
NUSANEWS - Mengenakan pakaian serba rapih, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto membesuk Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang tengah berbaring sakit di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto (RSPAD), Jakarta Pusat.
Sebelum SBY masuk ke RSPAD, Prabowo dan SBY dijadwalkan akan bertemu untuk membahas sejumlah agenda diantaranya soal koalisi di Pilpres 2019 pada Rabu (18/07/2018). Karena SBY sakit dan dirawat di RSPAD, maka pertemuan itu pun dibatalkan.
Karena mendengar SBY sakit, maka Prabowo pun buru-buru membesuk SBY. Sakitnya SBY bisa saja sebagai petanda bahwa, siapa yang paling “care” dalam memperhatikan dirinya yang tengah kurang sehat itu. Apalagi, dalam kancah pemilihan presiden (Pilpres) 2019, partai berlambang marcy itu masih “mengayun” sikap koalisinya, baik ke kubu pemerintah maupun ke kubu Partai Gerindra, PKS dan PAN.
Namun, sikap Demokrat belakangan ini mencair ke kubur Gerindra. Mengapa? mereka dicampakan oleh Joko Widodo (Jokowi) yang telah mengumumkan cawapresnya. Itu artinya sikap yang diambil oleh Partai Demokrat dalam menentukan arah koalisi di Pilpres 2019 nanti bakal terjawab. Sebab, Jokowi telah mengantongi 10 kandidat calon yang akan mendampingi dirinya di Pilpres 2019 nanti.
Partai Demokrat yang sifatnya menunggu, akhirnya diberikan jawaban oleh Jokowi. Terlebih kader Demokrat tidak disebutkan dalam 10 kandidat cawapres Jokowi itu. Tapi, bagi Demokrat tak diambil pusing, karena Partai Demokrat melihat Jokowi saat ini sedang menghadapi pilihan yang dilema, karena banyaknya kader parpol mitra koalisi ingin jadi cawapres.
“Kalau Pak Jokowi tidak pas memilih pasangannya dan ada partai mitra koalisi yang kecewa, bisa saja ada yang mengalihkan dukungannya,” kata Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Hinca Panjaitan pada diskusi “Dialektika Demokrasi” di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis (12/07/2018).
Bila hal ini terjadi, lanjut dia maka akan ada kejadian luar biasa, karena peta dukungan terhadap pasangan capres-cawapres akan berubah. Kemungkinan besar, Demokrat akan memunculkan poros ketiga atau kepada dua poros saja di Pilpres 2019 ini. “Ada kemungkinan muncul poros ketiga,” katanya.
Terlebih, berdasarkan hasil survei pemilih yang sudah memutuskan akan memilih Jokowi hanya sekitar 34 persen, sehingga peluang figur lain memenangkan Pilpres 2019 masih besar. Sebaliknya, jika setelah Jokowi mengumumkan cawapresnya tidak ada partai politik mitra koalisi yang mengalihkan dukungannya, maka Partai Demokrat akan memilih sikap mendukung salah satu capres.
Partai Demokrat, kata dia, mendorong Partai Gerindra dapat mengusung pasangan capres-cawapres, sehingga pemilu presiden 2019 paling tidak ada dua pasangan yang berkompetisi. Jangan sampai pemilu presiden hanya diikuti satu pasangan capres-cawapres. Partai-partai politik di Indonesia, harus menegakkan demokrasi.
Sementara, Partai Demokrat, kata Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Agus Hermanto tidak mau terburu-buru dalam menentukan sikap dalam Pilpres 2019. Dia pun memastikan sebelum tanggal 10 Agustus 2018 ini, partainya akan menentukan sikap.
Partai Demokrat, kata dia, sejauh ini masih mempertimbangkan beberapa hal sebelum memutuskan sikapnya akan mendukung Prabowo maupun mendukung Jokowi, atau memilih sikap yang lain. Secara administrasi, kata dia, belum ada parpol yang mengusung pasangan capres-cawapres, karena belum ada yang mendaftarkan ke pasangan capres-cawapres ke KPU.
Wakil Ketua DPR RI ini mengaku akan mempertimbangkan secara matang dan menentukan pilihannya secara selektif sebelum mengambil keputusan. Saat ini, kata dia, merupakan waktu yang prudent bagi Partai Demokrat untuk memilih keputusan yang ideal dalam menghadapi masa depan partai.
Setidaknya, saat ini ada dua koalisi yang sudah memantapkan diri untuk Pilpres 2019. Koalisi pertama yaitu kubu pemerintah yang mendukung calon inkumben Presiden Jokowi terdiri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Partai Hanura, Partai NasDem, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Sedangkan di kubu oposisi, koalisi berisikan Partai Gerindra, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Beberapa partai yang belum menentukan sikap salah satunya Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Berkarya. PAN digadang-gadang akan berlabuh di kubu oposisi, sedangkan PKB sudah bertengger di kubu pemerintah.
Partai Demokrat sebelumnya sempat mewacanakan membangun poros ketiga yang disebut koalisi kerakyatan dalam pilpres 2019. Tapi, poros yang dicetuskan oleh SBY itu hingga saat ini masih sebatas wacana. Demokrat masih berharap uji materi UU di Mahkamah Konstitusi terkait Presidensial Treshold 20 persen disahkan menjadi 0 persen.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman mengaku sempat mengusulkan ke Partai Demokrat untuk membentuk poros ketiga dalam pilpres 2019 ini. Tujuannya, kata dia, agar pilpres menjadi dua putaran seperti pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta 2017.
Sohibul menyampaikan hal itu saat bertemu dengan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarif Hasan beberapa waktu lalu. Menurut dia, poros ketiga dapat mengakomodasi partai yang ingin berkoalisi untuk mengusung kadernya masing-masing.
“Maka saya usulkan tahap pertama kami lakukan dua poros, supaya muncul empat orang. Berarti empat partai terakomodasi,” ujar Sohibul kepada awak media di kantor Dewan Pimpinan Pusat PKS, Jakarta, Senin (9/07/2018).
Poros ketiga memang ingin dibentuk sebagai salah satu formula melawan calon presiden inkumben Jokowi . Menurut dia, jika Demokrat masuk ke koalisi PKS, nantinya hanya akan ada dua pasangan calon dalam pilpres.
Sohibul ingin menerapkan startegi pilpres dua putaran seperti yang terjadi pada pilkada DKI 2017. Saat itu, Demokrat bersama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) mengusung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) berpasangan dengan Sylviana Murni.
Pasangan calon tersebut meraih suara terendah sehingga menjadikan pilkada DKI dua putaran. Setelah itu, PAN memberikan dukungannya ke pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. “Kalau kami dari awal itu melawan Pak Jokowi itu satu formula, itu kan berarti yang tampil cuma dua orang, ya kan. Tentu ada pihak-pihak yang kemudian aspirasinya tak tertampung,” ucapnya.
Sohibul mencontohkan poros ketiga dapat dibentuk dengan koalisi seperti Demokrat, PAN dan PKB yang pada akhirnya bergabung ke pemerintah. Dengan adanya poros ini, kata dia, pilpres akan menjadi dua putaran. “Nah diputaran kedua baru kami saling dukung,” tuturnya.
Nilai Tawar di AHY
Tak ingin ngotot di poros ketiga, rupanya Partai Demokrat lebih “ngotot” menawarkan ketua Kogasma Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai salah satu cawapres yang akan bertarung pada Pilpres 2019. Menurut Demokrat, peluang AHY maju Pilpres masih terbuka.
“Kami sampai sekarang tidak pernah menyatakan menutup peluang Mas Agus. Menurut kami, dia salah satu yang sangat berpeluang untuk maju sebagai cawapres, baik dari sisi elektabilitas survei-survei cawapres,” ucap Ketua Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat Imelda Sari di Jakarta, Sabtu (14/07/2018).
Prabowo, klaim dia membuka peluang untuk menggandeng AHY di Pilpres 2019 ini. Sebab, capres yang bertarung di Pilpres 2019 membutuhkan sosok muda untuk menggaet pemilih dari kaum milenial. “Dan saya kira juga apa yang kami ketahui juga, apakah baik dari kubu Pak Prabowo misalnya informasi yang disampaikan dalam pertemuan dengan Pak Syarief, yang menyatakan ada keinginan untuk meminta Mas Agus menjadi Cawapres,” katanya.
“Saya pikir itu biar nanti dalam proses ya. Kita lihat politik pada hari-hari ini ada beberapa nama yang kita lihat muncul untuk Pak Jokowi. Dan itu biar menjadi urusan Pak Jokowi untuk memilih siapa cawapres,” ucapnya.
Teka-teki akan kemana arah politik SBY berlabuh tentu menjadi tanda tanya besar, sebab Demokrat sejak awal pemerintahan Jokowi terbentu mengambil langkah mengambang? Tapi sikap yang berbeda di Pilpres 2019 ini bakal ditempuh Demokrat.
Sebab, menurut Pengamat Politik Indonesian Public Institute (IPI) Jerry Massie partai SBY ini akan berafiliasi dengan koalisi yang dipimpin Prabowo Subianto. “Sign atau tanda politiknya sudah kelihatan ini tak dapat dikelabui,” kata Jerry kepada redaksi.
Meski Prabowo maupun Jokowi sudah bertemu SBY, namun secara emosional Demokrat memiliki kedekatan dengan Gerindra. Sehingga bisa dipastikan Demokrat pasti akan deal dengan Gerindra, pasalnya kedekatan keduanya cukup baik atau punya chemistry politik, sejak 2014 lalu. “Jadi keduanya tak bisa dipisahkan,” ujar Jerry.
Selain kedekatan, pilihan mitra koalisi Demokrat juga bergantung pada porsi cawapres. Terlebih, SBY berharap lebih kepada Prabowo agar memberi karpet merah kepada AHY untuk menjadi cawapres. “Untuk cawapres AHY ke Jokowi tipis, 60 persen berbanding 40 persen. Jadi dia tetap memilih opsi Gerindra,” ucap Jerry.
Meski hingga saat ini bangun koalisi Demokrat dan itu Gerindra belum jelas, Jerry memprediksi hal itu segera diumumkan usai SBY sepulang dari rumah sakit ataupun menunggu sampai sembuh total.
Elektabilitas Prabowo dan Upaya Mencari Pendamping
Elektabilitas Prabowo yang masih tertinggal jauh dari Jokowi tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk mengatakan percuma bagi Prabowo menantang kembali mantan rivalnya di Pilpres 2014. Demikian disampaikan pengamat politik Said Salahuddin melalui akun media sosialnya yang dikutip redaksi.
Kata dia, elektabilitas dalam timbangan survei yang diukur sebelum ada penetapan calon Presiden (capres) dan calon Wakil Presiden (cawapres) bukan determinan. Sebab, dalam survei yang demikian, sebagian angka elektabilitas seorang calon masih hinggap di calon yang lainnya.
Ketika nama capres-cawapres sudah dipastikan, maka pada saat itulah angka elektabilitas yang tersebar di sejumlah calon yang gagal diusung akan beralih ke calon yang akan benar-benar bertanding.
Tetapi elektabilitas pasca-penetapan calon pun masih belum menjadi jaminan. Elektabilitas Jokowi dan Anies Baswedan saat Pilkada Jakarta 2012 dan 2017 menurut survei berada dibawah lawannya. Tapi faktanya merekalah yang menjadi juaranya.
“Jadi, mengukur peluang pencalonan dan peluang kemenangan Prabowo hari ini hanya dengan melihat elektabilitas hasil survei adalah kalkulasi yang simplifikatif,” katanya.
‘Presidential Effect’ Pemilu Serentak
Pemilu 2019 adalah Pemilu serentak. Di dalam Pemilu yang menyatukan pemilihan anggota leslatif (pileg) dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (pilpres), pemilih cenderung memberikan perhatian lebih pada pertarungan pilpres yang menentukan pucuk pimpinan eksekutif nasional, ketimbang pileg.
Sehingga, lanjut dia, dalam praktik memilih, masyarakat sebagai pemilik suara memiliki kecenderungan untuk mencoblos partai politik yang mengusung capres-cawapres pilihan mereka. Lebih spesifik lagi, parpol yang kadernya menjadi capres atau cawapres-lah yang akan cenderung dicoblos oleh pemilih.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika dalam pembentukan koalisi parpol sekarang ini setiap partai politik berusaha keras memasukkan kadernya sebagai capres atau cawapres. Sebab, dengan menempatkan tokohnya sebagai capres atau cawapres, parpol berharap dapat memetik manfaat elektoral dari perilaku pemilih yang demikian, untuk memperbanyak perolehan suara pileg dan kursi di legislatif.
Jika parpol hanya menjadi pengusung dan tidak mendapatkan jatah capres atau cawapres, maka tentu saja mereka akan kehilangan kesempatan untuk lebih banyak meraup suara pileg dan mendudukan wakil-wakilnya di lembaga DPR dan DPRD.
Nah, dalam konteks itulah pengusulan Prabowo sebagai capres oleh Partai Gerindra menemukan argumentasinya. Jika Prabowo hanya menjadi ‘king maker’ dan menyerahkan posisi capres kepada tokoh dari parpol lain atau tokoh dari non parpol, maka Gerindra jelas akan sangat merugi. ‘presidential effect’ yang saya jelaskan tadi tidak bisa mereka petik.
“Jadi, pencalonan Prabowo oleh Gerindra menurut saya tidak akan berubah. Adalah tindakan bunuh diri jika Gerindra nekat mengistirahatkan Prabowo,” kata dia.
Kecuali, misalnya, tokoh eksternal yang akan hendak dijadikan sebagai pengganti Prabowo sebagai capres, dipersyaratkan untuk terlebih dahulu menjadi anggota Gerindra. Sebab, di internal Gerindra belum ada tokoh lain yang potensial menjadi capres, selain Prabowo.
Tetapi Gerindra juga perlu berhitung jika ingin menggantikan Prabowo dengan tokoh yang lain. Sebab kalau kalkulasi Gerindra sampai meleset, yang ada nantinya alih-alih bisa menang, prosentase suara Prabowo di pilpres sebelumnya malah bisa menciut.
Peluang Aher, Zulhas dan AHY Dampingi Prabowo
Pada bagian yang lain, jika ingin menang atas Jokowi di pertarungan kedua nanti, dalam menentukan figur cawapresnya Prabowo juga harus betul-betul berhati-hati. Jangan hanya karena berharap PKS, PAN, dan atau Partai Demokrat menjadi teman koalisi, lalu terjebak pada opsi cawapresnya harus dari salah satu parpol itu.
Keinginan parpol calon koalisi Gerindra untuk menempatkan kadernya sebagai pendamping Prabowo memang sangat beralasan karena adanya faktor ‘presidential effect’ yang saya sebutkan diatas, tetapi parpol-parpol itu menurut saya juga perlu melihat target yang lebih besar dari pembentukan koalisi. Koalisi itu mau mereka bentuk hanya sekedar untuk “ikut” pilpres atau mau “menang” pilpres?
Kalau sekedar mau ikut pilpres, maka nama Ahmad Heryawan (Aher), Zulfikifli Hasan (Zulhas), dan atau Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sebetulnya bisa dengan mudah diputuskan lewat cara undian, misalnya. Sohibul Iman, Zulhas, dan SBY cukup ‘gambreng’ bertiga, selesai urusan.
“Tetapi kalau target koalisi ingin menang, maka masing-masing parpol menurut saya perlu jujur dalam menakar kans dari masing-masing jagoannya,” ujar dia.
“Saya sendiri menilai kalau Aher yang dipilih Prabowo, saya ragu pasangan itu nantinya bisa meraih suara yang signifikan. Tetapi saya tidak meragukan ketokohan Aher. Dia sosok cerdas yang punya segudang prestasi,” kata dia menambahkan
Tetapi perlu dingat, Pilpres itu lingkupnya nasional. Aher belum cukup dikenal oleh masyarakat di pelosok negeri. Namanya besar dalam cakupan yang terbatas. Di DKI Jakarta dan Jawa Barat, misalnya, nama Aher sangat tersohor.
Etinisitas Aher yang berasal dari Suku Sunda juga menjadi alasan lain dari keraguan saya. Sebab, suka-tidak suka, mau-tidak mau, harus dipahami bahwa latar belakang suku seorang kandidat seringkali menjadi preferensi pemilih dan dijadikan sebagai pertimbangan dalam memilih.
Populasi pemilih dari Suku Sunda diluar Pulau Jawa, tidak sebesar orang Jawa, misalnya. Sebaran pemilih yang terbatas itulah yang berpotensi mempersempit perluasan jangkauan suara pasangan Prabowo- Aher diluar Pulau Jawa.
Seandainya saja Provinsi Jawa Barat yang memiliki jumlah pemilih terbanyak di Indonesia berada di luar Pulau Jawa, maka dengan segala prestasi yang dimilikinya, dia pun berani mengatakan: Aher pantas dinomorsatukan. Bahkan tidak mustahil dia menjadi rebutan. Kalau cuma sekelas TGB saja sih, lewatlah.
Adapun peluang Zulhas untuk mendamping Prabowo tampaknya masih dibawah dari Aher dan AHY. Hal itu boleh jadi ada kaitannya dengan telah diberikannya posisi cawapres kepada Hatta Rajasa yang berasal PAN saat mendampingi Prabowo di pilpres 2014.
Jadi mungkin ada semacam kesepakatan atau fatsun yang terbangun diantara Gerindra, PKS, dan PAN untuk tidak memberikan lagi posisi cawapres kepada kader PAN kembali karena ada semacam skema pergiliran.
Selain daripada itu, saya melihat PAN sendiri seperti ‘ogah-ogahan’ atau tidak terlalu serius untuk mengusung Zulhas sebagai cawapres Prabowo. Hal itu bisa dilihat dari inkonsistensi PAN dalam menyorongkan nama figur capres atau cawapresnya.
Satu hari partai berlambang matahari terbit itu menyebut nama Zulhas, kapan waktu yang muncul nama Amien Rais. Bahkan dari mulut Zulhas sendiri justru terlontar nama Anies Baswedan.
Untuk AHY, jika Prabowo sudah tidak mampu lagi membendung permintaan posisi cawapres dari teman koalisinya, maka didalam keterpaksaannya itu Prabowo dapat saja mengandalkan tokoh baru dari Partai Demokrat tersebut.
AHY bisa diandalkan Prabowo untuk mengambil suara dari pemilih pemula yang cenderung menyukai figur muda yang relatif segenerasi dengan mereka. Jumlah pemilih pemula di Pilpres nanti kan jumlahnya cukup lumayan.
Walaupun sama-sama berlatar belakang militer, tetapi jika koalisi sepakat mengusung Prabowo-AHY, maka di dalam kampanye nantinya dapat saja sosok AHY tidak ditonjolkan sebagai seorang mantan tentara, tetapi lebih dicitrakan sebagai tokoh muda yang punya kemampuan memimpin bangsa.
Pamor SBY yang masih melekat di benak masyarakat dapat menjadi penambah stamina bagi koalisi Prabowo-AHY. Di pilpres 2014 lalu kan SBY masih mengambil sikap netral. Walaupun sebagian besar pengurus Demokrat mendukung Prabowo, tetapi jika dulu SBY ikut turun tangan, maka hasil pilpres mungkin saja berbeda.
Jadi kalau parpol koalisi jadi membungkus Prabowo-AHY sebagai cawapres-cawapres yang akan bertempur melawan petahana, maka keikutsertaan SBY untuk mengkampanyekan pasangan itu nantinya dapat menjadi bonus esktra.
Peluang Tokoh Lain Sebagai Cawapres Prabowo
Selain kandidat dari internal koalisi, maka untuk mencapai target “menang”, dan bukan sekedar “ikut” pilpres tadi, Gerindra, PKS, PAN, serta Demokrat, dia mengira juga perlu melihat potensi kemenangan yang lebih terbuka jika cawapres Prabowo berasal dari luar luar parpol tersebut.
Nama Anies Baswedan, dia pun menganggap cukup menjanjikan untuk bisa menambah suara Prabowo. Perlu diingat, sebelum penetapan nama capres-cawapres pada Pilpres 2014, nama Anies Baswedan bertengger di posisi ketiga sebagai tokoh yang paling dinginkan masyarakat menjadi capres.
Saat itu nama Anies yang kadang bertukar tempat dengan Mahfud MD untuk posisi ketiga dan keempat, persis berada dibawah nama Jokowi dan Prabowo. Artinya, sejak 2014 pun nama Anies sebetulnya sudah menguat. Apalagi jika ditambahkan dengan popularitas yang diraihnya pascamenang di Pilkada Jakarta. Nama Anies semakin dikenal dan mendapat perhatian yang lebih luas lagi dari masyarakat Indonesia.
“Jika dipersandingkan antara Prabowo-Aher, Prabowo-Zulhas, atau Prabowo-AHY, saya cenderung memprediksi pasangan Prabowo-Anies lebih berpeluang mendulang suara lebih banyak,” kata dia.
Selain daripada itu, sebagai mantan ‘orang dalam’ Jokowi di Pilpres 2014, Anies paham benar seluk-beluk dan strategi Jokowi dan parpol pendukungnya. Dengan bekalnya itu dia dapat merumuskan strategi yang lebih jitu untuk mengalahkan Jokowi di Pilpres 2019 nanti.
Tetapi untuk menunjuk Anies sebagai pendamping Prabowo memang tidak mudah. Parpol koalisi Gerindra tentu tidak mudah setuju. Lagi-lagi ini terkait dengan faktor ‘presidential effect’ yang diuraikan di atas. “Jadi semua berpulang pada Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat. Mereka sekedar mau “ikut” pilpres atau mau “menang” pilpres?” kata dia.
SUMBER