
SEJAK sekitar awal November kubu Jokowi-Ma'ruf Amin melakukan perubahan strategi pertandingan. Ibarat dalam sepakbola, jika semula pelatih Erick Thohir memilih strategi bermain defensif dengan pola pertahanan gerendel atau catenaccio, tapi kini mengubah strategi pressing football.
Dalam strategi ini kesebelasan Jokowi-Ma'ruf melakukan serangan cepat dan rapat ke lawan. Prinsipnya, jangan biarkan lawan menguasai bola. Begitu lawan mendapat bola, pemain yang terdekat harus segera merangsak merebutnya. Jika perlu keroyok. Maka jadilah, satu permain lawan bisa dikeroyok 3-4 pemain.
Dengan pola tanggung jawab demikian, maka setiap pemain tidak lagi hanya berkutat dengan statusnya. Misalnya, libero hanya mengawal jantung pertahan, tapi juga harus menyerang, kalau perlu menggantikan posisi striker.
Demikian pula striker tidak harus hanya menjadi target man atau beroperasi di daerah penalti lawan. Tetapi juga harus mengeroyok lawan terdekat. Jika perlu sampai di lini pertahanan sendiri. Yang penting jangan sampai menjadi kiper saja karena begitu memegang bola kena penalti.
Sebagai kapten, Jokowi sangat cerdas memainkan pressing football ini. Sergapan-sergapan ke lawan cukup ketat. Setiap lawan memegang bola dia ikut melakukan pressing. Contohnya, dia sebut politisi sontoloyo. Sergapan ini sepertinya diarahkan kepada pemain lawan seperti Fadli Zon, Ferdinand.
Ketika diksi sontoloyo sudah hendak raib ditelan bumi, dia susul dengan politik genderuwo. Genderuwo adalah istilah 'horor' khayalan untuk menakut-nakuti anak-anak kecil yang ketika malam masih di luar rumah cari jangkrik, atau emak-emak yang mau jalan kaki ke pasar di pagi buta.
Mahluk genderuwo itu sebenarnya hanya khayalan. Tetapi ketika khayalan itu diulang-ulang dan masuk di alam bawah sadar maka seolah-olah benar-benar adanya. Jadilah "genderuwophobia". Tidak jauh-jauhlah dengan Islamphobia.
Selagi genderuwo mulai kehilangan tempat karena orang sudah punya mantra penangkal seperti lagu "Bojoku Galak", muncullah diksi baru "tabok". Jokowi ingin rasanya hendak menabok penyebar hoax bahwa dirinya PKI.
Bahkan Jokowi harus turun sendiri ke pasar untuk menyergap Sandiaga Uno. Kalau dalam perang klasik, seharusnya Jokowi melawan Prabowo. Sedang Sandi lawannya Ma'ruf. Tetapi sepertinya Erick paham, jika Sandi dibiarkan menguasai pasar ibarat playmaker Spanyol Iniesta menggoreng dan menggiring bola, maka bisa menjadi ancaman serius. Sebab Ma'ruf sepertinya sulit kalau juga harus tarung di pasar melawan Sandi. Minimal kalah lincah dan gesit. Tapi kalau urusan tausiyah walimatul hitan atau ujub slametan, pasti Ma'ruf lebih jago.
Pastilah perubahan strategi ini ada maksud dan tujuan dari pelatih. Tetapi apa tujuannya, hanya pelatih dan timnya yang tahu persis. Sedang analis bola, jurnalis bola hanya bisa menduga dan meramesi dengan argumen yang ndakik-ndakik.
Demokrasi Bola
Perubahan strategi pasti juga menarik penonton. Dalam kaidah demokrasi bola, penonton juga punya hak berkomentar. Tak peduli yang sebenarnya tidak tahu apa-apa soal strategi permainan, ada yang ngerti sikik-sikik, sampai yang pokok komen. Dari tingkat yang keminter sampai yang cuma misuh cak-cuk. Walhasil, demokrasi bola itu tidak jauh-jauh amat dari demokrasi politik seperti hubungan saudara sepupu.
Maka, bertebaranlah komentar. Ada yang masuk akal, tapi banyak juga yang bikin terpingkal-pingkal. Ada yang bikin asyik, ada juga yang membakar telinga. Karena ini ranah demokrasi bola, sebaiknya jangan baper karena akibatnya bisa macam-macam mulai gigi gemertak sampai tidur tidak kepenak.
Komentar dari yang mafhum bola, strategi pressing football ini untuk meredam pola permainan tiki-taka kubu Prabowo-Sandi. Seperti Italia melawan Spanyol di Euro 2016. Saat itu tiki-taka Spanyol sangat menakutkan. Tetapi Italia meredamnya dengan pressing football tinggi dibumbui tackling-tackling efektif. Walhasil, Italia menang 2-0.
Sebagai kapten, inisiatif Jokowi melakukan pressing ketat disertai tackling efektif ini juga untuk membangkitkan moral bertanding kawan-kawannya. Hitung-hitung partai pendukung (kecuali PDIP dan PKB) tidak mendapat coattail effect memang membuat mereka loyo di Pilpres. Mereka kini sibuk golek slamete dewe (selamat sendiri) dengan konsentrasi di Pileg.
Ada juga yang berpendapat perubahan sikap Jokowi yang semula santun, andap asor, ngalah tiba-tiba menjadi atraktif, agak kereng ini karena panik mengetahui elektabilitasnya menurun. Ada juga yang melihat karena elektabilitasnya sudah masuk angka menang, maka bisa leluasa berubah strategi. Pokoknya bermacam-macam komentar, tafsiran, dugaan. Dan itulah demokrasi bola. Kalau tidak begitu tidak seru bin heboh. Yang penting janganlah mereka dibungkam disumbat dengan bola karena bisa keluar melalui lobang lain dan dijamin bau.
Perang Klasik
Rupanya Djoko Santoso, pelatih Prabowo-Sandi menanggapi perubahan strategi lawan juga dengan mengubah strategi permainan dari tiki-taka ke zona marking. Bisa jadi sudah diperhitungkan, kalau bertahan dengan strategi tiki-taka bisa bernasib seperti Spanyol lawan Italia. Kalau mengimbangi dengan pressing football, bisa mendelosor. Menurut kalkulasi politik kalah logistik, jaringan, momentum.
Tanpa bermaksud mengurangi kepiawian Djoko Santoso, perubahan adaptif ini mungkin atas masukan "Direktur Teknik" Soesilo Bambang Yudhoyono. Posisi SBY ini seperti Zidan di Real Madrid atau Franz Beckenbeuer di Bayern Muenchen.
Terlihat dari kritik SBY ke internal tim. Sistem zona marking mengharuskan setiap pemain disiplin pada zonanya. Bola yang mengalir bergerak dari zona ke zona bukan orangnya. Tidak selalu bisa dibenarkan menggiring bola sampai menjelajah zona lain. Kalaulah terpaksa keluar dari zona harus segera ada yang menggantikan. Banyak personil tim Prabowo-Sandi yang cenderung bermain di agenda masing-masing.
Terlihat juga pernyataan SBY akan kampanye untuk Prabowo-Sandi pada bulan Maret. SBY mau mengingatkan tentang perlunya sabar, konsisten pada tahapan, serangan yang terukur, pengefektifan peran. Waktu Pilpres ini masih panjang. Jangan grusa-grusu menforsir serangan di awal-awal pertandingan kemudian kedodoran di saat-saat akhir.
Pelatih yang bijaksana, tidak akan menggunakan waktu 90 menit untuk menyerang terus menerus tetapi adakalanya memainkan bola untuk menguras stamina lawan, bertahan.
Jalannya pertandingan baru sekitar 25 menit. Masih dimungkinkan strategi pertandingan kedua belah pihak berubah. Termasuk tiba-tiba memunculkan strategi perang di luar bola seperti strategi perang klasik Garuda Ngelayang, Diradha Meta, Emprit Neba dan Cakra Byuha.[***]
Anwar Hudijono wartawan senior tinggal di Sidoarjo
SUMBER