logo
×

Senin, 01 Oktober 2018

Mengapa Jenderal Hario Dipenjara Soeharto?

Mengapa Jenderal Hario Dipenjara Soeharto?

NUSANEWS - Hari itu, 16 Februari 1981, adalah 'hari besar' bagi Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra. Setelah 15 tahun dijebloskan ke penjara tanpa pernah diadili, pada Senin pagi itu dia bebas. Pranoto keluar penjara bersama dua jenderal sesama tahanan politik : Mayor Jenderal Soehario Padmodiwirio, mantan Pangdam Mulawarman dan Mayor Jenderal Rukman, mantan Kepala Staf Kodam Siliwangi.

Mereka bisa bebas setelah mendapatkan surat keputusan pembebasan dari Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Laksamana Sudomo. "Sampai sekarang kami bertiga tetap tidak dapat mengerti dan memahami apa yang dijadikan argumentasi atau motivasi penahanan kami," Pranoto menulis dalam catatannya. Setelah upacara singkat di Markas Kodam Jaya, sesuai niatnya, dia pulang berjalan kaki ditemani putranya, Handrio Utomo, ke rumahnya di kampung Kramat Jati, Jakarta Timur.

Setelah peristiwa 1 Oktober 1965, ada sejumlah jenderal jatuh, tamat karirnya, bahkan dihukum mati atau harus mendekam di penjara bertahun-tahun seperti Deputi Operasi I TNI Angkatan Darat Mayor Jenderal Moersjid, Asisten III Panglima TNI Angkatan Darat Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra, Brigadir Jenderal Mustafa Sjarief Soepardjo, Panglima Komando Tempur II Komando Mandala Siaga, Brigadir Jenderal Ulung Sitepu, Gubernur Sumatera Utara, Brigadir Jenderal Sugeng Sutarto, Wakil Kepala Badan Pusat Intelijen, Mayor Jenderal Rukman dari Kodam Siliwangi, Mayor Jenderal Soehario Padmodiwirio, mantan Panglima Kodam Mulawarman, dan beberapa petinggi TNI Angkatan Udara.

Tapi ada pula jenderal yang karirnya makin mengkilap, Maraden Panggabean salah satunya. Setelah Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jenderal Ahmad Yani, Maraden ditunjuk menjadi Wakilnya. Karir Maraden terus menanjak hingga menjadi Panglima TNI pada 1973.

Tak ada firasat apapun di benak Mayor Jenderal Soehario Padmodiwirio saat dia memasuki pesawat Aeroflot dan bersiap terbang ke Moskow, Uni Soviet, pada akhir Januari 1965. Dia menikmati betul penerbangan itu. Apalagi, semua hidangan yang ditawarkan pramugari sepanjang penerbangan cocok dengan seleranya, mulai dari kaviar sampai ikan sturgeon asap dari Laut Hitam. Setelah perut kenyang, beberapa teguk Vodka Stolitsnaya membuat Hario Kecik, dia biasa disapa, terlelap hingga mendarat di Moskow.

Tugas belajar ke Moskow ini bukan penugasan pertama bagi Hario. Mayor Jenderal Soehario pernah dikirim belajar ke Soviet, juga ke Amerika Serikat. Sebelum dikirim ke Soviet oleh Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani, Hario pernah menjabat Panglima Kodam Mulawarman di Kalimantan. Jenderal Yani menjanjikan dia akan mendapatkan kenaikan pangkat setelah pulang dari Soviet. Hario tak tahu, penerbangan kali itu akan mengubah jalan hidupnya dan keluarganya untuk selamanya.

Baru delapan bulan menempuh pendidikan di General Staff Academy Suworov, Hario mendengar kabar ada geger di Jakarta pada 30 September 1965. Sejumlah pimpinan Angkatan Darat, termasuk Jenderal Yani, tewas dibunuh. Badai politik di Jakarta, memporakporandakan nasib banyak warga Indonesia yang sedang belajar di Uni Soviet, termasuk Mayor Jenderal Hario dan keluarganya. "Papi merasa setelah peristiwa 1965, tidak ada yang menghubunginya. Ibaratnya, seperti layangan putus," ujar putra kedua Hario Kecik, Satrio Bimo, kepada DetikX, beberapa waktu lalu. Bahkan ketika pendidikan militernya selesai pada 1967, tak ada perintah untuk kembali ke Indonesia.

Tak boleh kembali ke tanah air membuat status kewarganegaraan Hario dan keluarganya tak jelas. "Kami stateless, tak punya negara, tapi kami tidak meminta status warga negara ke negara lain," ujar Satrio. Mereka akhirnya berada dalam perlindungan Komite Internasional Palang Merah. Untuk menghidupi keluarga, Hario menjadi peneliti di USSR Academy of Science.

Akhirnya, pada Juni 1977, setelah lebih dari 12 tahun tinggal di Moskow, Hario dan keluarganya pulang ke Indonesia. Begitu keluar dari pintu pesawat ternyata sudah menunggu Ali Murtopo, salah satu orang kepercayaan Presiden Soeharto. Hario langsung dikirim ke Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta. Tak jelas benar apa kesalahan Hario.


SUMBER
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: