
Nusanews.com - Senin (20/6/2016) atau besok siang pimpinan KPK akan menemui BPK. Pertemuan akan berlangsung di kantor pusat BPK, Jalan Gatot Soebroto atau tepat diseberang komplek parlemen, Senayan, Jakarta.
Inilah pertemuan pertama antara KPK jilid empat pimpinan Agus Rahardjo dengan BPK. Pekan lalu KPK mengeluarkan pernyataan yang berbeda dengan audit investigasi BPK terhadap pembelian lahan RSSW oleh Pemprov DKI Jakarta.
Pernyataan KPK yang disampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI itu telah membuat kontroversi. Bukan hanya membuat beragam pendapat di parlemen, namun juga para ahli hukum, pengamat maupun masyarakat luas.
Pakar hukum pidana Romly Atmasasmita, misalnya, menilai KPK) ganjil. Pasalnya, yang meminta audit investigasi BPK atas kasus RSSW adalah KPK. Permintaan ini lantaran KPK menduga adanya indikasi tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut.
"Pernyataan KPK ganjil karena yang minta audit investigasi KPK bukan laporan semester BPK. BPK berdasarkan permintaan KPK, BPK telah audit investigasi dengan opini ada kerugian negara," ujar Romly saat dihubungi, Selasa (14/6/2016).
Romly menjelaskan, dalam dalam laporan investigatif BPK ditemukan adanya kerugian negara. Oleh karena itu, adanya kerugian negara tersebut pasti ada yang diuntungkan dan adanya unsur melawan hukum
"Pertanyaannya apakah mungkin ada kerugian negara jika tidak ada yang diuntungkan? Dan keuntungan itu termasuk ke dalam unsur-unsur Tipikor selain unsur melawan hukum dan unsur kerugian negara," tanya guru besar Universitas Padjajaran itu.
Sedang Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menyayangkan sikap KPK tersebut. Pasalnya, menurut Yusril, audit tersebut sudah cukup untuk meningkatkan status hukum kasus itu dari penyelidikan ke penyidikan.
"Sebenarnya, BPK itu kan supremen auditor yang dibentuk konstitusi (UUD 1945). Jadi, hasil BPK tidak bisa dinilai oleh siapapun," ujar Yusril di Jakarta, Sabtu (18/6/2016).
Menurut dia, yang bisa menilai BPK hanyalah lembaga auditor serupa di Negara lain yang bertujuan mencari pendapat kedua yang berbeda (second opinion). "Jadi, hasil audit BPK itu sebagai alat bukti di pengadilan, alat bukti surat," jelasnya.
Ditegaskan Yusril, untuk 'menterjemahkan' hasil audit tersebut, nantinya hakim akan memanggil ahli untuk mempresentasikannya. Dengan demikian, hasilnya nanti adalah keyakinan hakim, apakah alat bukti tersebut sesuai fakta atau tidak.
Dia lantas mencontohkan dengan bukti visum et repertum atau keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter dalam ilmu kedokteran forensik atas permintaan penyidik.
"Ada orang dibunuh, diracun, mati, terus dilakukan bedah mayat oleh dokter Mu'nim Idris misalnya. Jadi, hasil bedah mayat itu, bukti seperti hasil auditnya BPK. Apakah polisi bisa menilai hasil bedah mayat itu? Enggak bisa. Dia enggak bisa nilai. Jadi, hasil visum itu adalah bukti surat," tegas Yusril.
Nantinya, bukti surat tersebut disampaikan ke pengadilan dan Mu'nim dipanggil untuk menerangkan apa yang dilakukan saat membedah mayat. Ahli terkait pun bisa dipanggil untuk menerangkan apa yang dikerjakan oleh dokter.
"Jadi, sekali lagi, yang membuktikan alat bukti itu bisa digunakan atau tidak digunakan sebagai alat bukti itu hakim, bukan penyidik. Penyidik tidak bisa menilai," terang dia. Sehingga, visum et repertum tadi ataupun audit BPK harus diterima sebagai suatu kebenaran. (ts)