
NUSANEWS - Peneliti dari Charta Politika mengatakan Elektabilitas Partai Golongan Karya (Golkar) saat ini tengah mengalami stagnansi. Hal itu berdasarkan hasil survei setahun belakangan yang dilakukan tiga kali pada Maret, September 2017, dan Januari 2018, di mana tidak ada perubahan signifikan.
Meskipun isu korupsi yang menerpa mantan Ketum Golkar, Setya Novanto, namun hal tersebut tak berpengaruh banyak.
Adapun hasil survei elektabilitas Golkar adalah, pada Maret 2017 sebesar 12,1 persen, September 2017 sebesar 10,8 persen, dan Januari 2018 sebesar 13,2. Survei ini merupakan rangkuman yang dilakukan Charta Politika satu tahun belakangan.
“Golkar saat ini sedang stagnan, karena selisihnya merupakan masih dalam rentang margin error,” ujar Yunarto dalam Rakernas Partai Golkar, Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Jumat (23/3/2018).
Seperti yang dikatakan oleh Yunarto, Golkar bukan partai yang mudah digoyang dengan isu. Dia pun mencontohkan seperti pasca-turunannya rezim Soeharto, pada Pemilu 1999, partai berlambang beringin ini masih menempati posisi dua. Lima tahun kemudian berhasil menjadi partai pemenang pemilu.
Lalu, pada kasus korupsi yang pernah menjerat Akbar Tandjung dan Setya Novanto, juga tidak begitu mengganggu atau memengaruhi dari elektabilitas Golkar.
“Dari awal saya percaya Golkar bukan jadi besar karena isu. Bukan partai kerdil karena isu,” ujarnya.
Yunarto mengungkap besarnya elektabilitas partai berlambang pohon beringin itu karena Golkar merupakan partai yang kuat dengan infrastruktur pemilihnya.
Berbeda dengan kebanyakan partai yang kuat dengan tokoh. Mayoritas pemilih setia Golkar merupakan orang-orang berumur tua. Hal ini yang diperkirakan akan mengancam Golkar usai Pemilu 2019.
“Karena orang-orang yang sudah tua dan pemilih Golkar secara biologis tidak akan bisa memilih,” tuturnya.
Cara yang tepat untuk menyelamatkan Golkar, sambung Yunarto ialah dengan menggenjot kemenangan dalam Pilkada dan Pemilu. Khusus pemilu, cara menggaet elektabilitas dengan cara yang tepat adalah dengan mengusung kadernya menjadi cawapres. Sebab, pemilih Joko Widodo (Jokowi) akan cenderung menjadi pemilih PDIP.
“Golkar harus serius memikirkan kadernya untuk menjadi cawapres,” tukasnya.
SUMBER