![]() |
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) beserta sejumlah menteri Kabinet Kerja. |
Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi melihat kegaduhan politik yang muncul menyusul adanya rekaman pembicaraan Ketua DPR-RI Setya Novanto dan Presdir PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin terkait perpanjangan kontrak karya perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) yang diserahkan Menteri ESDM Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) adalah bagian dari kelompok Gaduh Hitam.
"Apa yang dilakukan Sudirman Said adalah Gaduh Hitam. Sudirman menutupi persoalan besar yang mengaitkan dirinya dengan memunculkan kasus Setya Novanto, supaya kasusnya itu kabur," ujar Adhie saat dihubungi Rimanews, di Jakarta, Rabu (25/11/2015).
Adhie menjelaskan, persoalan besar yang dilakukan Sudirman Said adalah percepatan perpanjangan kontrak karya perusahaan tambang asal negeri Paman Sam yang ternyata dilegalkan oleh Sudirman Said sendiri.
"Sebelum kasus Setnov mencuat, sempat beredar surat Menteri ESDM Sudirman Said terkait balasan atas permohonan perpanjangan kontrak dari PTFI pada 7 Oktober 2015. Dalam suratnya, Menteri ESDM 'setuju' kelanjutan Kontrak Karya PTFI," ungkap Adhie.
Selain Sudirman Said, Adhie juga menyebut Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Teten Masduki masuk dalam kategori Gaduh Hitam. Korelasinya, lanjut Adhie, mantan Ketua Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) ini juga mendukung upaya Menteri ESDM yang ingin Freeport bisa memperoleh perpanjangan kontrak dalam tempo cepat.
Bahkan tanpa menyebut angka pasti, Teten menyatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa kolaps tanpa ada setoran dari Freeport.
"Ucapan Teten yang mengatakan bahwa penghentian kontrak Freeport akan membuat APBN kolaps juga sudah buat kegaduhan. Ini masuk dalam kategori Gaduh Hitam. Pernyataan Teten itu bagian dari upaya penyesatan publik," tegas Adhie.
Di sisi lain, Adhie menyebut Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli sebagai bagian dari kelompok Gaduh Putih. Alasannya, semua yang diungkapkan mantan Menko Perekonomian di era pemerintahan Gus Dur itu didasarkan pada fakta dan data yang sebenarnya.
Menurut Adhie, salah satu yang dikatakan Rizal Ramli adalah kebijakan perpanjangan Freeport harus pro terhadap rakyat. Konkritnya, imbuh Adhie, Freeport harus membayar royalti lebih tinggi. Karena selama 48 tahun hanya membayar 1%, sementara perusahaan-perusahaan lain 4-5%. Jadi, seharusnya Freeport membayar 6-7% sebagai kompensasi pembayaran (yang kecil) sebelumnya.
Selain itu, Rizal Ramli, kata Adhie, juga menyebut Freeport harus membenahi pengolahan limbahnya. Adhie berpendapat, kegaduhan soal Freeport yang disuarakan Rizal Ramli justru menaikan bargaining Indonesia.
"Gara-gara Rizal Ramli meramaikan Freeport akhirnya nggak jadi ditandatangani. Kalau nggak kita ributin sudah pada pesta tikusnya hari ini," sindir Adhie.(rmn)