logo
×

Kamis, 27 Januari 2022

Inikah Calon Terpidana Mati Korupsi?

Inikah Calon Terpidana Mati Korupsi?

OLEH: DJONO W OESMAN

LAGI dan lagi, pejabat tinggi negara dijerat KPK. Kini, Dirjen Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, Mochamad Ardian Noervianto. Diduga KPK, ia minta sogok tiga persen dari pinjaman dana PEN Rp350 miliar. Yakni Rp 10,5 miliar.

PEN kependekan dari Pemulihan Ekonomi Nasional. Bantuan pemerintah kepada rakyat, terkait pandemi Corona.

PEN serangkaian dengan Komite Penanganan Covid-19. Disingkat KCP PEN. Yang diketuai Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.

KCP PEN dibentuk Presiden RI Jokowi, Juli 2020, dalam rangka keseimbangan antara kebijakan kesehatan dan ekonomi. Itu tertuang di Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020.

Deputi Penindakan KPK, Karyoto dalam konferensi pers di Gedung KPK, Kamis (27/1/22) mengatakan:

"Tersangka MAN (Mochamad Ardian Noervianto) diduga meminta pemberian kompensasi atas peran yang ia lakukan. Meminta uang tiga persen secara bertahap dari nilai pengajuan pinjaman Rp 350 miliar."

Karyoto: "Diduga, sudah diterima tersangka MAN, Rp 2 miliar."

Konstruksi kasus. KPK sudah menetapkan tiga tersangka. Semuanya pejabat pemerintah:

1) Andi Merya Nur (AMN) Bupati Kolaka Timur, Provinsi Sulawesi Tenggara, Periode 2021-2026

2) M Ardian Noervianto (MAN) Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Periode Juli 2020-November 2021

3) Laode M Syukur Akbar (LMSA) Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Kronologi disampaikan Deputi Penindakan KPK, Karyoto, begini:

Awalnya, Andi Merya Nur dikenalkan ke M. Ardian Noervianto oleh Laode M Syukur. Di situ Andi Merya Nur meminta bantuan Ardian, terkait permohonan pinjaman dana PEN sebesar Rp 350 miliar. Karena, alur pinjaman dana PEN itu hanya cair oleh persetujuan M. Ardian Noervianto.

Karyoto: "Sekitar Mei 2021, tersangka LMSA mempertemukan tersangka AMN dengan tersangka MAN. Di kantor Kemendagri, Jakarta. Di situ tersangka AMN mengajukan permohonan pinjaman dana PEN Rp 350 miliar, dan meminta tersangka MAN mengawal prosesnya."

Ardian menyatakan: OK. Menurut Karyoto, Ardian meminta imbalan tiga persen dari nilai pengajuan Rp 350 miliar. Atau sekitar Rp 10,5 miliar.

Karyoto: "Tersangka AMN memenuhi permintaan tersangka MAN, lalu mengirimkan uang sebagai tahapan awal Rp 2 miliar ke rekening bank milik tersangka LMSA."

Dilanjut: "Dari uang sogok Rp 2 miliar tersebut, diduga dilakukan pembagian di mana tersangka MAN menerima dalam bentuk mata uang dolar Singapura sebesar SGD 131.000 setara dengan Rp 1,5 miliar. Yang diberikan langsung di rumah kediaman pribadinya di Jakarta. Dan tersangka LMSA menerima sebesar Rp 500 juta."

Karyoto menyebut, kemudian Ardian memproses permohonan peminjaman dana PEN itu. Ardian membubuhkan paraf pada draf final surat Menteri Dalam Negeri kepada Menteri Keuangan. Beres.

Lagi dan lagi. Pejabat negara korup. KPK, bagai jaring yang kekecilan, menjaring koruptor di samudera koruptor Indonesia yang luas.

Ketua KPK, Firli Bahuri di depan forum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) pimpinan Dr Teguh Santosa, di Bandung, Selasa (25/1/22) mengakui, KPK tidak bisa mengatasi korupsi sendirian. Harus orkestra, melibatkan semua pihak.

Di situ, Firli mengutip Gone Theory karya Jack Bologne. Yang menyebut ada empat dasar terjadinya korupsi, begini:

1) Greed (keserakahan). Keserakahan pelaku korupsi, yang pada dasarnya ada pada semua manusia.

2) Opportunity (kesempatan). Sistem yang memberi lubang terjadinya korupsi. Terkait kondisi organisasi, instansi, lembaga, yang membuka kesempatan bagi pelaku korupsi.

3) Need (kebutuhan). Sikap mental yang merasa tidak pernah cukup. Bersikap konsumerisme. Sarat dengan kebutuhan yang tidak pernah usai.

4) Exposure (hukuman koruptor yang ringan). Tidak menimbulkan efek jera terhadap calon koruptor. Sehingga, ada koruptor tertangkap tangan, pun masih juga banyak yang korupsi.

Itulah GONE Theory (Greed, Opportunity, Need, Expose).

Di nomor empat, jadi tekanan. Hukuman terhadap koruptor selama ini dinlai terlalu ringan. Sehingga tidak menimbulkan efek jera, bagi calon koruptor.

Di kasus tersangka Dirjen Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, M. Ardian Noervianto, bisa dikenakan hukuman mati. KCP PEN terkait bencana nasional. Yang, terdakwa korupsinya bisa dihukum mati.

Soal ini ada rujukannya. Terdakwa korupsi ASABRI, Heru Hidayat, dituntut hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Desember 2021.

Hukuman mati bagi koruptor didukung Presiden RI, Jokowi. Yang pernah menyatakan, merevisi UU Tipikor supaya koruptor bisa dijatuhi hukuman mati.

Hukuman mati buat koruptor sudah diatur pada pasal 2 ayat 2 UU 20/2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ayat (2) menyatakan, demikian:

"Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."

Pasal ini menyebutkan “keadaan tertentu”, keadaan yang dimaksud adalah ketika bencana alam, krisis ekonomi, dan sebagainya dapat dipidana hukuman mati.

Hal ini selaras dengan korupsi dilaksanakan ketika keadaan pandemi. KCP PEN terkait pandemi Covid-19. Bencana ini ditetapkan sebagai derajat paling tinggi. Sedangkan, dana PEN dalam kasus ini adalah penggelontoran uang negara, dalam rangka pandemi.

dr Achmad Yurianto, Jubir Pemerintah untuk Covid-19 yang dikutip dari laman sehatnegeriku.kemkes.go.id, Rabu, 19 Januari 2021.

“Tidak ada derajat paling tinggi dari ini (status bencana nasional). Kalau bicara K/L (Kementerian/Lembaga), ini dibawahnya,”

Menurut JPU, Heru Hidayat terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU 31/1999 yang diubah menjadi UU 20/2001 tentang perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Serta Pasal 55 ayat (1) pertama KUHP dan kedua primair Pasal 3 UU 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Sehingga JPU menuntut terdakwa dengan pidana mati.

Kenyataannya, Heru Hidayat divonis hakim, hukuman penjara seumur hidup.

Tak kurang, Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin, memerintahkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus untuk mengajukan banding atas vonis itu.

Jaksa Agung Burhanuddin, kepada pers, Rabu (19/1/22) mengatakan: “Saya telah memerintahkan kepada Jampidsus tidak ada kata lain selain banding."

Begitulah. Belum pernah ada koruptor Indonesia yang dihukum mati. Sesuai dikatakan Ketua KPK, Firli Bahuri, bahwa kelemahan pemberantasan korupsi adalah Exposure (teori nomor empat dari GONE Theory karya Jack Bologne)

Bagaimana dengan kasus korupsi dengan tersangka Dirjen Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, Mochamad Ardian Noervianto? Masih dalam proses.

Tapi, sampai Kamis (27/1/22) tersangka M. Ardian Noervianto belum ditahan KPK. Karena tersangka beralasan: Sakit. []

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: