logo
×

Senin, 09 April 2018

Presiden Hancurkan Harapan Anak Bangsa

Presiden Hancurkan Harapan Anak Bangsa

NUSANEWS - Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo, bakal menghancurkan harapan pekerja dalam negeri. Ada celah untuk menggugat Perpres tersebut ke Mahkamah Agung (MA).

“Akan muncul persepsi, kebijakan Presiden Jokowi itu ‘menghancurkan’ harapan bangsa. Pekerja asing dipermudah masuk, sementara di sisi lain tingkat pengangguran masih tinggi,” demikian pendapat pengamat politik, Muslim Arbi, Minggu (8/4).

Tak hanya itu, Muslim mengingatkan, Perpres TKA itu bisa memunculkan konflik sosial. “Lihat saja, sudah ada gesekan antara pekerja asing di beberapa daerah dengan pekerja lokal. Apalagi ini dengan adanya Perpres,” papar Muslim.

Menurut Muslim, tidak benar jika Perpres TKA itu dikatakan akan mempermudah investor masuk ke Indonesia. “Investor itu tertarik di Indonesia jika ada transparansi perijinan dan tidak ada berbagai pungutan yang tidak jelas. Jika aturan pekerja lokal diperketat, investor akan ikut,” jelas Muslim.

Di satu sisi, kata Muslim, pekerja Indonesia bisa bersaing dengan pekerja asing. Namun, ada stigma rendahnya kualitas pekerja Indonesia.

Di sisi yang lain, Muslim mengungkapkan, ada pandangan negara lain, China misalnya, juga banyak menyerap TKI. “Pendukung kemudahan TKA menyamakan impor tenaga kerja asing ini dengan banyaknya jumlah TKI di luar negeri,” kata Muslim.

Menurut Muslim, tidak tepat menyamakan TKI di luar negeri dengan 'impor' TKA. “Pendukung Perpres ini biasanya mengatakan, bisa saja pembantu di Indonesia dari China, sama saja orang Hong Kong memiliki pembantu dari Indonesia. Padahal persoalannya sangat beda. China punya agenda global, pekerja Indonesia bekerja di negara lain lebih kondisi ekonomi dalam negeri,” paparnya.

Sementara Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar menilai, kemudahan izin TKA melalui Perpres sarat pelanggaran hukum. Hal ini dikarenakan banyak poin  yang bertentangan dengan aturan dasarnya, yaitu Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dia menyebutkan, pasal 10 Perpres TKA yang berbunyi bahwa persetujuan Rencana Penggunaan TKA (RPTKA) tidak dibutuhkan bagi TKA pemegang saham, pegawai diplomatik dan jenis pekerjaan yang dibutuhkan pemerintah. Padalah, pasal 43 UU Ketenagakerjaan menyebut pemberi kerja harus mendapatkan persetujuan RPTKA.

Selain itu, sambung Timboel, pasal 42 UU Ketenagakerjaan juga mewajibkan setiap TKA memiliki izin tertulis dari Kementerian Ketenagakerjaan. "Jadi, izin kerja TKA ini otomatis. Seharusnya, aturan ini tidak boleh dilanggar oleh Perpres. Namun nyatanya, aturan ini muncul di dalam Perpres," ujarnya.

Tidak berhenti di RPTKA, ia juga menyoroti pasal 22 Perpres yang diteken Presiden Joko Widodo itu. Pasal itu menyebut TKA bisa menggunakan jenis visa tinggal sementara (vitas) sebagai izin bekerja untuk hal-hal yang bersifat mendadak. Vitas merupakan syarat mutlak bagi TKA untuk mendapatkan Izin Tinggal Sementara (itas) yang izinnya dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Dengan kata lain, lanjutnya, kini persetujuan TKA masuk ke Indonesia bisa melalui dua pintu, yakni Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Hukum dan HAM. Padahal, menurut UU Ketenagakerjaan, izin hanya boleh diberikan oleh Kementerian Ketenagakerjaan.

"Jadi, memang kalau dilihat secara substansi, ada pelanggaran terhadap aturan sebelumnya, yakni UU Ketenagakerjaan," imbuh Timboel.

Karena bertentangan dengan konstitusi, Timboel menambahkan, Perpres permudahan izin TKA ini rawan untuk digugat ke Mahkamah Agung (MA). Apalagi, sejauh ini alasan pemerintah merelaksasi izin TKA demi investasi dianggap lagu lama.

Timboel menuturkan, dirinya teringat saat UU Nomor 13 tahun 2003, pemerintah beralasan untuk meningkatkan investasi. Kemudian, ketika Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2014 diterbitkan tentang permudahan tenaga kerja asing dikeluarkan, alasan yang dikemukan pemerintah lagi-lagi atas dasar investasi.

"Dengan berulang kalinya aturan TKA ini diubah, bisa disimpulkan bahwa sulitnya TKA bukan menjadi biang keladi pertumbuhan investasi," imbuhnya.

Wakil Ketua Badan Kerjasama Antarparlemen (BKSAP) Rofi’ Munawar ikut  bicara. "Dengan keluarnya regulasi Perpres yang baru disahkan, nampaknya desakan publik agar tidak gampang memberikan kelonggaran terhadap masuknya TKA hanya dianggap angin lalu oleh pemerintah. Padahal dengan keluarnya peraturan tersebut secara alamiah akan memperkecil kesempatan pekerja Indonesia," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (7/4).

Rofi menilai, pemerintah mengeluarkan Perpres ini dengan kacamata tunggal dan dengan pola pikir eksternalitas. Di saat yang bersamaan, ia menyesalkan pemerintah tidak cukup cermat memperhatikan faktor-faktor penentu lainnya secara internal.

Semisal, sambung Rofi, inventarisir masalah industrial yang akan terjadi dikarenakan kelonggaran terhadap TKA. Karena berdasarkan data dari Kemenakertrans, jumlah pengawas TKA sangat sedikit, yakni berkisar 1.200 orang. Jumlah ini tidak sebanding dengan kebutuhan pengawas terhadap TKA yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

"Proses pengawasan yang tidak optimal akan berdampak pada penggunaan TKA pada bidang-bidang kerja yang seharusnya ditempati oleh pekerja domestik," tegas Rofi.

Hal ini, kata Rofi, terbukti pada pasal 22 yang menyebut TKA bisa menggunakan jenis visa tinggal sementara (vitas) sebagai izin bekerja untuk hal-hal yang bersifat mendadak. Namun tidak menjelaskan secara spesifik dan jelas karakteristik mendadak yang dimaksud. "Tentu saja jika ini diabaikan, bukan tidak mungkin akan dipermaikan sejumlah oknum TKA," imbuhnya.

Dia menambahkan, vitas merupakan syarat mutlak bagi TKA untuk mendapatkan Izin Tinggal Sementara (itas) yang izinnya dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal, menurut UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, izin hanya boleh diberikan oleh Kementerian Ketenagakerjaan.

Diberitakan sebelumnya,  Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Presiden Nomor 20 tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Perpres TKA). Regulasi tersebut akan menjadi pintu masuk impor para pekerja dari luar, sedangkan pekerja dalam negeri menjadi tak terserap. 

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera mengatakan, di saat bersamaan pengangguran dalam negeri membludak, Jokowi malah mengimpor tenaga kerja asing.

"Beras banyak, tetap impor. Garam banyak, tetap impor. Pengangguran banyak, tenaga kerja impor. #2019GantiPresiden,” kritik anggota Komisi II DPR RI itu saat dihubungi, Jumat (6/4).

SUMBER
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: