![]() |
Pakar hukum tata negara Refly Harun (kanan), pengamat pemilu dari lembaga Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi dan peneliti senior Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho. | ANTARA |
Refly menilai, GBNH ini merupakan produk MPR di mana Presiden tidak bisa mengubah karena GBHN selalu dalam bentuk Ketetapan MPR.
“Kan GBHN adalah produk MPR, lalu GBHN ini bentuknya apa? Kalau bentuk ketetapan MPR, justru akan mengurangi power Presiden, karena Presiden tidak bisa mengubah ketetapan MPR, kalau dia ingin melakukan perubahan. Padahal GBHN belum tentu cocok dengan visi dan misi Presiden berikutnya,” ujar Refly saat dihubungi Senin (11/1).
Refly menilai, kalau dalam bentuk Ketetapan MPR, maka akan mengunci Presiden. Sementara kalau dalam bentuk undang-undang, maka Presiden bisa mengubahnya. Namun, menurutnya, jika dalam bentuk UU, tidak perlu GBHN, karena sudah ada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP).
“Kalau presiden kan tidak mungkin membuat GBHN dari Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden,” tandasnya.
Dia juga mengingatkan publik bahwa paradigma negara kita sudah berubah. MPR bukan lagi menjadi lembaga tertinggi negara, karena posisi MPR sudah sederajat dengan Presiden dan Wakil Presiden.
“Apalagi kita tidak mungkin memilih Presiden kembali ke MPR dengan menjadi Presiden sebagai mandataris MPR. Kita sudah mandeg dengan pemilihan langsung oleh rakyat,” pungkas Refly. (sp)