
Nusanews.com - Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon sangat tidak setuju dengan kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang memotong anggaran APBN sebesar Rp 133,3 triliun. Alasannya, pemotongan anggaran APBN menunjukan bahwa pemerintah tak mampu mengelola negara. Pemotongan anggaran juga harusnya diajukan terlebih dahulu ke DPR.
“APBN itu baru disahkan seminggu yang lalu, langsung dipotong. Itu tidak bisa seenaknya, melainkan harus diajukan ke DPR RI dulu. Kalau tidak, maka bisa berimplikasi politik, karena melanggar UU. Karena pemotongan anggaran itu implikasinya sangat besar terhadap perekonomian rakyat,” ujar Fadli Zon dalam dialektika demokrasi ‘Pajak dan APBN 2016’ bersama Ketua DPD RI Irman Gusman, dan Dikretur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (11/8/2016).
Menurut Fadli, pertumbuhan ekonomi yang dipatok 5,1 %, tapi ternyata defisit negara Rp 236 triliun maka keuangan negara bisa rugi dana tekor, karena penerimaan negara jauh dari target. Sementara tax amnesty dengan target Rp 165 triliun baru mendapatkan Rp 300 miliar.
"Jadi, negara ini nafsu besar, tapi tenaganya kurang. Kemudian hanya mengandalkan utang luar negeri. Ini kalau dibiarkan berbahaya,” jelasnya.
Seharusnya kata Fadli, pemerintah melakukan evaluasi terhadap program kerjanya. Misalnya pembangunan infrastruktur itu untuk siapa dan mana yang harus dibangun. Proyek kereta api cepat jika tidak ada uang maka tidak perlu dibangun. Sehingga uang itu bisa dialihkan untuk pembangunan sektor riil guna mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat.
Lebih lanjut Wakil Ketua Umum Gerindra ini mengatakan, postur perubahan APBN itu harus berorientasi pada politik anggaran ekonomi rakyat seperti pertanian, UKM, dan sebagainya. Tapi, yang terjadi pemerintah justru memback up ekonomi besar. Terutama kepemilikan dan penguasaan lahan. Oleh pihaknya meminta agar pemerintah tidak memotong anggaran dana desa dan dana transfer daerah.
"Negara ini seperti warung kopi, yang nasibnya tergantung kepada pemiliknya. Saya juga tak tahu kemana Sri Mulyani dan Rini Soemarno akan membawa negara ini? Apa untuk Amerika dan Tiongkok? Semua akan tergantung kepada pemerintah dalam mengelola negara,” jelasnya.
Koreksi
Sementara itu Ketua DPD Irman Gusman berharap dalam penyusunan APBN ke depan, pemerintah harus melibatkan DPR dan DPD RI. Apalagi selama ini pengelolaan APBN masih secara tradisional. Padahal, dana transfer darah Rp 62 triliun dan dana desa Rp 46 triliun bisa mendorong pergerakan ekonomi rakyat jika dikelola dengan baik dan transparan.
“Mengelola APBN itu sama dengan kelola rumah tangga, yang anggarannya bisa turun dan juga bisa naik. Untuk itu, APBN itu harus lebih proporsional khususnya untuk reformasi pertanian, manufaktur, UKM, dan pertahanan ekonomi maka 250 juta penduduk ini harus dijaga sebagai pasar yang baik,” kata Irman.
Irman menegaskan, pembangunan infrastruktur juga harus realistis, yaitu yang mendorong ekonomi dan pendidikan di pedesaan. Kebijakan pemerintah pusat juga harus sesuai dengan daerah masing-masing. Baik sumber daya manusia, sumber daya alam dan khususnya di luar Jawa. Karena itu harus bisa menciptakan - gerakkan sejuta intrepeneur (pengusaha) di daerah agar tidak berpihak pada kapitalis.
Sementara itu Enny Sri Hartati menegaskan, jika setiap tahun ada perubahan akibat unsur eksternal maka ke depan tidak perlu APBN, karena yang penting adalah merealisasikan janji-janji Presiden RI. Oleh karena itu dalam membahas APBN harus hati-hati meski ada target tax amnesty Rp165 triliun tapi defisit Rp233 triliun.
"Kalau mencapai target pun, tetap akan defisit. Aset di luar negeri hanya Rp 5 ribu – Rp 6 ribu triliun, tapi yang di bank hanya 30 % atau sekitar Rp 2000 triliun. Itu kalau ditarik semua,” ungkap Enny. (ht)