logo
×

Kamis, 26 September 2019

Jurnalis Dilindungi UU Pers, Polisi Kok Main Pukul Saja?

Jurnalis Dilindungi UU Pers, Polisi Kok Main Pukul Saja?

DEMOKRASI.CO.ID - Empat jurnalis tercatat menjadi korban kekerasan dan intimidasi saat melakukan peliputan aksi demonstrasi di sekitar Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, pada Selasa (27/9/2019). Tak hanya oleh polisi, intimidasi dan kekerasan juga dilakukan massa yang tak diketahui asalnya.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mencatat setidaknya ada empat wartawan yang menjadi korban kekerasan dan intimidasi saat melakukan peliputan. Mereka adalah jurnalis Kompas.com, Nibras Nada Nailufar, jurnalis IDN Times Vanny El Rahman, jurnalis Katadata Tri Kurnia Yunianto, dan jurnalis Metro TV, Febrian Ahmad.

Jurnalis Kompas.com, Nibras Nada Nailufar yang akrab disapa Ajeng kepada reporter Tirto menceritakan kronologi saat ia mendapatkan intimidasi dari aparat.

Saat itu, Ajeng baru kembali dari Graha Jalapuspita yang lokasinya berada di seberang Taman Ria Senayan. Ia berencana pulang ke kantornya dengan melewati Jalan Gerbang Pemuda.

"Pas sampai di bawah flyover Ladokgi, suasana memanas. Polisi di atas flyover sudah siap menembak ke arah massa," ucap Ajeng, pada Rabu (25/9/2019).

"Setelah saya teriak, saya wartawan, saya disuruh masuk ke JCC. Karena rupanya Jalan Gerbang Pemuda sudah penuh gas air mata," kata Ajeng menambahkan.

Ajeng berkata, ia melihat polisi dan tentara yang kewalahan menghadapi massa yang jumlahnya cukup banyak. Adapula di tempat tersebut, polisi dan tentara yang sedang beristirahat akibat terkena gas air mata.

Ajeng bahkan melihat ada tiga orang yang digiring polisi berseragam Brimob berwarna hitam. Tak diketahui pasti apakah ketiga pria itu mahasiswa atau bukan.

"Pertama, seorang pria yang mungkin usianya sudah di atas 30 tahun mengenakan kaos dan celana panjang. Tubuhnya sudah lunglai dan dipapah secara kasar oleh polisi. Saya merekam itu dari balik dinding kaca JCC," ucap Ajeng.

Ajeng pun sempat ditegur seorang perwira polisi karena melihat aktivitas yang dilakukan Ajeng. Polisi itu memaksa Ajeng berhenti merekam dan meminta agar menghapus hasil rekaman videonya. Ia pun melawan dengan mengatakan bila ia adalah wartawan dan pekerjaanya dilindungi UU Pers.

Namun, Ajeng tak dihiraukan oleh aparat tersebut.

"Saya teriaki balik kalau saya dilindungi UU Pers. Dia tetap memaksa hapus, tapi saya tolak dan saya berjalan pergi keluar," kata Ajeng.

Saat berjalan keluar, Ajeng kembali melihat seorang pria yang telah basah kaos hingga badan-badannya sedang digiring aparat. Ia berjalan lemas dengan muka dan rambut basah. Ajeng masih merekam hingga ia melihat belasan anggota polisi sedang menyeret seorang pria yang tak mengenakan pakaian menendang, memukul bahkan menginjak pria tersebut.

Tak tega, Ajeng spontan berteriak agar polisi berhenti melakukan pengeroyokan hingga para polisi itu sadar sedang direkam. Teriakan Ajeng justru menjadi sasaran amarah polisi yang menghardiknya untuk tak merekam bahkan merampas ponselnya.

"Salah seorang komandannya meminta saya untuk menghapus. HP saya coba dirampas, namun saya segera memasukannya ke balik pakaian dalam," kata Ajeng.

Ajeng bahkan sempat mengalami kekerasan di mana tangannya ditarik bahkan hampir diserang. Beruntung, ia langsung diselamatkan salah seorang komandan polisi yang melakukan pengeroyokan tersebut.

"Tas saya ditarik, tangan saya ditarik, mereka nyaris menyerang sampai akhirnya komandannya itu melindungi saya dan membawa saya ke dalam JCC. Saya diminta menghapus video dan diminta mengerti bahwa pasukan Brimob sedang mengamuk,” kata Ajeng.

Hal yang sama juga dialami reporter Katadata.co.id, Tri Kurnia. Ia dipukul aparat saat merekam kericuhan di sekitar kawasan Palmerah-Gelora Bung Karno.

Tri menceritakan saat itu posisinya sedang berada di warung makan yang ada di area belakang kawasan Gedung DPR/MPR. Warung makan ini memang dekat dengan jalan raya yang menjadi tempat kerusuhan antara polisi dan massa pengunjuk rasa.

Ia pun langsung bergerak saat melihat polisi berupaya membubarkan massa dengan menggunakan gas air mata dan mobil water canon.

“Saat itu saya berusaha merekam dengan kamera handphone,” kata Kurnia kepada reporter Tirto.
Tiba-tiba, kata dia, beberapa polisi menghampiri dirinya dan melakukan pemukulan.

Kurnia dituduh sebagai mahasiswa yang mengambil video untuk memprovokasi massa. Padahal Kurnia sudah menjelaskan bahwa dia merupakan jurnalis yang sedang melakukan peliputan dan menunjukkan kartu identitas pers yang bergelantung di lehernya.

"Mungkin saya mendapatkan 5-7 kali pukulan dan tendangan di bagian kepala bagian atas, pelipis kanan dan kiri. Selain itu, sempat merasakan sekali jambakan rambut bagian atas. Bagian dada sebelah kanan juga dipukul. Paha kanan dan kiri merasakan tendangan [ada bekas sepatu di celana sebelah kiri]” kata dia.

Menurut Kurnia, polisi yang menganiaya dari kesatuan Brimob. Namun ia tidak tahu jumlahnya berapa dan siapa saja namanya. Pasalnya, ia sedang dalam keadaan panik dan berusaha melindungi kepalanya dari pemukulan.

Ia pun diselamatkan oleh salah seorang polisi, namun sempat dilakukan interogasi.

Kurnia diminta untuk menghapus video yang telah direkamnya itu. Polisi lainnya yang ada saat ia diinterogasi juga menelpon redaktur Kurnia untuk memastikan lagi bahwa Kurnia adalah seoramg jurnalis. Setelah itu, Kurnia pun dilepaskan.

"Ya cuma ditanya dari media mana sama disuruh telepon atasannya untuk mengkonfirmasi saja sih. Untung juga ditolong komandan Brimob, diantar ambil motor setelah itu. Kalau enggak, ya mungkin bisa lebih parah," ucapnya.

Nasib serupa dialami wartawan IDN Times, Vanny El Rahman. Ia ditendang dan dipaksa menghapus foto serta video di ponsel miliknya saat meliput aksi demonstrasi di flyover Slipi, sekitar pukul 21.40 WIB pada Selasa malam.

Ketika itu polisi memukul mundur demonstran. Vanny mengaku melihat polisi menangkap satu orang demonstran. Polisi itu mendekap kepala demonstran sebelum memukulnya dengan tameng dari belakang.

Vanny pun merekam kejadian tersebut hingga akhirnya polisi memintanya untuk menghentikan rekamannya. Dua polisi tiba-tiba menghampirinya dan langsung menganiaya dia. Ia ditendang dan kartu pers-nya ditarik paksa.

Vanny juga diminta menghapus video dan foto yang ada pada hp-nya. Vanny sempat menolak menghapus dan beradu mulut dengan polisi.

"Kamu enggak tahu apa yang mereka [demonstran] lakukan? Kamu dikasih hati malah minta begini," kata Vanny menirukan ucapan polisi saat dihubungi reporter Tirto.

Tak hanya polisi, kekerasan juga dilakukan massa pengunjuk rasa. Hal ini dialami jurnalis Metro TV, Febrian Ahmad yang dianiaya massa yang tidak diketahui identitasnya.

Saat itu, mobil yang digunakan Febrian saat meliput di wilayah Senayan dipukuli dan dirusak massa. Akibatnya, kaca mobil Metro TV bagian depan dan belakang, serta kaca jendela pecah semua.

AJI Kutuk Keras Penganiayaan Terhadap Jurnalis

AJI Jakarta mengutuk keras segala bentuk kekerasan yang dilakukan kepada jurnalis, baik yang dilakukan aparat maupun massa. Sebab, kekerasan yang dilakukan polisi dan massa itu merupakan tindakan pidana sebagaimana diatur UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta, Erick Tanjung mengatakan lembaganya terus melakukan verifikasi kekerasan yang dialami sejumlah jurnalis saat meliput aksi mahasiswa, pada Selasa kemarin.

Erick berkata, AJI Jakarta mendesak kepolisian menangkap pelaku kekerasan terhadap jurnalis saat meliput.

“Semua pelaku kekerasan terhadap jurnalis harus diproses hukum untuk diadili hingga ke pengadilan,” kata Erick kepada reporter Tirto.

Selain itu, kata Erick, AJI Jakarta juga berharap perusahaan media mengutamakan keamanan dan keselamatan jurnalisnya saat meliput aksi massa yang berpotensi ricuh.

AJI juga meminta mereka aktif membela wartawannya termasuk melaporkan kasus kekerasan yang dialami karyawannnya ke polisi.

Respons Normatif Polisi

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Argo Yuwono mengklaim apa yang dilakukan polisi sejatinya untuk melindungi wartawan.

Menurut Argo, aparat di lapangan memang seharusnya cukup memberikan peringatan, tanpa melakukan kekerasan terhadap jurnalis yang sedang meliput kerusuhan.

Karena itu, Argo meminta agar jurnalis yang mengalami tindak kekerasan oleh polisi untuk melapor ke Polda Metro Jaya.

“Kalau memang ada yang merasa ada yang dianiaya, silakan laporkan ya," ucap Argo di Mapolda Metro Jaya, Rabu (25/9/2019). [tir]
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: