
Nusanews.com - Kesatuan Nelayan Tradisional Seluruh Indonesia (KNTI) dan sejumlah elemen masyarakat Jakarta menilai sikap ngotot Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan untuk tetap melanjutkan reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta sebagai bentuk pembungkaman hukum. Luhut juga dianggap sudah tidak pantas memimpin Kementerian Kemaritiman.
"Ini karena Luhut tidak mematuhi putusan PTUN Jakarta bahwa reklamasi harus dihentikan," kata Kuasa Hukum KNTI, Martin Hadiwinata, pada konferensi pers di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jumat 16 September 2016. Artinya, menurut dia, Luhut tidak mengakui putusan hukum.
Keputusan Luhut itu dianggap sebagai inkonsisten pemerintah pada keputusan sebelumnya. Karena pendahulu Luhut, Rizal Ramli, menganulir pemberian izin reklamasi dan memberlakukan moratorium reklamasi. Rizal waktu itu juga membentuk tim dari berbagai kementerian teknis untuk mengkaji beberapa persoalan yang dilanggar pengembang.
Ketua Komunitas Nelayan Tradisional (KNT), Iwan, mengatakan keputusan Luhut melanjutkan reklamasi serampangan. Dia menampik pernyataan Luhut yang bakal memprioritaskan kepentingan nelayan. "Nelayan mana yang dilibatkan?"
Menurut Iwan, reklamasi akan berdampak luas terhadap nelayan dan daerah pesisir Jakarta. Nelayan tradisional Jakarta akan musnah dan masyarakat pesisir akan habis karena reklamasi dikuasai kelompok kapitalis. Dia mempertanyakan nasib nelayan nantinya jika reklamasi benar-benar dilanjutkan.
Ketua Solidaritas Perempuan, Arieska Kurniawati, menambahkan, seharusnya pemerintah transparan dalam melanjutkan reklamasi Teluk Jakarta. Tapi kenyataannya, mereka sama sekali tak bisa mengakses hasil temuan tim komite bersama yang sempat mengkaji reklamasi.
"Kami mengajukan surat keberatan, sampai sekarang tidak ditanggapi," kata Arieska. Ia mempertanyakan pernyataan Luhut yang akan membangun rumah susun dan memprioritaskan nelayan. "Bagaiamana Luhut bisa tahu bahwa yang dibutuhkan nelayan itu rumah susun." (tp)