DEMOKRASI.CO.ID - Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai peluang Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada E) untuk kembali menjadi anggota Polri sudah tertutup.
“Kalau merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri. Peluang kembali menjadi anggota yang sudah divonis pidana itu sudah tertutup,” ujar Bambang di Jakarta, Kamis (16/2/2023).
Bambang menilai, Bharada E harus terima jika diberhentikan dari Polri. Apa yang dialami oleh Eliezer sebagai risiko dari seorang bawahan yang menjalankan perintah atasan.
Pengalaman Richard menjalankan perintah atasannya untuk mengeksekusi rekannya sendiri, sebagai pembelajaran bagi personel Polri lainnya, agar meletakkan kepatuhan kepada aturan bukan kepada perintah atasan.
“Ini harus menjadi pelajaran semua personel Polri, dalam kondisi bukan perang, atau di medan operasi keamanan agar tegak lurus pada aturan bukan pada perintah atasan,” ujar Bambang.
Status Richard sebagai justice collaborator (JC) telah disetujui oleh hakim. Ini menjadi salah satu pertimbangan hakim dalam memberikan keringanan hukuman. Namun, dalam sidang etik, pilihan Eliezer untuk patuh kepada atasannya dengan menjalankan perintah menembak rekannya sendiri sebagai bentuk ketidakprofesionalan.
Fakta ini, menurut Bambang, harus dikesampingan, karena bukan dalam situasi perang atau operasi keamanan.
Artinya, dalam kondisi normal menjalankan perintah atasan tanpa berpikir pada aturan tetap tak bisa dibenarkan dalam anggota Brimob sekalipun.
“Kita ingin membangun polisi yang profesional atau tidak? Kalau taat pada pimpinan untuk melakukan hal yang salah diampuni, artinya kita permisif pada pelanggaran dan jauh dari semangat membangun polisi profesional,” katanya.
Ia mengatakan sidang etik terhadap Eliezer harus segera dilaksanakan usai vonis hakim diketok (diputuskan). Putusan etik itu nantinya merujuk kepada PP Nomor 1 Tahun 2003.
Apabila Bharada E tak dijatuhkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) oleh komisi etik Polri maka hal tersebut bisa menjadi preseden buruk, bahwa personel pelaku tindak pidana bisa diterima sebagai anggota Polri dengan alasan sekedar menerima perintah atasan.
Menurutnya, Richard Eliezer berpotensi terkena sanksi PTDH meskipun vonis yang diterimanya kurang dari dua tahun. Karena, aturan tentang masa tahanan kurang atau lebih dari lima tahun hanya ada dalam peraturan kapolri (Perkap).
Sementara dalam tata perundangan, peraturan pemerintah (PP) lebih tinggi dari perkap.
“Kalau perkap bertentangan dengan PP, otomatis pasal dalam perkap itu gugur dengan sendirinya,” tutur Bambang.
Meski begitu, kata Bambang, perjuangan Richard Eliezer sebagai saksi pelaku tidak sia-sia. Meskipun hukuman ringan dari majelis hakim disebut sebagai upaya menyelamatkan karir dan masa depan perwira berpangkat Bharada itu.
“Tak ada yang sia-sia. Perjuangan dia akan dicatat dalam sejarah sebagai tumbal atasannya. Dan itu yang harus ditempuh. Publik harus bisa membedakan empati pada Eliezer sebagai manusia dengan upaya perbaikan institusi Polri,” katanya.[populis]