerasan hari Selasa.

"Penggunaan kekuatan yang tidak proporsional terhadap para demonstran tidak dapat diterima," kata Ola Almgren, koordinator penduduk dan koordinator kemanusiaan PBB di Myanmar.

Protes sebelumnya terhadap pemerintahan militer selama puluhan tahun di negara itu, pada 1988 dan 2007, menyebabkan para demonstran tewas.

Pada Selasa malam, militer Myanmar juga "menyerbu dan menghancurkan" markas NLD, kata partai itu.

BBC Burma melaporkan bahwa pasukan keamanan mendobrak pintu secara paksa Selasa malam. Tidak ada anggota partai yang hadir di gedung itu.

Penggerebekan itu terjadi selama jam malam nasional, yang berlangsung dari pukul 20:00 hingga 04:00 waktu setempat.

Larangan berkumpul

Seorang ibu yang ikut protes menggendong bayinya di Yangon.


Seorang ibu yang ikut protes menggendong bayinya di Yangon.AFPSeorang ibu yang ikut protes menggendong bayinya di Yangon.

Larangan orang berkumpul dan jam malam diterapkan di sejumlah kota dan pemimpin militer Min Aung Hlaing memperingatkan tak ada yang berada di atas hukum.

Ia tidak mengeluarkan ancaman langsung kepada demonstran, tetapi TV negara memperingatkan bahwa "langkah akan diambil" terhadap mereka yang melanggar hukum, menyusul pidato Hlaing.

Militer melarang pertemuan lebih dari lima orang di kota Yangon dan Mandalay dan menerapkan aturan jam malam.

Aturan diterapkan setelah tiga hari berturut-turut protes massal.

"Mereka melepaskan tembakan peringatan ke langit dua kali, kemudian mereka menembakkan peluru karet [ke pengunjuk rasa]," kata seorang warga kepada kantor berita AFP.

Sementara itu, pemimpin kudeta di Myanmar untuk pertama kalinya menyampaikan pidato yang disiarkan di televisi, dalam upaya membenarkan tindakan militer.

Apa yang terjadi saat protes?

Demonstran dibubarkan degan meriam air.


Pada hari keempat demonstrasi massal, demonstran berhadapan dengan polisi yang menembakkan meriam air di kota Bago.

Meriam air juga berulang kali ditembakkan ke kerumunan pengunjuk rasa di Nay Pyi Taw, yang menolak mundur, menurut kantor berita Reuters.

"Akhiri kediktatoran militer", teriak para demonstran.

BBC Burma melaporkan pengunjuk rasa di Nay Pyi Taw bahkan didukung seorang petugas polisi. Para pengunjuk rasa telah meminta petugas polisi untuk bergabung dengan tujuan mereka.

Seorang analis politik, Kin Zaw Win, sebelumnya mengatakan kepada media, Al Jazeera bahwa polisi lebih dekat ke Aung San Suu Kyi dibandingkan dengan militer dan akan lebih "mungkin berdiri dengan pengunjuk rasa" daripada tentara.

Protes di Nay Pyi Taw dibubarkan dengan meriam air. (Reuters)


Di kota-kota lain di Myanmar, pengunjuk rasa terus berkumpul, dengan sejumlah foto menunjukkan kerumunan besar di beberapa tempat.

Di hari Senin, demonstrasi juga diikuti para guru, pengacara, pejabat bank dan pegawai pemerintah yang berkumpul di kota-kota di seluruh negeri.

Beberapa demonstran dilaporkan cedera, tetapi tidak ada laporan soal kekerasan.

Wartawan BBC Nyein Chan Aye, di Yangon, mengatakan para biksu Buddha, anggota komunitas Muslim minoritas, pesepakbola top, dan bintang film dan musisi juga telah bergabung dalam protes anti-kudeta, yang menurutnya akan menjadi lebih terorganisir seiring berjalannya waktu.

Apa tanggapan militer?

Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan bahwa pemilihan umum pada November berlangsung tidak adil. Pemilu itu dimenangkan telak oleh partai pimpinan Aung San Suu Kyi - kini dalam tahanan militer.

Aksi militer tersebut memicu unjuk rasa besar-besaran yang memasuki hari ketiga pada Senin (08/02), disertai mogok kerja di seluruh negeri.

Menanggapi protes massal, militer mulai memberlakukan pembatasan di sejumlah wilayah, termasuk larangan keluar rumah dan pembatasan kerumunan.

Suu Kyi dan pemimpin senior Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy, NLD), termasuk Presiden Win Myint, telah ditempatkan dalam tahanan rumah.

Departemen Luar Negeri AS berkata pada Senin (08/02) bahwa mereka berusaha menemui Suu Kyi namun permintaannya ditolak. AS mengatakan mereka berpihak pada rakyat Myanmar dalam menjalankan hak mereka untuk berkumpul dan berunjuk rasa dengan damai.

Seorang penasihat ekonomi Suu Kyi, Sean Turnell, yang merupakan warga Australia, juga ditahan dan pada Senin kemarin keluarganya mengunggah pernyataan di Facebook yang meminta agar ia segera dilepaskan.

Militer mulai melakukan tindakan keras di beberapa daerah di Myanmar.


Pidato Jenderal Min Aung Hlaing lebih fokus pada alasan kudeta daripada ancaman terhadap para pengunjuk rasa.

Dia berkata komisi pemilihan telah gagal menyelidiki penyimpangan terkait daftar pemilih pada pemilu bulan November dan tidak mengizinkan kampanye yang adil.

Komisi telah mengatakan bahwa tidak ada bukti yang mendukung klaim tentang kecurangan masif.

Jenderal Min Aung Hlaing yang mengenakan seragam militer, berjanji akan mengadakan pemilihan baru dan menyerahkan kekuasaan kepada pemenangnya. Komisi pemilihan yang baru "direformasi" akan mengawasinya.

Dia juga menyatakan pemerintahannya akan "berbeda" dari rezim militer selama 49 tahun yang berakhir pada 2011, dan yang mengawal represi brutal terhadap pengunjuk rasa 1988 dan 2007.

Dia berbicara tentang mencapai "demokrasi yang benar dan disiplin", frase yang menuai cemoohan dari beberapa penentang kudeta di media sosial.

Dia juga mengatakan kepada warga untuk "bertindak berdasarkan fakta yang benar dan tidak mengikuti perasaan Anda sendiri".

Polisi menggunakan meriam air dalam menghadapi pendemo.

Polisi menggunakan meriam air dalam menghadapi pendemo.


Sang jenderal tidak memberikan ancaman langsung kepada pengunjuk rasa, hanya mengatakan bahwa tidak ada yang di atas hukum.

Namun telah terjadi tindakan keras di beberapa daerah, dengan penerapan jam malam dari pukul 20:00 sampai 04:00 dan pembatasan kerumunan hingga maksimal lima orang, di sebagian kota Yangon dan Mandalay, serta sejumlah daerah lain.

Sebelumnya, sebuah siaran di TV pemerintah memperingatkan "tindakan harus diambil, berdasarkan hukum ... terhadap pelanggaran yang mengganggu, mencegah, dan menghancurkan stabilitas negara, keamanan publik, dan supremasi hukum".

Phil Robertson, wakil direktur Asia dari Human Rights Watch, mengatakan: "Sebagai pemerintahan [hasil] kudeta militer yang telah menginjak-injak demokrasi dan supremasi hukum, tidak masuk akal bagi mereka untuk mengklaim bahwa mereka berhak melakukan 'tindakan hukum' terhadap pengunjuk rasa damai. "

KBRI siapkan evakuasi WNI bila terjadi eskalasi

Sementara itu, Indonesia telah menyiapkan evakuasi WNI bila kondisi memburuk di Myanmar di tengah demo puluhan ribu warga yang turun ke jalan-jalan menentang perebutan kekuasaan dan menuntut pihak militer menghormati hasil pemilu bulan November tahun lalu.

Di ibu kota Myanmar, Nay Pyi Taw, polisi menggunakan meriam air dalam menghadapi para buruh yang mogok. Sejumlah laporan menyebutkan ada beberapa yang terluka.

TV negara memperingatkan pengunjuk rasa bahwa mereka akan mengambil tindakan bila mengancam keamanan publik atau "melanggar hukum."

Buruh di berbagai wilayah di Myanmar melancarkan aksi mogok nasional dalam demonstrasi hari ketiga, pada Senin (08/02). Dalam aksinya, para buruh juga menuntut pembebasan pemimpin terpilih, Aung San Suu Kyi, dan dikembalikannya demokrasi di negara tersebut.

Duta Besar Indonesia untuk Myanmar, Iza Fadri, dalam pertemuan virtual dengan warga negara Indonesia Senin, mengatakan sejak dua hari lalu Kementerian Luar Negeri RI telah menyiapkan persiapan darurat untuk berjaga-jaga, termasuk kemungkinan evakuasi WNI.

"Evakuasi (akan dilakukan) kalau situasi sudah anarkis, tak ada lagi hukum dan pemerintah sudah tak bisa mengendalikan situasi lagi, Tak ada lagi otoritas, dan WNI sudah tidak bekerja juga. Menurut saya lebih baik, evakuasi, itu yang bisa dijadikan patokan untuk evakuasi," kata Iza.

Demonstrasi di Myanmar berlanjut hingga hari ketiga.

Demonstrasi di Myanmar berlanjut hingga hari ketiga.


Dubes RI juga mengimbau kepada WNI di Myanmar, yang perusahaannya tutup dan tak beroperasi lagi, untuk lebih baik kembali ke Indonesia.

Rencana darurat yang telah disiapkan itu, menurut Iza, termasuk beberapa aliternatif, menggunakan pelabuhan bila bandar udara tutup.

Warga negara Indonesia di Myanmar tercatat sekitar 600 orang dan sejauh ini sudah lebih dari 400 yang mendaftarkan diri melalui online di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yangon.

Iza mengatakan demonstrasi yang telah terjadi dalam beberapa hari ini terdengar dari kantor kedutaan dan ia mengimbau warga Indonesia untuk tidak keluar rumah.

"Kami lihat (demo ini) sangat masif. Kami imbau warga untuk tidak usah ikut. Pak Athan [atase pertahanan] mengirim foto, ada orang yang pakai senjata panjang dari gedung tinggi [sniper dalam istilah militer]," tambah Dubes Iza.

Tetapi sejauh ini, unjuk rasa dalam tiga hari terakhir berjalan damai.

Gerald Eman, ketua Kerukunan Indonesia Myanmar (KIM), WNI yang telah tinggal di negara itu selama 17 tahun, mengatakan berdasarkan pengalamannya, demonstrasi di negara itu belum pernah diwarnai kerusuhan dan penjarahan.

"(Sejauh pengalaman saya), karakternya (demonstrasi) tak anakarkis. Kerusuhan, menjarah toko dan lain-lain belum pernah kita liat, kondisinya benar-benar politik," kata Gerald.

Tak ada yang merusak, menjarah atau melawan aparat - Cerita WNI di Yangon

Cecep Yadi (bukan nama sebenarnya), warga negara Indonesia yang tinggal di pusat kota Yangon, mengatakan dari apa yang dilihatnya dalam tiga hari terakhir ini, para demonstran tidak ada yang sampai merusak fasilitas umum.

"Mereka di sini tidak ada yang merusak fasilitas, menjarah toko ataupun melawan aparat pengamanan Semuanya berisik, berteriak, dan berorasi.. Tapi tidak ada yang takut.

"Tidak ada yang hanya menonton.. Kalaupun tinggal di rumah, mereka akan diam di depan rumah dan ikut mengangkat tangan tiga jari sebagai bentuk partisipasi demokrasi dan ikut membagikan makanan dan minuman ke setiap orang yang lewat," tambah Cecep.

"Berdasarkan dua hari kemarin, demo selesai jam 20:00, dan mereka kembali ke rumah masing-masing dan membuat suara bising selama kurang lebih 15 menit dengan memukul mukul alat alat dapur (panci atau wajan). Setelah itu sepi."

Polisi dan pengunjung rasa di ibu kota Nay Pyi Taw.


Pada Senin (08/02) pagi, puluhan ribu orang telah berkumpul di Nay Pyi Taw. Aksi serupa digelar di sejumlah kota lainnya yang diikuti pendemo dalam jumlah signifikan, sebagaimana dilaporkan BBC Burmese.

Para demonstran mencakup para guru, pengacara, pegawai bank, hingga pegawai negeri sipil.

Sekitar 1.000 guru telah berpawai dari berbagai penjuru Yangon menuju Pagoda Sule di pusat kota tersebut.

Di Nay Pyi Taw, kepolisian menggunakan meriam air untuk menghalau para pendemo dan sudah ada beragam laporan mengenai sejumlah orang yang cedera.

Sebuah video daring memperlihatkan para pendemo mengusap mata mereka dan saling membantu setelah disemprot meriam air.



Kyaw Zeyar Oo, seorang warga Myanmar yang mengabadikan video itu, mengatakan ada dua kendaraan meriam air yang menghampiri para demonstranwalau mereka berunjuk rasa secara damai dan tidak melintasi garis polisi.

"Kendaraan-kendaraan itu menyeruak ke tengah kerumunan dan menyemprotkan meriam air. Tiada peringatan yang dikeluarkan terlebih dahulu," katanya kepada BBC.

Dia menambahkan bahwa pada Senin (08/02) sore, situasinya "benar-benar tenang" namun kendaraan meriam air masih disiagakan.

Tiada laporan lainnya mengenai aksi kekerasan saat itu.

Para demonstran berkumpul di Mandalay pada 8 Februari.


Aksi unjuk rasa dan seruan agar para buruh tidak bekerja juga berlangsung di dunia maya.

"Ini adalah hari kerja, tapi kami tidak akan bekerja bahkan jika gaji kami dipotong," kata seorang buruh pabrik garmen berusia 28 tahun, Hnin Thazin, kepada kantor berita AFP.



Sehari sebelumnya, pada Minggu (07/02), puluhan ribu orang melakukan protes di kota Yangon, untuk menentang kudeta, gerakan yang tidak bisa dibendung oleh pemblokiran internet yang diberlakukan oleh penguasa militer.

"Kami tidak ingin kediktatoran militer," teriak banyak demonstran.

Banyak yang memegang foto pemimpin yang ditahan Aung San Suu Kyi dan mengenakan pakaian merah, warna partai Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Suu Kyi. Mereka juga menuntut agar Suu Kyi dibebaskan.

Dia tidak terlihat lagi sejak tentara menggulingkan pemerintahannya Senin (01/02) lalu.

Warga Myanmar, protes di Sule, YangonGetty ImagesSebagian warga bergerak menuju Sule, salah satu titik demonstrasi di Yangon.

Sebagian warga bergerak menuju Sule, salah satu titik demonstrasi di Yangon.


Demonstrasi yang lebih kecil dilaporkan terjadi di Kota Mawlamine dan Mandalay.

Meskipun unjuk rasa dan penentangan terhadap kudeta semakin luas, sejauh ini militer sama sekali belum mengeluarkan pernyataan.

Penguasa militer telah menempati ibu kota, Nay Pyi Daw, dan sejauh ini menghindari keterlibatan langsung dengan para pengunjuk rasa.

Beberapa gambar dan video protes telah diunggah ke internet, meskipun penguasa militer telah memutus internet sejak hari Sabtu (06/02). Sebagian layanan internet hingga Minggu malam (07/02) waktu setempat dilaporkan berangsur pulih meskipun belum total.

Sebelumnya, militer juga memblokir akses ke Facebook, Twitter, dan Instagram untuk menghalangi orang-orang bergerak untuk protes.

'Hormati suara kami'

Di Yangon, pengunjuk rasa memegang balon merah, sementara mobil dan bus melambat untuk membunyikan klakson mendukung demonstran.

Banyak yang memberikan hormat tiga jari, yang telah menjadi simbol perlawanan terhadap otoritarianisme di wilayah tersebut.

"Hormati suara kami," tertulis di salah satu spanduk yang merujuk pada kemenangan telak NLD dalam pemilihan November.

Para pengunjuk rasa menuntut pembebasan pemimpin Aung San Suu Kyi, yang telah ditahan oleh militer.


Myo Win, seorang pengunjuk rasa berusia 37 tahun, mengatakan kepada kantor berita AFP: "Kami akan bergerak maju dan terus menuntut sampai kami mendapatkan demokrasi."

Sejauh ini, otoritas militer, yang dikenal dengan taktik penindasan dan kekerasan, tidak menghentikan aksi pembangkangan massal ini.

Namun, banyak orang berasumsi otoritas akan mencoba melakukannya dalam waktu dekat, lapor wartawan BBC Asia Tenggara, Jonathan Head.

Suu Kyi dan para pemimpin senior NLD, termasuk Presiden Win Myint, telah menjadi tahanan rumah sejak militer mengambil kendali pemerintah dan mengumumkan keadaan darurat selama setahun.

Protesters march during a demonstration against the military coup in YangonAFPPengunjuk rasa anti-kudeta berkumpul di Yangon pada hari Minggu (07/02).

Pengunjuk rasa anti-kudeta berkumpul di Yangon pada hari Minggu (07/02).


Truk polisi dan petugas antihuru hara ditempatkan di jalan-jalan dekat Universitas Yangon (07/02).

Protes hari Minggu disebut sebagai yang terbesar sejak apa yang disebut Revolusi Saffron pada 2007, ketika ribuan biksu negara itu bangkit melawan rezim militer, lapor kantor berita Reuters.

Kelompok hak asasi manusia Amnesty International menyebut pemblokiran internet "keji dan sembrono" dan memperingatkan hal itu dapat menempatkan rakyat Myanmar pada risiko pelanggaran hak asasi manusia.

Pelapor khusus PBB untuk Myanmar, Thomas Andrews, mengatakan: "Para jenderal sekarang berusaha untuk melumpuhkan gerakan perlawanan warga - dan membuat dunia luar berada dalam kegelapan - dengan memutuskan hampir semua akses internet."

Peran media sosial

Kudeta terjadi ketika sesi baru parlemen akan dimulai, menyusul pemilihan November di mana partai NLD memenangkan 80% kursi parlemen.

Banyak orang Burma menyaksikan peristiwa tersebut secara langsung di Facebook, yang merupakan sumber informasi dan berita utama negara itu.

Tetapi tiga hari kemudian, penyedia internet diperintahkan untuk memblokir platform tersebut karena alasan stabilitas.

Menyusul larangan tersebut, ribuan pengguna aktif di Twitter dan Instagram menggunakan tagar untuk menyatakan penentangan mereka terhadap kebijakan itu.

Pada pukul 22:00 waktu setempat pada hari Jumat, akses ke platform media sosial itu juga diblokir.(dtk)

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: