NBCIndonesia.com - Wakil Ketua DPR Fadli Zon menuding pimpinan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) bekerja sesuai pesanan. Hal tersebut lantaran KPK tidak menetapkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai tersangka kasus RS Sumber Waras.
"Kalau penyalahgunaan dan tindak korupsi, ini masuk dalam kategori grand corruption atau korupsi besar. Jadi saya heran kok ada pimpinan baru yang sekarang konon mengatakan tidak ada korupsi di situ. Sementara pimpinan lama bicara jelas ada tindak pidana korupsi di situ," ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (10/3).
"Kita tidak mau KPK ini disusupi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan yang lain. Kita ingin KPK ini kuat, independen, dan betul-betul mau memberantas korupsi bukan atas pesanan. Oleh karena itu KPK tidak boleh tebang pilih," imbuhnya.
Politikus Gerindra ini sangat yakin jika ada kerugian negara dalam kasus pembelian lahan Sumber Waras. Maka dari itu dia menantang pimpinan KPK untuk berdebat apakah Ahok diindikasikan korupsi atau tidak.
"Nah pimpinan KPK yang lama bicara kepada saya jelas ada kerugian negara. Kalau ada pimpinan KPK yang sekarang ini apakah seluruh pimpinan atau salah seorang, ini kita harus pertanyakan. Ayo kita berdebat, kita mengadu data. Jangan ada oknum pimpinan KPK ini jadi alat kepentingan yang lain," tuturnya.
Menurut Fadli sesuai audit investigasi BPK yang diminta oleh KPK, bisa ditemukan kerugian negara. "Sudah jelas terjadi kerugian negara di situ. Misalnya dalam kasus sumber waras itu, itu kan pembelian sampai Rp 755 miliar rupiah. Itu angka yang besar, untuk apa DKI membeli tanah itu di lokasi yang land locked, itu kan tanahnya yang terkunci," katanya.
"Jadi salah alamat itu bukan di jalan kiai tapa tapi di satunya lagi. Ada dua sertifikat. Di situ NJOP-nya juga berbeda antara yang di pinggir jalan raya yang merupakan SHM sertifikat hak milik, bukan itu yang dibeli," ungkapnya.
Selain itu, Fadli mengatakan bahwa prosedur pembelian bisa disalahkan. Sebab tanpa tim Ahok membeli sendiri tanah Sumber Waras tersebut.
"Dalam hal ini prosedurnya bisa disalahkan, karena harus ada tim kan, gak bisa individu seorang Plt gubernur bernegosiasi dengan yayasan. Kemudian di dalam negosiasi itu ditentukan harga, padahal di DKI itu kan masih banyak tanah kosong. Kenapa tidak memilih tanah kosong DKI yang belum terpakai," pungkasnya.(mdk)