
NUSANEWS - Jelang Pemilu 2019, Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) seolah menjadi sentral bagi pemerintah dalam menyikapi beragam persoalan yang mencul. Pada kasus pembakaran bendera tauhid di Garut, Jawa Barat beberapa waktu lalu misalnya, Menko Polhukam Wiranto sampai beberapa kali menggelar rapat koordinasi, termasuk rapat koordinasi yang baru-baru ini digelarnya bersama Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin bersama beberapa ormas Islam.
Sebelumnya, mantan Panglima ABRI ini juga menggelar pertemuan sub regional meeting on counter terrorism (SRM on CT) bersama pemerintah Australia dalam rangka menghadapi berkembangnya ancaman terorisme. Berikut penjelasan Wiranto terkait hasil pertemuan yang membahas beberapa persoalan dalam negeri dan regional tersebut;
Baru-baru ini Anda mengundang Menteri Agama bersama beberapa ormas Islam ke kantor Anda. Apa saja yang dibahas dalam pertemuan tersebut?
Perlu Anda ketahui bahwa saya memang sengaja mengundang tokoh-tokoh agama Islam, para ulama, para habaib, dan juga para pimpinan ormas Islam untuk berdialog. Dialog secara bebas dan santai, membahas masalah ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wattoniyah, masalah tauhid, masalah akidah yang sementara ini kan masih menjadi perdebatan.
Lho memangnya perdebatan apalagi, bukankah kasus pembakaran bendera tauhid di Garut sudah selesai?
(Perdebatan itu) walaupun sudah mereda, tetapi masih cukup sengit.
Sebab (bendera yang dibakar di Garut beberapa waktu lalu)sebagian kalangan menganggap bendera HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), sementara sebagian lagi menggap bendera tauhid. Atau meski bukan bendera tauhid, tapi simbol-simbol tauhid. Sehingga terjadi perbedaan yang sangat tajam.
Bukankah sudah disepakati diselesaikan secara hukum?
Polisi memang telah menyelesaikannya dengan satu struktur hukum, yang kemudian telah memberikan satu proses peradilan kepada orang yang membakar dan yang membawa bendera. (Dari pihak-pihak yang berperkara) ini kan masing-masing memberikan penjelasan yang membuatnya tidak bisa menjadi satu. Maka saya kumpulkan, Menteri Agama ada penjelasannya, dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga ada, lalu dari Bareskrim Polri yang mengusut masalah itu, dan mendorong ke pengadilan juga ada. Lalu dari perwakilan organisasi yang anak buahnya membakar bendera dan organisasi lain yang anak buahnya membawa bendera ini saya kumpulkan jadi satu untuk berdialog. Dan alhamdulillah dialog berlangsung sangat santai, sangat bersahabat, dipenuhi sauatu kesadaran bahwa dialog semacam ini mencari kebenaran, semangat tabayun sangat dijiwai.
Lantas apa hasil yang dicapai dari dialog tersebut?
Ya kami sangat gembira karena telah terjadi kesepakatan bahwa, ini ada kesalahpahaman yang tidak boleh lagi terjadi di masa depan. Dan kemarin saya sampaikan bahwa, semua umat Islam yang merupakan mayoritas bangsa Indonesia, harus ikut bersama-sama dengan aparatur keamanan menjaga stabilitas. Stabilitas keamanan, stabilitas politik, taat hukum, ini menjadi kewajiban kita bersama. Agar apa? Agar negara kita damai, negara kita rukun, negara kita stabil. Karena dari stabil itulah kita bisa membangun. Alhamdulillah semuanya sudah menyadari masalah itu, sehingga kesimpulannya adalah semua sudah menerima dan semuanya sudah diselesaikan. Baik itu penyelesaian hukum, maupun penyelesaian organisasi dimana oknum-oknumnya terlibat masalah itu.
Kemudian juga Menteri Agama sudah menyampaikan bagaimana masalah akidah, masalah kalimat tauhid ini nanti akan dimusyawarahkan lebih luas lagi. Dan itu bukan domain pemerintah untuk ngatur, untuk menentukan tata cara pernghormatan kepada kalimat tauhid dan sebagainya.
Jadi saya kira, pertemuan kemarin walau hanya sekitar dua jam, tapi sudah menghasilkan sesuatu yang menurut saya fundamental, sesuatu yang strategis, sesuatu yang sangat penting untuk kita bisa bergerak ke depan. Saya juga tadi mengingatkan kepada teman-teman yang berdemonstrasi, hati-hati ya. Demonstrasi yang terkadang mempunyai niat baik, untuk membangun suatu pemahaman yang positif, terkadang dia ditunggangi oleh kelompok lain untuk kepentingan politik.
Anda menduga aksi demonstrasi yang ada beberapa waktu lalu ditunggangi. Apa buktinya?
Tadi saya tayangkan, untuk demonstrasi yang kedua kali itu, ternyata memang ditunggangi oleh kelompok-kelompok yang memanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu.
Siapa yang menunggangi aksi itu? Dimanfaatkan oleh teman-teman dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk tetap eksis berorganisasi. Untuk itu saya kira pertemuan semacam ini akan kami lakukan secara berkala, secara periodik. Agar kebersamaan kita, baik itu sesama umat Islam maupun antar agama tetap terjaga di Indonesia ini.
Anda bilang dalam pertemuan, seluruh peserta sepakat menilai telah terjadi kesalahpahaman. Apa maksudnya?
Ini kan yang dibakar itu ada satu bendera ya, yang kemudian ada tulisan “laa ilaaha illa Allah” dalam bahasa arab. Pembakar merasa itu bendera HTI, karena yang membawa juga memang mengaku dia membawa bendera HTI. Itu dalam konteks Garut, dua orang pembakar dan satu orang pembawa. Yang bawa ngaku bahwa itu bendera HTI, sementara yang membakar juga merasa itu bendera HTI. Dalam konteks hukum, bendera itu adalah bendera HTI. Tapi dalam konteks yang lebih luas, dalam konteks akidah dan tauhid, itu adalah bendera dengan tulisan "laa ilaaha illa Allah", jadi enggak boleh dibakar. Ini yang saya bilang enggak bisa dijadikan satu, karena dalam konteks yang berbeda. Maka dari itu kemarin saya jelaskan, semua orang Islam saat melihat tulisan "laa ilaaha illa Allah" kita hormati, kita cintai. Dalam konteks di Garut, jangan kemudian kita campuradukan. Sehingga kemarin sudah ada pemahaman soal itu. Supaya jangan sampai ada satu fakta hukum, yang didekati dari dua konteks yang dicampuradukkan. Ini yang membuat nanti kacau.
Selain bertemu dengan ormas Islam dan Menteri Agama, sebelumnya Anda juga menggelar pertemuan regional dengan beberapa negara jiran. Apa saja yang dibahas dalan pertemuan itu?
Pertemuan itu merupakan pertemuan lanjutan dari pertemuan serupa yang kami lakukan di Manado, pada 29 Juli 2017 yang lalu, dimana Indonesia adalah tuan rumah dalam pertemuan tersebut. Negara-negara yang hadir dalam pertemuan kali ini adalah Indonesia, Australia, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, Selandia Baru, Myanmar, Thailand, dan Singapura. Pertemuan kemarin dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri Australia, Bapak Hon Peter Dutton serta saya sendiri, dan diikuti oleh tujuh menteri atau setingkat menteri lainnya, dari negara-negara yang saya sebut tadi. Pertemuannya membahas upaya negara peserta dalam memberantas tindak terorisme, melalui penguatan kerja sama yang telah ada. Selain itu kami juga mencoba merancang program-program baru, yang perlu kami lakukan sehubungan dengan peningkatan ancaman terorisme yang menggunakan berbagai media, dan cara-cara baru, baik teknis maupun taktik mereka. Seperti kita ketahui bahwa, cara dan metodologi tindak terorisme telah berkembang. Bahkan kita lihat di Surabaya yang menggunakan keluarga, khususnya kaum perempuan dan anak-anak. Serta juga menggunakan teknologi yang semakin maju. Teknologi yang digunakan oleh masyarakat umum juga mereka gunakan, untuk melakukan suatu perencanaan tindak terorisme. Oleh karena itu, salah satu upaya yang juga dibahas adalah, bagaimana pemerintah bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, untuk menanggulangi terorisme itu. Selain itu, pertemuan itu juga membahas upaya bersama dalam menanggapi terorisme melalui media sosial. Di mana kita kerjasamakan dengan pihak swasta yang berkecimpung dalam bidang teknologi informasi. Hasil pertemuan ini akan kami tindaklanjuti pada Jakarta Working Group, yang terdiri atas pejabat-pejabat senior dari sembilan negara, yang bertugas membuat perencanaan dan monitoring kegiatan bersama.
SUMBER