
Oleh: Rudi Agung (Pemerhati Masalah Sosial)
Najmah tak tega. Tak kuat lagi nuraninya. Ia minta suaminya pergi dari pemandangan memilukan: ratusan ribu mayat terkubur dalam satu lubang.
Belum cukup. Ada juga mayat sejumlah ulama yang digantung. Bukan dengan tali, bukan pula pakai rantai, melainkan dengan usus.
Mayat jenderal dicacah, perutnya dibelah, ususnya digunakan untuk menggantung mayat para ulama. Ini bukan lagi manusia. Lebih kejam dari hewan buas yang keji. Najmah pun terus mendesak pergi.
Demikian Najib Kaelani menuangkan catatan fiksinya dalam novel Islami berjudul: Najmah dari Turkistan; sebuah Kisah Cinta dan Perjuangan. Judul aslinya: Layali Turkistan (2002).
Kaelani adalah sastrawan Mesir yang kerap menumpahkan tinta emas dalam cangkir sastra Islam yang berlatar sejarah.
Kisahnya begitu apik dan detail dalam menguliti sejarah klasik dengan bahasa yang aduhai. Mulai kisah Sahabat Rasul sampai kisah asmara di medan perjuangan.
Turkistan, pada zaman keemasannya diistilahkan Andalusia kedua. Novel Najmah mengisahkan kisah asmara di masa penjajahan komunis Cina dan Rusia.
Turkistan Barat dijajah Uni Soviet. Turkistan Timur dijajah Cina. Paham komunis merangsek di kedua wilayah Turkistan tersebut.
Itu artinya satu negeri Islam telah hilang, negeri yang pernah membuat sejarah besar bagi umat Islam. Sungguh aib bagi seorang Muslim bila tidak mengenal sejarahnya. Begitu Najib Kaelani menegur kita.
Najmah, gadis pembantu istana. Meletakkan hatinya pada Mustafa, seorang pria yang juga membantu raja. Namun, percik api cinta mereka berada di era penjajahan Cina. Di masa derasnya gelombang pendatang dari Cina.
Ketika itu, Turkistan diacak-acak. Kekayaan alam digasak, ekonomi dan politik dikuasai. Pejabatnya jadi penjilat. Hukum dibeli, budaya diganti, sejarah diubah, generasinya dirusak. Rakyatnya dibelah. Gadis-gadis tak lagi berjilbab, bahkan mulai berani bercelana pendek. Remaja dan pemudanya larut terseret candu narkoba dan kebodohan paham komunis.
Perusakan Turkistan dilakukan sistemik. Paham komunis disebar melalui kurikulum pendidikan, buku dan film. Agama ditanggalkan, juga dihina dina. Tatanan peradaban Turkistan benar-benar hancur.
Hingga puncaknya turun instruksi dari RRC agar komandan lapangan di Turkistan mengumumkan kebijakan: wanita Turkistan harus menikah dengan orang-orang Cina. Baik tentara maupun pendatang.
Ketika raja menolak, ia dipenjara. Akhirnya tak kuat lalu melunak. Menaati kebijakan gila dari Cina itu. Raja terpaksa menikahkan putri cantiknya pada komandan lapangan Cina.
Tetapi ketaatan raja itu hanya strategi. Sebab, saat awal instruksi komunis disebarkan: raja, ulama, rakyat menolak mentah-mentah menikahkan anak mereka untuk penjajah Cina.
Pernikahan pura-pura itu dihelat. Ini cara agar para komandan Cina hadir dalam satu tempat. Setelah itu mereka dibantai pejuang dan rakyat Turkistan. Semua bukan tanpa risiko.
Rakyat Turkistan tahu: serangan balasan lebih besar pasti akan datang dari RRC. Ternyata benar, komunis itu tak terima dengan serangan tersebut. Penjajahan lebih dahsyat dilakukan. Bahkan Cina menggandeng Rusia.
Ketika itu, untuk menyelamatkan raja dan turunannya, Najwah pun rela menikah dengan komandan Cina. Namun, komandan itu harus jadi mualaf. Komandan mau. Menikahlah mereka.
Tetapi saat menikah, kelakuannya tetap saja sebagai kafir. Bahkan tega membantai pejuang-pejuang Turkistan. Membunuh keji rakyat dan ulama. Menguliti panglima pejuang Turkistan. Najmah tak kuat, akhirnya menembak suaminya sendiri.
Suami berdarah Cina yang diharapkan membantu rakyat Turkistan, faktanya malah membantainya dengan keji tanpa hati. Masuk Islamnya hanya pura-pura. Najmah pun bertemu Mustafa, cinta lamanya. Mereka menikah. Berjuang bersama, mengusir penjajah komunis Cina dan Rusia. Perlawanan mereka kalah kekuatan.
Rakyat dan pejuang terus dibantai keji. Banyak yang mati. Bumi Turkistan pun berganti menjadi tanah komunis. Direbut secara bengis.
Membaca novel itu, teringat sejarah di Tanah Air. Peristiwa-peristiwa kekejaman komunis di Indonesia era 1948 dan 1965. Kini paham komunis bangkit lagi.
Tega-teganya di bulan Ramadhan, Islam malah disudutkan. Pihak salah dibela. Dagelan warteg dimainkan dengan menjijikkan. Agama dikerdilkan, generasi dirusak tak karuan. Perda-perda syariat diusik, bahkan ingin ditenggelamkan.
Sistem pendidikan dibuat awut-awautan, belum selesai kurikulum ini, ganti kurikulum itu. Buku-buku ajar pornografi makin unjuk gigi. Desain perusakan kian telanjang. Gegara masalah sepele guru-guru mulai dipenjara, dibuat mengajar dengan tekanan dan dilema. Anak murid makin kurang ajar, amat jauh dari tata krama. Imbasnya, kondisi sosial benar-benar berantakan.
Akankah di kemudian hari Bumi Pertiwi diambil oleh generasi komunis?
Membaca karya Kaelani itu, teringat pula obrolan dengan mahasiswa di Cirebon. Katanya, "PKI itu bagus, Bang. Senior saya di kampus bangga terang-terangan dirinya komunis."
Ketika ditanya dari mana memperoleh pemutarbalikan sejarah PKI itu, sang mahasiswa menjawab: dari diskusi di kampus, buku, dan film-film.
Lalu saya terdiam. Kondisi yang digambarkan Kaelani tentang Turkistan, sedikit banyak memiliki kesamaan dengan kondisi Indonesia kekinian.
Saya bertanya lagi, kali ini dialog dalam hati: ke depan, Indonesia akan menjadi Turkistan? Atau dominasi Cina di Indonesia saat ini bisa mengingatkan mereka pada pahitnya kehidupan leluhur di tanah airnya: ketika Cina dijajah Jepang. Atau mundur ke belakang saat Cina diacak-acak dan diinjak Mongolia. Pribumi Cina tak menyukai kekuasaan Mongolia. Mereka sangat benci orang-orang Mongolia yang datang dan menaklukkan negerinya.
Nah, kalau tahu pahitnya dijajah, tak perlulah menjajah. Apalagi mencipta hegemoni ekonomi serta kembali menghidupkan dan menyebarkan paham komunis yang sangat melukai masyarakat Indonesia.
Indonesia punya peradaban akbar dengan sejarah perjuangan rakyat dan kekuatan umat Muslim yang besar. Janganlah terus mengusik umat Muslim yang mentang-mentang punya kehebatan dalam bersabar. Ideologi bangsa ini jelas: Pancasila, yang lima silanya diadopsi dari nilai-nilai Qurani.
Idelogi Indonesia bukan sekuler, bukan liberal, bukan kapitalis, apalagi komunis. Bukan itu! Tak perlu repot-repot 'berjualan'. Cepat atau lambat, ideologi-ideologi impor itu tenggelam dan ditolak alam. Sebab Indonesia tanahnya para wali. (rol)