
Nusanews.com - Berdasarkan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), tingkat elektabilitas petahana calon gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) semakin merosot. Dari dukungan 59,3 persen pada Maret 2016, kini tergerus ke titik rawan selaku incumbent sebesar 31,1 persen pada Oktober 2016.
Peneliti LSI, Adjie Alfaraby mengatakan ada beberapa faktor yang membuat Ahok tak terpilih lagi menjadi Gubernur DKI Jakarta. Mulai dari isu kebijakan, isu kepribadian, isu agama dan etnis, serta munculnya calon gubernur baru.
"Beberapa faktor itu kami dapat melalui hasil penelitian kami setelah sehari pendaftaran calon, jadi sangat faktual dan diinginkan warga. Setidaknya ada empat alasan Ahok tak terpilih lagi menjadi Gubernur DKI kembali," kata Adjie, di Graha Rajawali LSI, Rawamangun, Jakarta Timur, Selasa (4/10).
Alasan pertama, akibat isu kebijakan publik yang tak disukai warga. Salah satunya, kebijakan penggusuran di beberapa wilayah, seperti Kampung Pulo, Kalijodo, Pasar Ikan, Kampung Luar Batang, dan daerah lainnya. Serta kebijakan reklamasi pantai utara Jakarta.
Dua jenis kebijakan ini, memiliki pendukung dan kontranya. Namun kebijakan ini yang membuat Ahok tak populer di kalangan wong cilik, yang acapkali menjadi korban. Aneka gerakan civil society di bidang terkait ikut membesarkan sentimen anti Ahok.
"Meski di kebijakan itu benar, namun cara melakukan penertiban tidak mengedepankan masalah biologis dan mementingkan konglomerat, dinilai warga sangat meresahkan," ujarnya.
Alasan kedua, terkait isu kepribadian. Karakter Ahok yang kasar dan suka memaki orang di publik dianggap bukan tipe pemimpin yang layak diajarkan bahkan ditonton anak-anak.
Jika Ahok menang dengan karakter seperti itu, Ahok akan ditiru. Bahkan orang tua yang a politis bisa ikut menyebarkan sentimen anti Ahok hanya soal karakter suka memaki di depan publik itu.
Belum lagi sikapnya yang dinilai tidak konsisten. Suatu ketika ia mencerca partai politik dan hanya ingin maju lewat jalur independen. Namun selanjutnya ia berjuang mencari dukungan partai politik.
"Dalam penelitian itu, warga menilai Ahok terlalu banyak memaki pegawai hingga warga. Terlebih sosok arogan yang terlihat juga kerap diperlihatkannya," terangnya.
Alasan ketiga, adanya isu primordial. Hasil riset LSI menyebutkan terdapat sekitar 40 persen pemilih muslim DKI tidak bersedia dipimpin oleh pemimpin yang non muslim. Mereka berjuang militan agar Ahok tidak terpilih sebagai bagian dari girah agama.
Bahkan, kini etnis Ahok ikut dipersoalkan. Kemenangan Ahok dikhwatirkan menjadi stimulus semakin dominannya etnis Tionghoa di bidang ekonomi. Tidak berhenti disitu, kemenangan Ahok sudah dikaitkan dengan pertarungan global RRC menguasai Asia dan dunia.
Terlepas apakah alasan ini masuk akal ataupun tidak, namun isu ini efektif menumbukan sentimen anti Ahok.
"Kita sungguh prihatin dan selalu tak setuju dijadikannya isu primordial sebagai basis attacking. Namun hal ini yang kini terpotret dalam pilkada DKI," paparnya.
Alasan keempat, hadirnya kompetitor yang fresh seperti Agus Harimurti dan Anies Baswedan. Dua figur ini belum dibicarakan dua bulan lalu. Kehadiran mereka kini bisa mengambil banyak pemilih yang dulu pro-Ahok, atau yang ragu-ragu. (bs)