logo
×

Selasa, 30 Agustus 2022

Harga BBM dan Risiko Inflasi

Harga BBM dan Risiko Inflasi

DEMOKRASI.CO.ID - Dalam pidato Nota Keuangan RI oleh Presiden Joko Widodo pada 16 Agustus 2022 disampaikan, pertumbuhan ekonomi 2023 di kisaran 5,3 persen. Dengan PDB di kisaran Rp 18.000 triliun, membutuhkan tingginya aktivitas ekonomi dan konsumsi energi, agar PDB dapat tumbuh sesuai potensialnya; dengan kapasitas output penuh (full capacity utilization).

Namun bila harga BBM sebagai komponen input utama (primary input) mahal, akan berdampak pada biaya produksi dan mengoreksi kapasitas produksi --akibat tekanan harga komponen input. Industri pun akan mengurangi produksi atau terjadi supply shock.

Peningkatan IHK/inflasi selalu terjadi ketika permintaan agregat bergerak di atas output aktual. Alhasil, gap PDB aktual terhadap potensialnya akan melebar. Menuju pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, akan bergerak tertatih-tatih.

Di sinilah teori kausalitas konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi bekerja. Kekurangan pasokan/konsumsi energi berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi atau memperburuk kinerja perekonomian. Energi merupakan faktor pembatas pertumbuhan ekonomi (Stern, 2000). Realisasi APBN di paruh kedua tahun ini dan 2023 harus presisi merespons dinamika konjungtur ekonomi (business cyclical).

Kebijakan counter cyclical dengan mengurangi belanja subsidi BBM saat ekonomi ekspansi diperlukan untuk memoderasi defisit APBN sebagai "kondisi antara" menuju disiplin fiskal. Karena transmisi fluktuasi harga minyak dunia dan kebijakan moneter hawkish negara-negara utama berdampak nyata terhadap resiliensi fiskal.

Selain itu, kebijakan mengurangi belanja subsidi, seturut menurunnya pendapatan (procyclical), adalah dalam rangka merelaksasi ruang fiskal sebagai shock-absorber. Agar APBN lebih lentur dalam merespons konjungtur ekonomi.

Sejatinya, pemerintah pun berada pada trade off antara kebijakan penyesuaian harga BBM dan inflasi. Seturut itu, dinamika subsidi BBM yang acap kental dengan gairah muatan politik menjadi soal tersendiri. Apalagi jelang tahun politik 2024.

Ibarat kata, kebijakan subsidi BBM "mengambil benang dari dalam segunduk tepung dalam dulang." Ekstra hati-hati agar tak mengotori citra pemerintahan Jokowi, dan mengakhiri masa bakti dengan husnul khatimah. Mengambil kebijakan yang tidak populer secara politik, namun agar APBN tak limbung dari tekanan biaya subsidi yang perlahan tapi pasti membengkak.

Dinamika Harga

Kombinasi fluktuasi harga minyak dunia dan kurs rupiah perlahan-lahan mengerek harga BBM dalam negeri. Krisis geopolitik Eropa Timur masih menjadi faktor yang mendisrupsi rantai pasok global. Setali tiga uang dengan kebijakan moneter ketat The Fed dan bank sentral negara-negara ekonomi utama yang masih menjadi faktor peluruh daya tahan rupiah. Sebagai negara pengimpor migas, dua kondisi tersebut berdampak pada harga BBM dalam negeri.

Seturut itu, kemampuan APBN menahan tekanan harga BBM subsidi pun terbatas. Pendapatan negara dari sumber windfall profit ekspor komoditas sebagai jangkar fiskal untuk bantalan subsidi tampaknya perlahan-lahan melandai. Mau tak mau, harga BBM Pertalite (Research Octane Number/RON 90) harus mengalami adaptasi dalam rangka memperkecil spread dengan harga keekonomian di kisaran Rp 17.500/liter. Spread harga jual dan keekonomian yang terlalu lebar dipastikan menekan ruang fiskal.

Saat ini harga keekonomian BBM Pertalite menurut Pertamina adalah Rp 17.500/liter. Sementara harga jual Rp 7.650. Artinya, setiap kita membeli Pertalite 1 liter, maka disubsidi pemerintah Rp Rp.9.850. Setali tiga uang dengan solar, Pertamina menjual solar Rp 5.150/liter, sementara harga keekonomiannya Rp 18.150/liter. Artinya pemerintah melalui APBN, mensubsidi per liter Rp 13.000.

Harga Pertalite digadang-gadang naik Rp 10.000/liter. Bila Pertalite dikerek ke harga jual Rp 10.000/liter (mendekati keekonomian), tekanan pada ruang fiskal/APBN berkurang namun inflasi akan terkerek. Konsekuensi yang sama terjadi penyesuaian harga solar. Konsensus memperkirakan, bila harga BBM berubah-naik, inflasi bisa melesat di atas 5 persen. Beban pengeluaran masyarakat bertambah, daya beli tergerus.

Konsumsi rumah tangga akan terkoreksi-turun. Ini menjadi katalis negatif; membatasi ruang kinerja PDB tumbuh diatas 5%. PDB bisa tumbuh ke potensialnya, tapi tertatih-tatih. Harga BBM jenis RON 92/Pertamax yang tidak disubsidi pemerintah pun berpotensi naik. Hal ini akan mendorong beban pengeluaran kelompok masyarakat yang tak dilindungi APBN. Khususnya kelompok masyarakat kelas menengah.

Padahal, kelompok inilah yang memberikan kontribusi 46 persen terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan berkontribusi sekitar 50 terhadap konsumsi rumah tangga atau terhadap PDB keluaran. Kombinasi dampak penyesuaian harga BBM subsidi dan non subsidi, serta tekanan terhadap segmen kelompok masyarakat pengguna adalah katalis negatif bagi kinerja PDB.

Menggerus Kesejahteraan

Bila pertumbuhan ekonomi 5 persen, lalu digerus inflasi 5 persen sampai 5,6 persen (sesuai konsensus ekonom dan praktisi), maka pertumbuhan ekonomi menjadi tidak berkualitas. Karena dengan inflasi >5 persen akan menggerus kesejahteraan rakyat. Dengan inflasi di kisaran 5 persen, spread dengan sasaran otoritas moneter masih lebar, di atas 1 persen. Bank Dunia dalam Indonesia Economic Prospects (Juni 2022) menyebutkan, inflasi harga bergejolak yang sulit diredam akan mengerek angka kemiskinan 0,2 persen atau 435.000.

Untuk 2022, sesungguhnya kenaikan harga BBM sudah terbaca melalui dinamika harga minyak mentah acuan yang berfluktuasi. Pemerintah pun sudah melakukan penyesuaian asumsi APBN terhadap Indonesian Crude Price (ICP). Dari sebelumnya ICP US$ 63/barel menjadi US$ 100/barel. Bila harga minyak acuan pasar di atas angka psikologis (melampaui US$ 100/barel) atau cenderung meleset dari asumsi APBN, maka pemerintah dipastikan melakukan penyesuaian kebijakan harga.

Kombinasi lemahnya kurs di kisaran Rp 15 ribu/US dolar dan ICP di atas US$ 100/barel memberikan tekanan beban subsidi dalam APBN. Kuota BBM subsidi dalam APBN 2022 kian menipis. Dari alokasi 23 juta Kl, yang sudah digunakan sudah 16,8 juta Kl.

Diperkirakan hingga Oktober 2022, sisa kuota terserap habis. Sementara Badan Anggaran DPR enggan menambah kuota BBM. Yang perlu dilakukan pemerintah sekarang hanya tiga hal. Pertama, pembatasan pengguna BBM subsidi agar tepat sasaran, atau subsidi ke orang, bukan barang. Kedua, penyesuaian harga. Ketiga, menyiapkan kompensasi/bansos akibat administered price.

Pemerintah masih memiliki isi dompet dari rezeki nomplok ekspor komoditas. Hingga Agustus 2022, neraca perdagangan masih surplus. Ini bisa menjadi salah satu jangkar bagi alokasi kompensasi dalam rangka menahan laju inflasi. Dan, ekonomi Indonesia tengah menghadapi risiko inflasi.[detik] 

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: