
Nusanews.com - Wacana sanksi sosial untuk para koruptor itu muncul ketika pemerintah sedang ancang-ancang membuat Paket Reformasi Hukum. Sama seperti Paket Kebijakan Ekonomi, Paket Reformasi Hukum diharapkan pemerintah bisa mengurangi karut-marut penanganan masalah hukum, termasuk terobosan bagi para pelanggar hukum seperti koruptor.
Usulan soal sanksi bagi koruptor sendiri muncul saat Presiden Jokowi bertemu dengan para pakar hukum di Istana Negara, beberapa pekan lalu. Kala itu, salah satu pakar hukum, Maruarar Siahaan yang menyampaikan usulan itu langsung ke Presiden.
Juru Bicara Presiden, Johan Budi mengatakan, Presiden Joko Widodo sepakat hukuman bagi para koruptor belum maksimal. Namun mengenai usulan sanksi sosial, Presiden akan menyerahkannya kepada tim perumus paket kebijakan hukum apakah usulan itu bisa diakomodasi atau tidak.
"Usulan sanksi sosial bagi koruptor adalah salah satu usulan yang mengemuka dalam rangka melakukan reformasi hukum. Usulan-usulan tersebut akan digodok lagi di Kementerian dan Menko Polhukam sebagai leader-nya dibantu Menkumham," kata Johan.
Adapun Jaksa Agung HM Prasetyo mengusulkan koruptor dihukum membersihkan WC umum dan diberi KTP bercap 'Mantan Koruptor'. "Kalau menurut saya mereka dipekerjakan di perbatasan. Mereka kan punya pemikiran dan terpelajar. Suruh saja mengajar di daerah perbatasan sehingga hukuman itu mempunyai tujuan yang jelas," usul Prasetyo.
KPK sebagai lembaga terdepan dalam pemberantasan korupsi memahami aspirasi masyarakat. Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyatakan, lebih efektif hukuman untuk koruptor dengan pengenaan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Bagus (sanksi sosial untuk koruptor), tapi yang paling efektif adalah mengambil seluruh hartanya yang berasal dari korupsi dengan penerapan Undang-Undang TPPU," ucap Basaria.
Bagaimana dengan pegiat dunia maya? Masyarakat dunia maya kurang setuju dengan penerapan sanksi sosial bagi koruptor ini. Ada banyak hukum yang lebih setimpal pantas diberikan pada koruptor ketimbang suruh nyapu dan bekerja di perbatasan.
Di forum kaskus.co.id, akun @s.a.p menulis, kalau hanya menyampu jalanan, hukumannya tidak berat. Untuk itu, lanjut dia, hukuman yang sesuai adalah membersihkan jalan bebas hambatan atau tol. "Nyapu doang kurang lah, suruh ngepel jalan tol biar dilindas truk sekalian," guraunya.
Akun @ssuryatmo juga kurang setuju, kalau koruptor yang sudah merampas uang negara hanya disuruh sapu jalanan doang. "Kalau cuma kena sanksi sosial tanpa TPPU untuk dimiskinkan, nanti dengan bangganya dia jadi tukang sapu tapi bawa mobil Mercy dan BMW (pakai mobil mewah )?????!!!!!!!"
Akun @unwell menyarankan, para koruptor dijadikan sebagai anggota dinas kebersihan. Namun, dia khawatir, para koruptor tidak melaksanakan hukuman sosial tersebut jika tidak dimiskinkan. "Selama lima tahun bisa tuh bergabung dengan pasukan oranye. Tapi ngeri juga kalau gak dirampas hartanya, bisa-bisa dia yang jadi mandornya pak, disogok semua soalnya," takutnya.
Berbeda, akun @duoserigala69 menilai hukuman sanksi sosial memberikan keuntungan bagi terpidana kasus tindak pidana korupsi. Dia mengaku lebih setuju jika koruptor dikebiri atau dipotong bagian tubuhnya seperti pelaku kejahatan seksual. "Enak betul dong, mending dikebiri aja atau diamputasi," cetusnya.
Akun @blckpnk berpendapat, daripada memberikan hukuman sosial bagi terpidana kasus tindak pidana korupsi, lebih baik jika dimiskinkan saja. Karena dinilai dapat memberikan efek jera bagi pelakunya. "Miskinkan itu aja udah buat efek keras menurut gue," ujarnya.
Akun @Klonengannya memilih pandangan berbeda. Dia menilai, pemerintah sebaiknya membuat aturan bagi koruptor harus membantu pemerintah membangun infrastruktur di daerah. "Suruh ganti rugi dengan bangun proyek infrakstruktur di daerah-daerah yang diawasi KPK, namun sifatnya sukarela," pungkasnya.
Sementara akun @nocoments berpendapat, para koruptor perlu diberdayakan oleh negara dalam mengatasi konflik. "Dikirim ke Papua melawan OPM (Organisasi Papua Merdeka), itu lebih keren," tulisnya. (rmol)