logo
×

Minggu, 06 Maret 2022

Menunda Pemilu Bukan Demokrasi, Tetapi Tirani

Menunda Pemilu Bukan Demokrasi, Tetapi Tirani

DEMOKRASI.CO.ID - Usulan penundaan Pemilu bukan menjadi bagian dari demokrasi, melainkan tirani atau kekuasaan yang digunakan sewenang-wenang.

Hal itu disampaikan oleh Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan yang menganggap bahwa usulan penundaan Pemilu atau kudeta konstitusi terus bergulir secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Apalagi, alasan penunda disiapkan secara meyakinkan, yakni melalui lembaga survei dan think-think Indonesia Laboratorium 2045 (Lab 45).

"Lembaga survei mengatakan 70 persen lebih rakyat Indonesia sangat puas dengan kinerja Jokowi. Kemudian Lab 45 mengatakan mesin big data mereka menangkap isu masyarakat ingin masa jabatan presiden diperpanjang," ujar Anthony dalam keterangan tertulis, Minggu (6/3).

Tahap selanjutnya adalah sosialisasi yang ditugaskan kepada Menteri Investasi atau Kepala BPKM, Bahlil Lahadalia, dan Ketua Umum (Ketum) PKB Muhaimin Iskandar, dan Ketum PAN Zulkifli Hasan.

Usulan kudeta konstitusi tersebut mendapat penolakan luas dari masyarakat, termasuk partai politik (parpol) lain seperti PDI Perjuangan, Partai Nasdem, Partai Demokrat, PKS, dan Partai Gerindra.

"Karena usulan penundaan pemilu melanggar konstitusi yang berlaku, melanggar kedaulatan rakyat. Dapat dicap sebagai pengkhianat kedaulatan rakyat," kata Anthony.

Anthony pun sempat meminta kepada Presiden Joko Widodo, DPR/MPR, dan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk bertindak tegas untuk menegakkan marwah konstitusi.

Akhirnya kata Anthony, Jokowi bersuara dengan mengajak semua pihak, termasuk dirinya, untuk tunduk, taat dan patuh pada Konstitusi.

"Tentunya ini sangat melegakan. Semua elemen masyarakat wajib taat pada ajakan ini," kata Anthony.

Akan tetapi kata Anthony, pernyataan Jokowi berikutnya bikin kening berkerut. Karena, seperti ada pihak-pihak yang mau menjerumuskan presiden, dengan mengatakan usulan penundaan pemilu tidak bisa dilarang karena merupakan demokrasi.

"Maaf, Pak Jokowi. Menurut hemat saya, pernyataan ini sangat berbahaya. Usulan melawan hukum dan konstitusi seharusnya bukan bagian dari demokrasi. Tapi bagian dari tirani. Khususnya usulan menunda pemilu. Bisa diartikan mau melanggengkan kekuasaan, tanpa pemilihan umum, yang menjadi cikal bakal otoriter," jelas Anthony.

"Bayangkan, Pak Jokowi. Orde Baru saja selalu melaksanakan pemilu tepat waktu, setiap lima tahun sekali. Tapi, sekarang Bapak mau membiarkan usulan liar dan melawan hukum ini bergulir tanpa terkendali? Sangat bahaya," sambung Anthony.

Oleh karena itu, usulan yang melawan hukum dan konstitusi kata Anthony, seharusnya dilarang untuk kepastian hukum itu sendiri.

Jika tidak, dipastikan akan menimbulkan chaos dan anarki karena setiap pihak nantinya akan merasa bisa mengusulkan perubahan konstitusi sesukanya yang mengakibatkan terjadinya konflik horizontal yang meluas.

"Bayangkan, nanti ada pihak yang mengusulkan Indonesia sebaiknya menjadi negara serikat lagi saja. Atau ada pihak yang mau menjadi negara islam. Mungkin juga ada pihak yang mau memisahkan diri dari Indonesia. Organisasi gerakan merdeka nantinya akan menjamur, dengan alasan demokrasi. Bukankah ini akan menjadi chaos dan anarki?" terang Anthony.

"Karena itu, Pak Jokowi harus waspada. Yang membisiki pasti mempunyai niat jahat. Niat jahat kepada Pak Jokowi, niat jahat kepada Indonesia dan niat jahat kepada rakyat, mau menjerumuskan pak Jokowi, mau menjerumuskan Indonesia, mau menghancurkan bangsa Indonesia," sambungnya menutup. [rmol]

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: