
Lapak demokrasi kita, sama sekali tak ada unsur agamanya. Baik Pemilu 1955 maupun sesudah reformasi. Parpol islamnya ada, tapi semua aturan mainnya ala Amerika. Saya setuju pandangan Daniel Lev tentang negara berdasarkan hukum sebelum amandemen menggunakan konsep rechtsstaat sekaligus the rule of law.
Rechtssaat adalah civil law dengan karakter administrarif, rule of law adalah common law berkarakter judicial. Kedua konsep itu, titik beratnya adalah HAM. Istilahnya saja yang beda. Equality before the law pada common law, rechtsmatigheid pada civil law.
Agar tak sama, founding fathers kita, bikin negara hukum baru, namanya negara hukum Pancasila. Bukan sipil law bukan common law. Yaitu dengan cara menambah azas kekeluargaan, musyawarah, kekuasaan fungsional. Jadilah konsep negara hukum hasil kolase, dioplos sana sini, hanya untuk sekadar kita ber-Trisakti.
Bagaimana ide kreatif tadi untuk diterjemahkan dalam sistem hukum, setelah dipakai 70 tahun tak jelas juga. Apakah frasa musyawarah berasal dari Al Quran, musyawaroh, ternyata bukan.
Apakah sistem fungsional kekuasaan tadi, rakyat tidak diametral dengan pemerintah, juga berakibat fatal begitu sistem demonstrasi dilegalkan oleh reformasi untuk menagih janji Presiden, di mana system negara hukum pancasila tadi dinyatakan sebagai negara hukum material berpaham welfare state. Pertanyaannya, kapan mau dirampungkan krusial point kolase itu? Siapa yang harus menyelesaikan?
Saya mengutip kekalahan Islam ketika system Eropa yang dipilih oleh faunding fathers, bukan Islam. Saya tak ikut-ikut mengatakan preman yang mendirikan Amerika. Kejar dong, siapa tahu memang preman, siapa tahu Jack the rilpper ikut jika direchtsvinding.
Kalau di Indonesia jelas Trump melanggar konstitusi, minimal melanggar prinsip freedom of relegion (kampanye anti agama). Tapi ajakan memasukkan agama ke dalam syistem hukum positif, juga melanggar konstitusi dan hukum. Itu masuk urusan Densus 88. (ts)