![]() |
jessica wongso |
Jessica tak lain adalah sahabat Mirna saat kuliah di Australia. Jessica pula yang mengundang Mirna untuk mencicipi kopi bersianida di Kafe Olivier 6 Januari 2016 lalu.
Terlepas dari kasus tersebut, Jessica diketahui memiliki gaya hidup metropolitan.
Hal itu disampaikan saat wawancara dengan sejumlah televisi sebelum dia ditangkap.
Layaknya wanita muda yang hidup di Kota Metropolitan, Jessica juga gemar menghabiskan waktu di kafe.
Jika malam tiba dia kerap pergi dugem di bar.
“Saya suka dua-duanya, pagi biasa nongkrong di cafe, malamnya di bar,” katanya.
Diketahui pula, Jessica sangat hobi minuman beralkohol. Hal itu diungkapkan ayah Mirna Darmawan Salihin.
Darmawan mengungkapkan hal tersebut saat mendengar jika Jessica tak mencicipi kopi Mirna karena maag. “Maag kok minumnya alkohol,” kata Darmawan.
Lantas bagaimana dengan Mirna?
Jessica mengungkapkan, dia dan Mirna tidak pernah sampai tinggal bersama.
“Ketemunya paling di kampus, ngomongin tugas saat makan siang bareng,” ujarnya.
Namun, Jessica mengaku pengalaman yang paling berkesan dengan Mirna di Australia adalah ketika mereka pergi cari tempat ngopi bersama.
“Kita suka cari cafe yang enak, jauh-jauh untuk ngopi doang,” katanya.
“Sekarang dengan kejadian ini berhubungan kopi membuat saya sedih,” tambahnya.
Di mata Jessica Mirna adalah sosok yang baik dan seorang yang hebat.
Bantah Lesbi
Ada banyak misteri di balik kasus tewasnya Wayan Mirna Salihin setelah menenggak kopi yang belakangan diketahui mengandung sianida.
Tak hanya soal siapa yang tega menabur sianida di kopi Mirna, disamping itu muncul berbagai spekulasi soal motif pembunuhan.
Terlebih setelah kepolisian menetapkan sahabat Mirna, Jessica Kumala Wongso sebagai tersangka.
Ada dugaan yang menyebut jika Jessica tega melakukan hal itu karena cemburu.
Jessica diduga cemburu karena Mirna menikah dengan seorang laki-laki.
Dugaanpun muncul benarkah Jessica penyuka sesama jenis, lesbian?
Penyidik Ditreskirmum Polda Metro Jaya sedang menelisik kedekatan psikologis antara Jessica Kumala Wongso dengan Wayan Mirna Salihin. Keakraban keduanya masuk wilayah penyidikan.
Pengacara Jessica, Yudi Wibowo Sukinto, buru-buru membantah sasus tersebut. Dia bilang, Jessica punya pacar di Australia.
"Pacarnya ada di Australia, namanya Patrick," kata Yudi di Mapolda Metro Jaya beberapa waktu lalu.
Lalu bagaimana tanggapan Jessica?
"Ha ha ha, itu tidak benar. Saya saja ketawa mendengar isu itu,” kata Mirna sambil berlalu.
Kepribadian Jessica
Nama lengkapnya, Jessica Kumala Wongso (27). Dia anak bungsu pasangan Imelda Wongso dan Winardi Wongso, pengusaha plastik untuk onderdil sepeda asal Jakarta.
Pengacara Jessica, Yudi Wibowo yang menceritakan sosok Jessica ke wartawan di Polda Metro Jaya, Selasa (19/1/2016). Yudi sendiri merupakan sepupu dari Jessica.
Keluarga Jessica, ucap Yudi, hijrah ke Australia pada tahun 2005 dan menetap disana. Ayahnya bahkan membeli sebuah rumah Sydney.
Saat keluarganya pindah tahun 2005, Jessica tetap di Indonesia, sebab dia masih menyelesaikan pendidikan SMA-nya di Jubilee School.
Menurut Yudi, Jessica anak pendiam yang manja. Semasa SMA, dia lebih suka bermain komputer dan menggambar.
Makanya, begitu tahun 2008 lulus SMA, Jessica memilih menyusul keluarganya ke Australia. Dia lalu kuliah di Billyblue College Sidney dan mengambil jurusan desain grafis.
Jurusan tersebut sesuai dengan kesukaannya dan tambah membuat Jessica keranjingan di depan komputer hingga membuatnya terkena sakit leher.
"Ketika Jessica ke Australia saya tak pernah lagi bertemu Jessica," kata Yudi.
Selanjutnya Jessica menetap selama 7 tahun di Australia, sampai 2015. Namun, usai lulus kuliah Jessica kesulitan mendapat pekerjaan tetap di Australia.
Dia memutuskan kembali ke Indonesia dan mencari pekerjaan di akhir tahun 2015 ini. Begitu kembali ke Indonesia, Jessica menempati rumah lama keluarganya. Lokasinya berada di Jalan Selat Banda, J1, Sunter Icon, Jakarta Utara.
"Jessica ini sedang cari pekerjaan sebenarnya di sini," kata Yudi.
Sementara Jessica kembali ke Indonesia, dua kakak Jessica, sudah menikah dan berstatus warga negara Australia. Soal hubungan Jessica dengan Mirna, Yudi menjelaskan keduanya bukan teman dekat.
Mereka tak duduk di bangku SMA di sekolah yang sama. Keduanya hanya sempat kuliah di kampus yang sama tetapi beda jurusan.
Lantaran sama-sama berasal dari Indonesia makanya komunikasi antara mereka terjalin semasa kuliah. Tapi, setelah lulus kuliah Mirna lekas pulang sedangkan Jessica tidak.
Ketika Jessica pulang ke Indonesia, dia pun menghubungi teman lamanya itu. Saat itu, Jessica baru sepekan berada di Indonesia.
Psikopat
Di awal kasus ini mencuat, ada pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak, menyebut Jessica psikopat.
Benarkah demikian?
Hanya penyidik dan psikolog yang memeriksanya yang tahu.
Di luar kasus kopi maut, mungkin Anda juga pernah mendengar kasus "gadis dalam kotak" di AS.
Kasus ini terjadi pada 1977, saat Cameron Hooker menculik Colleen Stan, menyimpannya dalam kotak kecil selama tujuh tahun, 23 jam sehari.
Stan hanya boleh keluar selama satu jam sehari untuk diperkosa dan disiksa secara keji.
Pada 1984, Hooker ditangkap, 1985 dijatuhi hukuman 104 tahun penjara dan diberi julukan "Psikopat Paling Keji Abad Ini".
Seperti apa psikopat itu sebenarnya dan semudah itukah kita bisa membedakan seorang psikopat, jika dia ada di dekat kita?
Secara harafiah, psikopat berarti sakit jiwa. Psikopat berasal dari kata psyche atau jiwa dan pathos atau sakit.
Sakit jiwa tidak sama dengan gila karena kalau gila, dia tidak sadar atas apa yang dilakukannya.
Seorang psikopat sadar atas perbuatannya.
Gejala psikopat disebut psikopati.
Untuk mendiagnosa apakah seseorang benar adalah psikopat atau bukan, butuh evaluasi yang ketat dan menyeluruh.
Ada tujuh tahap pemeriksaan termasuk 20 checklist psikopati Hare yang harus dijalankan.
Hare adalah nama belakang dari Robert D. Hare, Bapak Psikopati Dunia, seorang ahli psikopati dari British Columbia University yang meneliti dunia para psikopat selama 25 tahun.
Menurut penelitian, hanya 15-20 persen psikopat yang melakukan tindak kriminal.
Memahami benak psikopat
Secara fisik, tidak ada perbedaan antara psikopat dengan nonpsikopat. Ciri
paling nyata psikopat terlihat dari reaksi emosionalnya atas satu kejadian.
Seorang psikopat, kurang atau bahkan tidak memiliki reaksi emosi seperti takut, sedih atau tertekan.
Menurut Hare, selain kurang memiliki emosi, seorang psikopat juga seringkali bersifat manipulatif.
Mereka bisa berpenampilan, bersikap, dan bertuturkata sangat menyenangkan.
Selain itu, mereka juga sangat egosentris, namun punya kemampuan analisa dan kecerdasan di atas rata-rata.
Mungkin hal ini disebabkan karena mereka tidak melibatkan perasaan ketika menilai sesuatu.
Psikopat yang kriminal, hampir seluruhnya tercatat pernah berbuat keji di masa lalu.
Awalnya pada hal-hal yang dianggap remeh, misalnya binatang. Setelah itu, meningkat menjadi menyakiti manusia.
Catatan FBI mengatakan, 100 persen pembunuh serial yang mereka tangkap punya sejarah kelam sebagai penyiksa hewan di masa kecil atau remaja.
Rata-rata pembunuh serial adalah seorang psikopat, tapi tidak semua psikopat jadi pelaku kekerasan atau pembunuh baik tunggal maupun serial.
Akibat kurangnya emosi, psikopat seringkali merasa tidak bersalah jika perbuatannya merugikan orang lain.
Mereka tahu itu merugikan, tapi mereka tidak peduli karena cara pikir mereka berbeda.
Pengalaman dari James Fallon mungkin bisa jadi contoh.
Fallon adalah profesor neurosains dari University of California yang juga banyak berurusan dengan psikopat.
Satu hari, Fallon bertanya pada seorang psikopat, apakah dia menyesal telah menikam seorang perampok.
Jawaban si Psikopat, "Yang benar saja! Dia (si perampok) sengsara berbulan-bulan di rumah sakit dan aku membusuk di penjara. Aku tidak membunuhnya. Aku mencoba membebaskannya dari sengsara. Kalau aku membunuh, akan kulakukan dengan cara mengiris tenggorokannya (bukan dengan menikam). Seperti itulah aku. Aku mencoba membebaskannya."
Ketika kita menyakiti seseorang atau sesuatu, rasa sakit orang atau sesuatu itu akan membuat kita menyesal. Mengapa kita harus menyakitinya?
Sebaliknya, menjadi seorang penolong, akan membuat kita bahagia. Empati ini mungkin tidak akan Anda lihat pada seorang psikopat.
Emosi psikopat bukan emosi spontan
Christian Keysers Ph.D., kepala laboratorium Netherlands Institute for Neuroscience dan tim mengadakan penelitian selama dua dekade untuk membuktikan, apakah memang benar psikopat tidak memiliki empati.
Tim membawa 21 terpidana psikopat pelaku kekerasan untuk melakukan scan otak.
Setiap pasien ditunjukkan adegan film yang memperlihatkan orang-orang menyakiti satu sama lain sementara aktivitas otak mereka diukur dengan menggunakan fMRI.
Pertama, pasien hanya diberitahu untuk menonton film dengan hati-hati.
Kemudian, Harma Meffert, mahasiswa doktoral yang terlibat dalam penelitian pergi ke ruang scanner dan memukul tangan para psikopat untuk melokalisasi daerah otak yang mengatur reaksi atas sentuhan dan rasa sakit.
Peneliti melakukan hal yang sama terhadap 26 relawan pria nonpsikopat, yang berusia dan ber-IQ sama dengan para psikopat.
Hasil penelitian, yang sudah diterbitkan dalam jurnal Brain, menunjukkan bahwa aktivasi motorik, somatosensori dan daerah otak yang mengatur emosi, jauh lebih rendah pada pasien dengan psikopati dibandingkan subjek normal. Sampai di sini, teori yang menyebutkan bahwa psikopat kurang atau tidak punya emosi, nampaknya benar.
Valeria Gazzola, peneliti yang juga menjabat kepala lab, menyarankan agar relawan psikopat menonton film lagi, sambil meminta agar mereka mencoba berempati kepada tokoh korban di film itu.
Dilihat dari hasil fMRI, imbauan Gazolla yang sederhana itu ternyata mampu mengaktifkan bagian otak yang mengatur emosi. Para psikopat mampu berempati ketika disuruh untuk itu.
Bagi kebanyakan kita, rasa empati adalah sesuatu yang otomatis muncul ketika melihat kesedihan atau ketidakadilan.
Tidak demikian dengan cara kerja otak psikopat.
Jika mereka ingin, mereka dapat berempati. Ini juga menjelaskan bagaimana mereka bisa begitu menawan sekaligus begitu manipulatif.
Setelah Anda melakukan apa yang menjadi tujuan mereka, bagian otak yang mengatur emosi kembali tidak aktif.
Mereka kembali tidak punya rasa empati terhadap penderitaan orang lain.
Tampaknya individu dengan psikopati memiliki pola kerja otak yang berbeda.
Tombol otomatis yang menyalakan reaksi empati mereka nampaknya mati.
Masih banyak yang perlu dipahami tentang mengapa dan bagaimana individu dengan psikopati memiliki potensi untuk berempati tapi potensi ini bisa mati secara tiba-tiba.
Untuk para terapis yang sering menangani pasien psikopat, temuan ini menunjukkan bahwa mungkin pendekatan terbaik bukanlah mengajar para psikopat berempati - mereka bisa berempati jika mereka mau dan merasa perlu.
Mungkin, para psikopat perlu didorong atau dilatih untuk selalu dan selalu berempati, sebelum kekerasan menjadi bagian dari gaya hidup mereka. (tn)