
Waspadai Persenyawaan Hegemoni AS-Cina Bagi-Bagi Kavling Geo-Ekonomi di Indonesia
Di tengah menguatnya tren pemerintahan Jokowi-JK yang semakin merapat kepada Republik Rakyat Cina, reshuffle kabinet jilid 2 yang berlangsung Rabu lalu memang memberi kesan terjadi pergeseran pendulum ke arah Amerika Serikat terutama dengan bergabungnya ekonom Universitas Indonesia dan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia Dr Sri Mulyani Indrawati.
Namun yang kiranya perlu diwaspadai ke depan bukan perebutan pengaruh antara Amerika Serikat versus Cina, melainkan adanya indikasi kuat ke arah “Persenyawaan Hegemoni” bagi-bagi kavling geo-ekonomi antara kedua negara adikuasa tersebut.
Amerika Serikat dan blok Eropa Barat yang tergabung dalam Uni Eropa menyasar beberapa wilayah Indonesia yang punya nilai strategis dari segi geopolitik, begitupula halnya dengan Cina. Alhasil, kedua negara adikuasa tersebut berupaya membuat konsesi satu sama lain di antara para top level management, yang pada gilirannya keduanya dapat bagian. Agaknya, kolonialisme superbaru inilah yang harus kita cermati bersama-sama.
Lonceng tanda bahaya ke arah persenyawaan hegemoni AS-Cina tersirat secara jelas melalui pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN di Vientiane, Laos, Minggu lalu, jika kita cermati secara jeli. Pada akhir pertemuan, tak satupun dari tiga dokumen baik pernyataan bersama para Menlu ASEAN maupun Komunike Bersama, ternyata sama sekali tidak menyinggung hasil pandangan Mahkamah Arbitrase Internasional(PCA) yang diterbitkan pada 2 Juli lalu. Para Menlu ASEAN nampaknya menghadapi sebuah kenyataan pahit bahwa ASEAN sebagai perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara, telah menjadi arena Proxy War antara AS versus Cina. Seraya pada saat yang sama, ASEAN juga berpotensi menjadi tumbal dari konsesi yang terbangun antara kedua negara adikuasa tersebut.
Beberapa Menlu ASEAN, termasuk Indonesia, berkeinginan agar pandangan PCA yang mematahkan klaim Beijing terkait Sembilan Garis Putus (9DL) yang disebut “Batas Laut Tradisional” yang mencakup keseluruhan Laut Selatan agar dimasukkan sebagai Komunike Bersama. Sedangkan Beberapa Menlu ASEAN yang dimotori oleh Kamboja, justru mencegah agar tidak dimasukkan sebagai komunike bersama. Padahal, sejauh menyangkut kemenangan Filipina terhadap klaim Beijing terkait Sembilan Garis Putus, sangat menguntungkan Indonesia.
Sebagaimana pandangan PCA, keseluruhan fitur pulau, karang, batu, beting dan gosong di Kepulauan Spratly, dinyatakan tidak berhak memiliki wilayah perairan zona ekonomi ekslusif (ZEE) sepanjang 200 mil laut. Selanjutnya pandangan PCA juga menegaskan bahwa ada sebagian dari fitur memiliki laut territorial 12 mil ada juga yang tidak. Namun konstalasi di Pertemuan para Menlu ASEAN tersebut, justru mengarah pada momentum bagi Washington dan Beijing untuk membuat “Kesepakatan Terselubung” Washington dan Beijing dalam menata dan mengelola kawasan strategis Laut Cina Selatan.
Sehingga pada perkembangannya kemudian, deadlock yang terjadi di dalam Pertemuan para Menlu ASEAN tersebut bukan karena terjadinya perpecahan antara kubu AS versus kubu Cina dalam menyikapi keputusan PCA yang menguntungkan Filipina atas klaim Beijing, melainkan disebabkan adanya prakarsa Washington melalui Menteri Luar Negeri John Kerry mendorong Filipina melanjutkan perundingan dengan Beijing. Sebagai sekutu tradisional Filipina, pernyataan Menlu Kerry agar Manila meneruskan perundingan dengan Beijing, bisa dibaca sebagai indikasi campur-tangan AS agar isu konflik perbatasan digeser dari pertarungan antar negara-negara adikuasa menjadi semata masalah konflik perbatasan antara Filipinan versus Cina, dan AS turun tangan sekadar sebagai mediator. Padahal kenyataan sesungguhnya, Washington sedang membangun momentum terciptanya persenyawaan hegemoni antara Washington dan Beijing dengan memainkan Filipina sebagai ‘Elemen Garis Depan.”
Alhasil, terciptalah statusquo di Laut Cina Selatan, yang kemudian memicu retaknya kekompakan antar negara-negara anggota ASEAN, sementara saat yang sama, Washington dan Beijing justru membangun “Kesepakatan Terselubung” menata dan mengelola kawasan strategis Laut Cina Selatan secara bersama di atas landasan adanya saling curiga dan saling tidak percaya antara negara-negara ASEAN.
Dalam perhitungan strategis AS maupun Cina, daripada kedua negara besar tersebut sama-sama hancur lebur di Laut Cina Selatan jika dikembangkan skenario benturan militer dalam rangka rebutan hegemoni, sehingga kalah menang sama-sama jadi arang, maka kedua negara tersebut lebih baik bersekutu membagi-bagi kavling geo-ekonomi Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya.
Baik AS maupun Cina hakikatnya sama-sama punya dorongan eksploitatif yang sama, yaitu mencari bahan baku semurah-murahnya lalu menciptakan pasar seluas-luasnya, sedang perbedaannya hanya pada management puncak. Maknanya, apabila komunis dikuasai segelintir elit negara, sedang kapitalis dikendalikan oleh sekelompok elit partikelir/korporasi swasta.
Kedua negara adikuasa sama-sama menyadari bahwa Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya, merupakan wilayah yang merupakan bagian integral dari kawasan strategis Laut Cina Selatan, atau yang seringkali disebut Jalur Sutra.
Sengketa kawasan beberapa negara di Laut Cina Selatan, khususnya konflik atas Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel memang punya referensi panjang yang melibatkan kepentingan-kepentingan negara besar seperti Inggris, Prancis, Jepang, Cina, dan Vietnam. Sehingga klaim perbatasan di kawasan strategis Laut Cina Selatan, berpotensi memecah-belah antar negara ASEAN.
Betapa tidak. Terkait Kepulauan Spratly, Cina tidak saja terlibat konflik perbatasan dengan Filipina terkait Dangkalan Scarborough Shoal, melainkan juga antara Cina dengan Malaysia, Vietnam, Brunei, Malaysia dan Taiwan. Sehingga tidak tertutup kemungkinan antar negara-negara ASEAN tersebut tadi juga akan saling klaim daerah perbatasan.
Secara geografis, Spratly memang punya beberapa keunggulahn dibanding pulau-pulau lain. Selain merupakan jalur perairan internasional, ia dianggap strategis dari aspek pertahanan karena posisi strategisnya (geo-strategi) maupun karena kandungan sumberdaya alamnya(geo-ekonomi) seperti minyak dan gas alam.
Di atas semua itu, secara geopolitik, menguasai Spratly berarti akan mengontrol lintasan rute pelayaran antara Pasifik atau Asia Timur menuju Lautan Hindia. Kandungan minyak di Spratly diperkirakan sekitar 10 miliar ton, namun ada beberapa sumber yang mengatakan bahkan mencapai 17,7 miliar ton. Sehingga baik AS maupun Cina pastinya sama-sama menyadari bahwa penguasaan terhadap kepulauan tersebut akan mengurangi ketergantungan impor minyak dari Afrika, Timur Tengah, maupun Asia Tengah.
Perkembangan melunaknya Beijing menyusul berakhirnya Pertemuan antar Menlu ASEAN yang bermuara pada tidak adanya komunike bersama para Menlu ASEAN khususnya terkait keputusan PCA yang menguntungkan klaim Filipina, yang tentunya juga menguntungkan Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya dari segi yuriprudensi hukum internasional, bisa dibaca sebagai indikasi telah tercipta kesepakatan terselubung antara Beijing dan Washington menuju persenyawaan hegemoni bagi-bagi kavling geo-ekonomi di kawasan Asia Tenggara.
Tren tersebut disamarkan melalui lunaknya tekanan Beijing terhadap Manila, dan arah perkembangan yang sepertinya dirancang menuju perundingan antara Filipina-Cina dengan melibatkan AS sebagai mediator.
Menyadari tren di kawasan Asia Tenggara melalui manuver AS dan Cina mengawal kepentingan-kepentingan strategisnya di kawasan strategis Laut Cina Selatan, pemerintahan Jokowi-JK harus semakin meningkatkan kewaspadaannya, jangan sampai formasi kabinet pemerintahan yang tersusun pasca Reshuffle Cabinet Jilid 2 Rabu lalu, justru menjadi sarana terciptanya “Persenyawaan Hegemoni” AS dan Cina untuk bagi-bagi kavling geo-ekonomi di Indonesia.
Hendrajit (ps)