
NUSANEWS, JAKARTA - Dengan kondisi ketimpangan ekonomi yang semakin tinggi pasca adanya desentralisasi, ternyata kondisi tersebut membuat kesejahteraan petani juga kian memperhatinkan.
Garis kemiskinan yang masih tinggi mayoritas diisi oleh kalangan petani. Hal itu membuat kehidupan petani di Indonesia paling timpang di antara negara-negara di Asia Pasifik. Baik dari sisi lahan, atau kesejahteraan secara umum.
“Di sektor pertanian ini, faktanya gini rasio lahan masih di angka 0,64. Ini di atas gini pengeluaran. Ternyata, rata-rata kepemilikan lahan di Indonesia jauh lebih rendah dibanding negara-negara lain di Asia Pasifik,” jelas ekonom INDEF, Imaduddin Abdullah, di Jakarta, Kamis (4/5).
Faktor pemicu ketimpangan, kata dia, pada intinya ada tiga. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang tak berkualitas. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan sektor tradable lebih rendah dibandingkan pertumbuhan sektor non-tradabale.
Kedua, adanya ketimpangan akses dimana terjadi ketimpangan dalam kemampuan di antara kelompok masyarakat untuk mengakses fasilitas dasar. Dan ketiga, adanya ketimpangan dalam kepemilikan aset yang dapat dikelola seperti masalah tanah.
“Dan faktanya ketimpangan lahan semakin jelas terlihat pada sektor pertanian. Karena komposisi petani yang memiliki lahan kurang dari setengah hektare ternyata semakin besar,” ungkap dia.
Dibanding negara-negara di Asia Pasifik, ketimpangan Indonesia sebesar 39,4, di atas Jepang (32,1), Thailand (37,85), Vietnam (37,6), Taiwan (33,3), dan Korea Selatan (31,3).
Menurut Imad, kepemilikan lahan ini sangat terkait dengan produktivitas, karena faktor economies of scale. Juga dengan besarnya lahan ini akan memiliki hubungan positif dengan tingkat produktivitas itu.
“Dan faktanya, ternyata rata-rata pendapatan petani di Indonesia adalah Rp12,4 juta per tahun. Atau hanya Rp1,24 juta per bulan. Bahkan pada beberapa provinsi lebih rendah dari Rp12 juta per tahun,” jelas dia.
Bahkan dengan angka tersebut, katanya, jika satu keluarga terdiri dari empat anggota, maka pendapatan per kapita hanya sebesar Rp250 ribu per bulan.
“Itu artinya, lebih rendah dibandingkan dengan kemiskinan di pedesaan sebesar Rp286.097 per kapita per bulan,” pungkas Imad. (akt)