
Apa pun teori atau pendapat orang tentang presidential threshold (PT), satu hal yang sangat jelas kelihatan dari pemaksaan ambang batas ini adalah “lack of self-confidence”. Rasa percaya diri yang kosong. Artinya, pihak yang bersikeras untuk memberlakukan PT 20% untuk pilpres 2019, berada dalam bayang-bayang ketakutan. Kalau tidak, mengapa harus ada PT 20%?
Bersikeras dengan PT 20% menunjukkan dengan terang bahwa Anda tidak ingin ada persaingan. Tidak mau ada tandingan. Anda kecut, dan pengecut. Kalau Anda tidak setuju ada calon independen, itu masuk akal. Bahwa capres harus masuk melalui parpol, itu sangat wajar. Tetapi, kalau capres yang memiliki parpol dan Anda berusaha menukangi agar orang itu tak bisa ikut pilpres, sungguh sangat mudah melihat keresahan Anda.
Rakyat harus memahami bahwa PT 20% atau berapa saja, adalah indikasi bahwa pilpres tidak akan menghasilkan pemimpin yang “naturally well-trained leader”. Tidak akan memunculkan pemimpin yang tangguh, artikulat, teruji di depan publik, dan tahu banyak hal meskipun sedikit alias “knowledgeable” (berilmu).
Memanglah diperlukan pemimpin yang mempunyai integritas. Ini multak. Tetapi, dengan tingkat keruwetan yang ada, integritas saja tidak memadai. Perlu berbagai ramuan lain, termasuk karisma dan “political charming” (pesona politik). Semua ini menyatu di dalam intelektualitas: dia tangguh, dia artikulat, dia knowledgeable, dia teruji, dia karismatik, dia mempesona. Dan, di atas ini semua, dia memiliki integritas.
Karena itu, demi perbaikan dalam kepemimpinan bangsa dan negara ini, sebaiknyalah semua pihak meninggalkan ambang batas pencapresan yang berbasis politik (PT). Kita semua harus melangkah jauh ke depan. Mari segera kita adopsi ambang batas yang berbasis intelektualitas.
Kita tinggalkan PT yang rentan disalahgunakan untuk, sengaja atau tidak, memunculkan capres yang tak memenuhi syarat. Kita pakai parameter baru berupa “intellectuality threshold” (IT). Yaitu, garis minimum kecendekiawanan yang harus dimiliki oleh seorang calon presiden.
Rakyat Indonesaia tidak hanya memerlukan “morality president” (presiden yang memiliki kredensial moral), tetapi mutlak harus dilengkapi dengan “aptitude” (kecerdasan), “capability” (kemampuan), dan “proficiency” (keahlian) dalam banyak hal. Ini merupakan ramuan intelektualitas. Indonesia memerlukan presiden yang mampu bervisi dan menjelaskan misinya untuk menjabarkan visi itu.
PT 20% atau sekian persen adalah panduan pilpres yang cocok berlaku di tengah masyarakat yang terbelakang, masyarakat yang tertindas. Masyarakat yang belum tersambung dengan internet. Masyarakat yang belum tersentuh sistem digital. Atau masyarakat yang mengedepankan otot, bukan otak. PT tidak pas lagi untuk rakyat Indonesia yang telah berada pada tingkat kecendekiawanan yang cukup tinggi.
Harap diingat, kita bukan memilih kepala desa, bukan bupati, dan bukan gubernur. Kita akan memilih presiden. Jabatan tertinggi dengan kompleksitas tertinggi juga. Dia akan bergaul di pentas internasional dan akan menghadapi trick-trick bertaraf internasional pula.
Bisakah “intellectuality threshold” (IT) diukur? Sangat bisa. Tampilkan figur capres di depan acara-acara serius di televisi (tentunya bukan model stasiun-stasiun TV yang ada ini). Ajukan pertanyaan-pertanyaan berat kepada dia, cecar sampai kandas; “panggang” dia di acara-acara itu.
Si capres akan menampakkan kualitas dirinya. Amati cara dia menjawab pertanyaan, dan bobot jawabannya. Pasti akan ketahuan “berisi” atau tidak. Capres harus sering dibawa ke studio, siaran langsung. Ini antara lain cara mengukur IT.
Kalau kita terus menggunakan PT dalam proses pilpres, Indonesia tidak akan pernah melahirkan presiden (pemimpin) yang memiliki bekal yang komplit. Presiden yang memiliki artikulasi (kemahiran berargumentasi), piawai melayani cecaran kritis di parlemen, dari kalangan media, maupun masyarakat luas.
Ada satu perumpamaan. Masyarakat Indonesia adalah “bullet train” (kereta api pelor, supercepat) dengan gerbong-gerbong canggih dan modern.
Apakah Anda akan memilih “lokomotif uap” untuk “bullet train” melalui Presidential Threshold 20%?
Oleh: Asyari Usman
(Penulis adalah wartawan senior)