![]() |
Demontrasi buruh |
LBH Jakarta mencatat sepanjang tahun 2015, terjadi ekskalasi peningkatan jumlah pencari keadilan dan pengaduan untuk kasus hubungan kerja, pelanggaran normatif, dan juga pelanggaran hak berserikat. Pengaduan hubungan kerja meningkat dari 115 pengaduan (2014) menjadi 126 pengaduan (2015), pengaduan hak normatif meningkat dari 71 pengaduan (2014) menjadi 72 pengaduan (2015), sedangkan pelanggaran hak berserikat di tahun 2014 dan 2015 tetap 7 pengaduan namun mengalami peningkatan jumlah pencari keadilan, dimana tahun 2014 terdapat 173 pencari keadilan dan di tahun 2015 sebanyak 1847 pencari keadilan.
"Dari refleksi kasus yang diadukan ke LBH Jakarta, perjuangan merebut hak normatif selalu beririsan dengan hak berserikat. Salah satunya adalah perjuangan Serikat Buruh Kerakyatan Honda Prospect Motor (Serbuk HPM) dalam upaya pencatatan ke Dinas Ketenagakerjaan Kota Karawang yang ditolak dengan alasan yang dibuat-buat," demikian disampaikan Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa, Senin (14/12/2015).
Menurut dia, pengaduan-pengaduan yang diterima oleh LBH menjadi refleksi bagaimana pola-pola pelanggaran terjadi. Pertama, kata dia, negara mengeluarkan PP Pengupahan yang prosesnya pembuatannya tidak partisipatif dan memiskinkan buruh. Dalam PP ini, kata dia, diatur kenaikan upah buruh ditentukan oleh KHL yang ditetapkan setiap 5 (lima) tahun sekali. Penetapan KHL tiap 5 (lima) tahun sekali sangat tidak merepresentasikan kondisi ekonomi buruh. Kebijakan ini dinilai sangat pro investasi dan menjadikan buruh semakin memasuki kondisi kerja rentan.
"Komitmen Jokowi untuk mewujudkan kerja layak, hidup layak, upah layak menjadi tidak relevan dengan dampak yang diakibatkan oleh PP tersebut," kata Alghif.
Berikutnya, sambung Alghif, keterlibatan aktif institusi kepolisian dan TNI dalam memberangus kemerdekaan berserikat yang dilegitimasi oleh Instruksi Presiden No 9 Tahun 2013. Inpres ini memberikan mandat kepada kepolisian untuk memantau proses penentuan dan pelaksanaan upah serta menjaga dan menjamin terciptanya situasi keamanan serta ketertiban masyarakat. Pada saat aksi menolak PP Pengupahan, polisi bertindak represif terhadap aksi yang dilakukan serikat buruh dengan merusak mobil komando, menyemprotkan gas air mata, memukuli buruh, dan menangkap 22 buruh, 1 mahasiswa, dan 2 orang pengabdi bantuan hukum.
"Keterlibatan TNI mengamankan lingkungan pabrik pun semakin kentara," ujar dia.
Dikatakan dia, selama ini TNI beralasan bahwa tugas penjagaan pabrik yang dibangun berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) dengan perusahaan merupakan operasi militer selain perang dalam ranah sipil dan menjalankan fungsi keamanan. Berdasarkan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI), jika TNI ingin melakukan operasi militer selain perang (OMSP). Padahal mengacu Pasal 7 ayat 3 UU TNI, pelaksanaan tugas OMSP harus didasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara. Tentu pembuatan MoU merupakan tindakan abuse of power karena bersumber dari kebijakan diskresional.
"Polisi semakin arogan dalam membatasi kemerdekaan berserikat yang dilakukan oleh buruh. Pendekatan yang dilakukan polisi ke buruh sangat repsresif, hal itu berbanding terbalik dengan sikap polisi ke pengusaha. Terbukti laporan buruh atas pelanggaran ketenagakerjaan yang dilakukan buruh tidak pernah diproses secara serius," bebernya.
Padahal dalam janji kampanyenya, Jokowi menawarkan konsep Nawa Cita (9 cita) yang ingin diwujudkan Jokowi jika ia terpilih menjadi presiden. Nawa Cita tersebut memuat komitmen Jokowi untuk memberikan perlindungan kepada buruh, termasuk didalamnya Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan pekerja migran di luar negeri.
Namun yang menjadi ironi, kasus outsourcing yang terjadi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun belum terselesaikan hingga saat ini dan bahkan penetapan PP Pengupahan menjadi bumerang bagi buruh untuk mendapatkan hidup layak. RUU Perlindungan PRT dan Revisi UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Buruh Migran Indonesia di Luar Negeri juga belum diselesaikan pembahasannya secara serius oleh negara.
"Perlu komitmen serius dari Pemerintah Jokowi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan perburuhan yang dituangkan dalam nawa cita. Buruh memerlukan jaring pengaman, baik dalam bentuk jaminan sosial dan penegakan hukum, di tengah situasi pasar kerja fleksibel dan pasar bebas yang sudah diberlakukan. Tanpa komitmen yang serius dari pemerintah, buruh akan terus menerus menjadi korban kebijakan dan perilaku aparat yang diskriminatif dan eksploitatif," paparnya.
Maka itu, tambah Alghif, dalam refleksi akhir tahun 2015 terhadap isu Perburuhan, LBH Jakarta meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk segera mencabu PP Pengupahan dan memastikan terpenuhinya hak-hak buruh outsourcing BUMN dan pengangkatan karyawan outsourcing menjadi buruh tetap “demi hukum” berdasarkan UU No 13 Tahun 2003. Juga, meningkatkan pengasawan ketenagakerjaan untuk memastikan pengusaha menjalankan prinsip-prinsip dasar perburuhan, termasuk di dalamnya pemenuhan hak normatif dan jaminan kemerdekaan berserikat.
"Melakukan audit di lingkungan TNI dan penghapusan kebijakan yang militeristik, seperti banyaknya MoU yang diproduksi oleh TNI dengan pengusaha atau instansi terkait setingkat Kementerian," ucapnya.
Selain itu, meminta kepada Kapolri untuk membentuk unit khusus perburuhan di Kepolisian agar tidak terjadi impunitas terhadap pengusaha yang melakukan tindak pidana ketenagakerjaan pelanggaran upah dan kemerdekaan berserikat.
"Menteri Tenaga Kerja dan DPR RI juga agar mendukung pembahasan RUU PRT yang berperspektif perlindungan dan gender serta merevisi UU No. 39 tahun 2004 tentang PPTKILN," tukasnya.(rmn)