
IDNUSA - Sidang penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara di Gedung Kementerian Pertanian (Kementan), Jakarta Selatan, Selasa (21/2/2017), semakin membuka tabir bahwa Ahok telah menistakan agama Islam.
Seperti diungkapkan saksi ahli agama dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Miftachul Akhyar, menurut pendapatnya, Ahok sudah terbukti menistakan agama dengan menyebut kata ‘dibohongi pakai Al-Maidah ayat 51’. Apalagi Ahok bukan seorang muslim sehingga tidak pantas untuk mengutip ayat Al-Quran, kitab suci umat Islam.
"Dalam bagian itu sudah masuk penistaan agama karena menganggap Surat Al-Maidah ayat 51 itu seakan-akan membohongi," ujar KH Miftachul dihadapan Ketua Majelis Hakim Dwi Budiarso.
Menurutnya, kata bohong itu memiliki maksud untuk menistakan. Oleh karena itu ucapan Ahok saat mengunjungi Pulau Pramuka, Kecamatan Pulau Seribu Selatan, Kabupaten Pulau Seribu, pada 27 September 2016 telah melakukan penistaan terhadap agama Islam.
"Ya sama saja, kata bohong itu intinya karena termasuk menistakan. Karena ada kalimat dibohongi pakai Al Quran ini," tegasnya.
Dalam kesaksiannya, KH Miftachul mengemukakan, ada dua kesalahan yang dilakukan Ahok, yaitu menafsirkan Surat Al-Maidah ayat 51 padahal nonmuslim dan mempengaruhi masyarakat dengan menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51 dalam pidatonya di Kepulauan Seribu. "Apalagi tafsir yang diucapkan Ahok saat menyinggung Al-Maidah 51 dalam pidatonya tersebut adalah tafsir yang sesat," jelasnya.
KH Miftachul menyebut, polemik terkait ucapan Ahok yang menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51 hanya terjadi di DKI Jakarta sehingga menimbulkan polemik. Karena Pilkada serentak 2017 yang digelar di 101 wilayah, tidak ada satu pun isu agama yang dihembuskan untuk menjatuhkan para pesaingnya.
"Jika saja Ahok tidak menyinggung Surat Al Maidah, situasi ibukota akan kondusif. Seharusnya beliau tidak berbicara demikian, saya rasa ceroboh," ucapnya.
Sementara ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakkir menyampaikan letak penodaan agama Islam dalam pidato Ahok di Kepulauan Seribu, September 2016. Penodaan terjadi pada penggalan 'dibohongi pakai Al Maidah ayat 51'. Bakal berbeda jika Ahok dalam pidatonya menyebut warga dibohongi menggunakan terjemahan Al Maidah 51 yang keliru.
"Beda kalau 'kamu dibodohi terjemahan yang keliru'. Itu beda, terjemahannya yang keliru. Itu letak penodaan, 'dibohongi', 'dibodohi' pakai Al Maidah 51, maka Al Maidah 51 sumbernya kitab suci Al-Quran. Itu lah kata-kata penodaan," jelasnya.
Makna Pemimpin
Sementara itu Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Yunahar Ilyas yang menjadi ahli agama kedua dalam kesaksiannya mengemukakan, memilih pemimpin berdasarkan agama tak melanggar konstitusi. Bahkan memilih berdasarkan agama justru dapat mempererat kesatuan bangsa.
"Memilih berdasarkan agama tidak bertentangan dengan konstitusi dan sama sekali tidak memecah belah bahkan justru akan memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia," paparnya.
KH Yunahar mengakui, Indonesia memang bukan negara yang secara langsung berdasarkan pada hukum Al Quran dan Sunnah. Tapi bukan berarti negara yang meninggalkan Al Quran dan Sunnah. Indonesia perlu mengambil dari Al Quran dan Sunnah untuk dijadikan konstitusi atau undang-undang. Yang tidak dibolehkan adalah bila umat Islam menuntut adanya undang-undang agar memilih pemimpin nonmuslim dilanggar.
"Yang tidak dibolehkan itu apabila mereka, umat Islam, menuntut dibuatkan undang-undang tidak boleh nonmuslim menjadi pemimpin. Itu baru melanggar ketentuan. Tapi dia tidak menuntut itu. Dia hanya akan menggunakan haknya sesuai dengan kriteria-kriterianya dia," paparnya.
Ahok didakwa secara sengaja menghina Al Quran Surat Al Maidah Ayat 51 saat mengunjungi Pulau Pramuka, Kecamatan Pulau Seribu Selatan, Kabupaten Pulau Seribu, pada 27 September 2016. Jaksa menyebut, pernyataan Ahok berpotensi menyebabkan permusuhan dan melakukan penodaan agama Islam. Ahok didakwa dengan dakwaan alternatif antara Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP. (ht)