
DEMOKRASI.CO.ID - Warga Papua pendatang dari berbagai daerah mulai angkat kaki dari rantauan di Wamena, Ibu Kota Jayawijaya, Papua. Bertahun-tahun mereka merajut kebhinnekaan, hidup rukun, dan ikut membangun perekonomian.
Ada yang menyebut Papua adalah kampung Pancasila karena semua suku dan agama hidup berdampingan. Mereka jauh dari kebisingan politik Ibu Kota. Mereka satu adalah NKRI. Namun, pengacau datang memorak-porandakan kehidupan mereka yang sudah harmonis.
Pengacau itu bernama Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), sebagian lagi menyebut Kelompok Sipil Bersenjata (KSB), dan lainnya dengan nama Kelompok Separatis. Apa pun namanya, mereka datang mengoyak NKRI dengan menebar teror, ancaman pembakaran, pengusiran, hingga jatuhnya pembakaran massal pada Senin (23/9).
![]() |
Petugas kesehatan melayani warga di RSUD Tiom. Foto: Antara |
Misi mereka memang ingin membuat warga Papua dan non-Papua tidak nyaman lagi di Tanah Wamena. Bahkan juga di Lanny Jaya, Tolikara, dan Yalimo. Mereka membuat kerusuhan hingga warga memilih angkat kaki. Di daerah lain di Papua dan Papua Barat juga hampir sama. Namun, krisis di Wamena tergolong paling parah.
Data terbaru ACT menyebutkan, saat ini sudah ada 10.000 orang mengungsi serta 2.589 eksodus. Sementara harta benda terbakar ada 224 mobil, 150 motor, 165 rumah, 465 ruko, 5 perkantoran, dan 15 perkantoran rusak berat. Korban jiwa 33 orang dan 77 luka-luka.
![]() |
Evakuasi korban demo anarkis dari Wamena. Foto: Antara |
Data lain menyebutkan, pengungsi tercatat 8.617 warga yang dipusatkan di Kota Wamena, Sabtu (28/9). Selain warga Wamena, ribuan warga dari wilayah Kabupaten Tolikara, Yalimo, dan Lanny Jaya, juga angkat kaki dari kampung mereka.
Sedih ketika melihat mereka para pendatang yang sudah lama hidup berdampingan dengan warga asli Papua, sudah dianggap seperti saudara. Namun mereka mulai berkemas dan menuju bandara untuk mengungsi….
Haruskah ada kalimat “Selamat Tinggal Wamena?” Atau mereka harus bertahan dari teror dan ancaman para pengacau? Namun, pulang kampung halaman juga tidak mudah. Mereka tidak punya apa-apa lagi.
![]() |
Evakuasi korban aksi demo di Wamena ke Jayapura, Selasa (24/9). Foto: Antara |
Meski aparat sudah memberikan jaminan keamanan, namun sebagian besar harta mereka habis dibakar. Mereka juga trauma melihat dengan mata kepala kios dan tempat tinggal hangus dalam kerusuhan di Wamena. Mimpi buruk itu kini nyata di pengungsian, mereka butuh uluran tangan.
Menurut Komandan Distrik Militer 1702 Jayawijaya Letkol Inf Candra Dianto, warga yang mengungsi hanya membawa baju di badan. Bantuan pangan pokok dari pemerintah untuk pengungsi korban kerusuhan Wamena, baru difokuskan ke satu posko pengungsian. Padahal, ada 25 titik pengungsian di Wamena dari empat wilayah, yaitu Wamena, Tolikara, Yalimo, dan Lanny Jaya.
“Kami minta informasi ini disebarkan seluas-luasnya agar banyak pihak yang tergerak untuk membantu para korban yang kini tengah mengungsi,” katanya melalui telepon seluler, dilansir dari Antara. (Aza)
![]() |
Eksodus Wamena turundari pesawat milik TNI AU, Jumat (27/9). Foto: Antara |