
NBCIndonesia.com - Jumlah utang kita ke luar negeri makin membengkak. Berdasarkan data terbaru yang dilansir Bank Indonesia (BI), kemarin, utang tersebut mencapai 310,7 miliar dolar AS. Jika dirupiahkan dengan kurs Rp 13.376 per dolar AS, jumlahnya mencapai Rp 4.155 triliun. Apa sanggup kita membayar utang sebesar ini?
1.842 triliun. Kemudian uang Bank Indonesia sebesar 5,2 miliar AS atau sekitar Rp 70 triliun. Sedangkan utang swasta mencapai 167,71 miliar dolar AS atau setara Rp 2.243 triliun.
Jika dibandingkan dengan akhir kuartal III-2015, total utang luar negeri Indonesia mengalami kenaikan 2,8 persen. Pada periode itu, utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar 302,3 miliar dolar AS. Jika dibandingkan dengan Desember 2014, kenaikan utang mencapai 5,8 persen. Pada waktu itu, utang luar negeri baru tercatat 293,77 miliar dolar AS.
Dengan jumlah yang membengkak itu, rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (PDB) pada akhir kuartal IV-2015 menjadi sebesar 36,1 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan akhir tahun 2014 yang hanya sekitar 33 persen.
Jika dikelompokkan berdasarnya jangka waktunya, kenaikan utang tersebut dipengaruhi utang luar negeri jangka panjang yang meningkat. Sedangkan utang jangka pendek menurun. Pendek kata, utang tersebut banyak digunakan untuk sektor publik. Sedang untuk sektor swasta, menurun.
Pihak BI menganggap perkembangan utang luar negeri ini masih cukup sehat. Namun begitu, BI juga tetap waspada akan risiko utang tersebut terhadap perekonomian nasional. Karenanya, BI akan terus memantau perkembangan utang luar negeri, khususnya sektor swasta. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keyakinan bahwa utang luar negeri dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang memengaruhi stabilitas makro ekonomi.
Pemerintah sendiri tampaknya masih senang untuk tambah utang. Dua pekan lalu, pemerintah justru menambah utang dari Asian Development Bank (ADB) sebesar 10 miliar dolar AS. Namun, belum jelas utang tersebut akan digunakan untuk apa. "Walaupun tahu, saya tidak bisa menjawab. Itu domain Kementerian Keuangan," ucap Menko Perekonomi Darmin Nasution waktu itu. Menteri Keuangan sendiri belum menjelaskan ihwal penggunaan utang itu.
Yang jelas, dengan menumpuknya utang itu, kewajiban pemerintah untuk mencicil pokok utang dan bunga semakin besar. Pada Januari lalu saja, pemerintah harus menggelontorkan Rp 47,4 triliun dari APBN untuk mencicil baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Rinciannya, pembayaran pokok utang sebesar Rp 29,3 triliun dan pembayaran bunga sebesar Rp 18,1 triliun.
Ketua Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan melihat, membengkaknya utang luar negeri ini dipengaruhi dua faktor. Pertama, karena perekonomian Indonesia masih tertekan akibat gejolak ekonomi global. Pendapatan negara yang menurun akibat anjloknya harga minyak dunia dan mentoknya harga sawit dan batubara. Pendapatan dari pajak juga menurun. Kedua, karena banyak janji politik yang harus segera dilakanakan pemerintah.
"Akhirnya, untuk membiayai pembangunan pemerintah terpaksa menerbitkan surat berharga dan menarik pinjaman baru dari luar. Sebab, tidak ada uang untuk pembangunan tadi," katanya, tadi malam.
Dani berharap pemerintah bisa lebih hati-hati. Jika terus menambah utang, Indonesia bisa masuk dalam jurang utang luar negeri yang dalam. "Saat ini kita sedang mengarah ke sana. Proyek-proyek infrastruktur didanai dari utang," ucapnya.
Jika jumlahnya semakin besar, akan menggerus APBN. Sebab, setiap bulan utang tersebut harus dicicil, baik pokoknya maupun bunganya.
"Kalau cicilannya semakin besar, otomatis dana untuk masyarakat terganggu. Dana untuk kesehatan, untuk pendidikan bisa terkurangi karena utang. Karena itu, pemerintah harus bijak. Jangan lagi membiayai proyek-proyek janji politik dari utang," tandasnya.
Direktur Eksekutif Center of Budget Analysis Uchok Sky Khadafi khawatir, membengkaknya utang ini bisa menyebabkan resesi ekonomi nasional. Karena, jika semakin besar akan semakin sulit untuk dibayar. "Bisa gagal bayar nanti. Jika dolar naik kembali dan beberapa utang sudah jatuh tempo, kan repot," katanya, tadi malam.
Uchok melihat gelagat pemerintah belum akan menghentikan pencarian utang. Sebab, saat ini banyak program pemerintah yang belum jelas sumber pembiayaannya. Jika mengharapkan APBN, tidak mungkin karena setiap tahun juga defisit. Maka, cara yang mudah bisanya dengan meminjam ke pihak luar. "Tentu, kemungkinan besar proyek itu dibiayai dari utang," ucapnya. (RMOL)