
Nusanews.com - Pengamat Politik UNJ Ubedilah Badrun menilai Presiden Joko Widodo adalah produk dari industri politik Simulacra.
"Jokowi adalah produk politik simulacra. Sebuah episode industri politik yang mampu menghadirkan pemimpin melalui proses pencitraan yang masif dan sistemik," katanya kepada INILAHCOM, Sabtu (22/10/2016).
Menurutnya, Jokowi hadir sebagai pemimpin mekanik (produk social enginering), bukan pemimpin organik (produk alamiah). Sebagai pemimpin mekanik Jokowi dianggap berhasil memutus mata rantai munculnya pemimpin dari kalangan darah biru dan feodal.
"Kehadiran Jokowi memutus dominasi keluarga dan koneksi Cendana, Teuku Umar, dan Cikeas," ujarnya.
Posisi itulah yang membuat Jokowi direspon oleh kelompok kritis dari lapisan sosial baru yang non keluarga dan non koneksi Cendana, Teuku Umar dan Cikeas. Menariknya, respon tersebut kemudian berlebihan. Jokowi diposisikan mendekati orang suci.
"Karena diposisikan mendekati 'orang suci' maka seluruh perilaku dan kebijakanya diyakini sebagai perilaku dan kebijakan 'orang suci'. Jokowi diposisikan tidak pernah bersalah," ulasnya.
Cara pandang dan konstruksi sosial demikian yang kemudian memberi ruang terbuka bagi Jokowi melakukan tindakan apapun dianggap benar.
Pengamat Politik UNJ Ubedilah Badrun menilai Presiden Joko Widodo adalah produk dari industri politik Simulacra.
"Jokowi adalah produk politik simulacra. Sebuah episode industri politik yang mampu menghadirkan pemimpin melalui proses pencitraan yang masif dan sistemik," katanya kepada INILAHCOM, Sabtu (22/10/2016).
Menurutnya, Jokowi hadir sebagai pemimpin mekanik (produk social enginering), bukan pemimpin organik (produk alamiah). Sebagai pemimpin mekanik Jokowi dianggap berhasil memutus mata rantai munculnya pemimpin dari kalangan darah biru dan feodal.
"Kehadiran Jokowi memutus dominasi keluarga dan koneksi Cendana, Teuku Umar, dan Cikeas," ujarnya.
Posisi itulah yang membuat Jokowi direspon oleh kelompok kritis dari lapisan sosial baru yang non keluarga dan non koneksi Cendana, Teuku Umar dan Cikeas. Menariknya, respon tersebut kemudian berlebihan. Jokowi diposisikan mendekati orang suci.
"Karena diposisikan mendekati 'orang suci' maka seluruh perilaku dan kebijakanya diyakini sebagai perilaku dan kebijakan 'orang suci'. Jokowi diposisikan tidak pernah bersalah," ulasnya.
Cara pandang dan konstruksi sosial demikian yang kemudian memberi ruang terbuka bagi Jokowi melakukan tindakan apapun dianggap benar. (il)