logo
×

Rabu, 10 Oktober 2018

Soal Pertumbuhan Ekonomi, IMF & Pemerintah Tidak Sama

Soal Pertumbuhan Ekonomi, IMF & Pemerintah Tidak Sama

NUSANEWS - Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China akan berdampak buruk bagi ekonomi negara berkembang. International Monetary Fund (IMF) memprediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya 5,1 persen. Angka tersebut di bawah target pemerintah 5,3 persen.

Kepala Ekonom IMF Maurice Obstfeld mengatakan, dipang­kasnya proyeksi tersebut seiring dengan perkembangan ekonomi global yang diperkirakan turun dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen pada tahun ini. Alasan penurunan proyeksi karena adanya pengetatan kebijakan moneter di dunia.

"Selain itu, kita juga melihat perkembangan harga minyak dunia, dan ketegangan dagang yang belum jelas," ujarnya di sela-sela pertemuan tahunan IMF-World Bank 2018 di Nusa Dua, Bali, kemarin.

Penurunan proyeksi ini juga seiring defisit transaksi berjalan yang diperkirakan berada di kisaran 2,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) meskipun inflasi terbilang rendah di kisaran 3,4 persen. Namun, IMF melihat pertumbuhan Indonesia ke depan masih cukup kuat.

Dalam laporan World Eco­nomic Outlook (WEO) Oktober 2018, IMF melihat Indonesia masih bisa menjaga angka per­tumbuhan ekonomi melalui beberapa indikator. Salah satunya, kebijakan fiskal melalui pos penerimaan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Indonesia bisa mendapat penerimaan pajak yang banyak. Juga dengan meningkatkan investasi di pendidikan, in­frastruktur, dan sosial. Ini akan menguntungkan banyak pihak. Agar ini berjalan baik, Indone­sia perlu meningkatkan human capital," terangnya.

Ke depan, infrastruktur dapat menjadi daya tarik bagi aliran investasi ke Indonesia. Terlebih, Indonesia terus berusaha mengu­rangi regulasi perizinan.

Sementara di 2019, IMF juga memperkirakan perekonomian Indonesia tetap tumbuh di kisaran 5,1 persen. Ramalan ini seiring dengan proyeksi Defisit transaksi berjalan di kisaran 2,4 persen terhadap PDB dan inflasi di kisaran 3,8 persen.

Sementara untuk pertumbuhan ekonomi ASEAN, IMF mem­perkirakan rata-rata pertumbuhan ekonomi lima negara terbesar di kawasan tersebut pada tahun ini stagnan di kisaran 5,3 persen. Sedangkan untuk tahun depan, pertumbuhan ekonomi ASEAN justru turun men­jadi 5,2 persen.

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Mardiasmo mengatakan, ketegangan perdagangan dan ketidakpastian dalam perang tarif memberikan memberikan konsekuensi terhadap pasar. Adanya peningkatan signifikan terhadap tarif impor semakin menekan volume dan kinerja ekspor.

Menurut dia, perang dagang antara Amerika Serikat dan China memberikan dampak be­sar pada pasar global. Keadaan ini merupakan tantangan bagi pemerintahan seluruh dunia untuk menetralisir keadaan dan tetap menjaga kesejahteraan masyarakat termasuk Indone­sia.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Doddy Budi Waluyo mengatakan, penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia itu disebabkan oleh faktor global. Bank Sentral akan melakukan policy mix untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dan inflasi.

Saat ditanya, apakah BImemi­liki batas tengah pertumbuhan ekonomi, Doddy mengatakan, saat ini, pihaknya mengaku masih sangat positif dalam kisaran pertumbuhan ekonomi dikisaran 5,1-5,3 persen hingga akhir tahun.

"Sekitar 54 persen pertumbu­han ekonomi Indonesia berasal dari konsumsi. Jika konsumsi bisa dijaga di atas 5 persen, sebenarnya masih bisa dijaga pertumbuhan ekonomi nasional di atas 5 persen," kata Doddy.

Pentingnya Kerja Sama 

Direktur Pelaksana ILembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank Dwi Wahyudi mengatakan, ketegangan perdagangan dan ketidakpastian dalam perang tarif serta dampak dan konsekue­nsinya terhadap pasar berkem­bang. Pemerintah akan bergerak aktif dalam meningkatkan sektor manufaktur dan ekspor.

"Adanya peningkatan sig­nifikan terhadap tarif impor, semakin menekan volume perda­gangan internasional dan kinerja ekspor. Selain itu, tingginya ketergantungan terhadap dolar, akan membebani pembiayaan eksportir," ujarnya.

Kondisi ini menunjukkan pentingnya Kerja Sama Selatan-Selatan. Terutama untuk mencip­takan respons serta strategi yang potensial untuk mengatasi situasi yang terjadi. Kerja sama ini juga untuk membuka peluang serta penetrasi pasar.

"Untuk melakukan penetrasi pasar, LPEI dukung pembiayaan ke negara-negara di kawasan Afrika dan ini sejalan dengan Penugasan Khusus yang diberikan pemerin­tah," kata Dwi. ***

SUMBER
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: