
Nusanews.com - Kaum buruh menentang keras kebijakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang mengedepankan "uang DP dan CSR" dari pengusaha dalam membangun Ibukota.
Kebijakan tersebut sangat membahayakan kedaulatan negara dan sistem demokrasi, dimana negara akhirnya tunduk kepada kepentingan segelintir pemilik modal.
Demikian disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal kepada redaksi, Rabu (1/6).
Menurut Iqbal, saat ini kaum buruh mulai sadar, banyak kebijakan Gubernur Ahok yang dinilai anti terhadap demokrasi. Ahok di mata kaum buruh adalah satu-satunya gubernur yang getol membuat Peraturan Gubernur mengenai larangan melakukan aksi unjuk rasa, kecuali di tiga tempat saja, yakni di dalam Monas, Parkir Timur senayan, dan DPR RI.
"Aksi demonstrasi adalah sesuatu yang 'sangat dibenci' pemilik modal, karena menurut mereka akan mengganggu kepentingannya menguasai negara," ucapnya.
Dalam hal ini, lanjut Iqbal, buruh sudah merasakan betapa pada akhirnya Polisi menjadi sangat refresip dan membela kepentingan pemilik modal hitam.
Untuk melemahkan gerakan buruh, aparat kemanan bahkan tak segan mengkriminalisasi (mempidakan) buruh dan aktivis gerakan sosial seperti 23 buruh, dua pengacara publik LBH Jakarta, dan seorang mahasiswa ketika sedang aksi
"Saat ini, ke 26 aktivis itu dimana empat orangnya adalah perempuan, tengah menjalani persidangan sesat di PN Jakarta Pusat dan sebentar lagi kemungkinan besar akan mendekam di penjara," sebut dia.
Itulah sebabnya, terasa sekali semua ini seperti ada pesanan pengusaha hitam kepada Gubernur Ahok. KSPI menilai, semua kebijakan ini adalah 'barter' para pemilik modal untuk membungkam aksi-aksi damai buruh demi penguasaan modal yang mencengkram negara.
"Ahok bahkan tidak segan-segan menggunakan TNI dan Polisi dalam penggusuran rakyat kecil. Ironisnya, ada dugaan, semua itu dibiayai menggunakan dana 'uang-uang DP dan CSR" pengusaha hitam," jelas Iqbal.
Hal itu, tentu saja, sangat membahayakan demokrasi dan bertentangan dengan UU TNI dan UU Kepolisian dan kedaulatan bangsa dan negara karennanya semua itu harus dihentikan.
Iqbal menambahkan, buruh dirugikan dengan kebijakan Gubernur Ahok, seperti pembatasan tempat aksi, adanya kebijakan upah murah, penggunaan outsourcing di perusahaan-perusahaan pemberi CSR, tidak ada rusun buruh, dan ongkos transportasi yang mahal padahal APBD DKI sangat besar sekali, yakni sekitar Rp 80 Triliun.
"Ini akibat kebijakan yang dibarter dengan modal. Bukan menggunakan APBD dalam membangun Jakarta," tegas dia.
Karena itulah, dua ribuan buruh pada tanggal 1 dan 2 Juni 2016 akan melakukan aksi di Balaikota DKI Jakarta dan Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aksi di Balaikota akan dilakukan pukul 10.00 hingga 11.00 wib. Sedangkan aksi di Kantor KPK akan dilakukan pukul 12.00 hingga selesai.
Dalam aksi ini, terang Iqbal, buruh menuntut KPK untuk menetapkan Gubernur Ahok sebagai "tersangka" atas dugaan korupsi di RS Sumber Waras, reklamasi, dan penyalahgunaan diskresi.
Apabila KPK tidak memperhatikan tuntutan buruh ini maka aksi buruh akan dilakukan terus menerus dan tidak menutup kemungkinan demonstrasi yang meluas dengan melibatkan unsur masyarakat dan mahasiswa.
"Selain itu, buruh juga menuntut kenaikan upah minimum 2017 sebesar Rp 650 ribu. Hal ini, mengingat, survei biaya hidup keluarga di DKI Jakarta yang dilakukan oleh BPS adalah Rp 5,6 juta per bulan," tukas Iqbal yang juga Presiden Rumah Rakyat Indonesia. (rm)