
DEMOKRASI.CO.ID - Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Taufiqurrahman Ruki meminta Presiden Joko Widodo untuk segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terhadap UU KPK hasil revisi. Menurutnya, situasi KPK sangat dilemahkan bila UU tersebut sudah berlaku.
"Pemberantasan korupsi tidak akan berjalan bila Presiden tak memiliki strong commitment. Jadi Pak Presiden harus keluarkan perppu," kata Ruki di Galeri Cemara, Jakarta Pusat, Jumat, 4 September 2019.
Ruki juga mengingatkan, Jokowi tidak perlu takut ancaman pemakzulan seperti dikatakan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Karena, Ruki menilai, tidak ada pelanggaran konstitusi jika Presiden Jokowi mengeluarkan perppu.
"Perppu kan konstitusional diatur UU, Presiden berwenang menerbitkan perppu tanpa berunding DPR, dan hak DPR hanya setuju dan tidak tak ada memperbaiki. Kalau tidak, rakyat akan melihat siapa yang menolak itu," tuturnya.
Dia tak setuju dengan pernyataan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh. "Jadi, Pak Surya Paloh bilang gitu mau dimakzulkan pakai apa? Dimakzulkan itu kalau Presiden melakukan pidana, itu pun harus lewat MK," kata Ruki.
Diberitakan sebelumnya, Surya Paloh mengatakan proses UU KPK hasil revisi sebaiknya diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Karenanya, bila Jokowi terus didesak mengeluarkan perppu bisa-bisa malah Presiden dimakzulkan.
"Presiden kita paksa keluarkan perppu, ini justru dipolitisasi. Salah-salah Presiden bisa di-impeach (dimakzulkan), Salah-salah lho. Ini harus ditanya ahli hukum tata negara. Coba deh," ujar Surya di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 2 Oktober 2019.
Namun, menurut ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, pemakzulan seperti dinyatakan Surya Paloh tidak dapat terjadi. Sebab, Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan punya masa jabatan yang jelas. Berbeda dengan era sebelum amendemen UUD 1945 pada 1999-2002.
"Karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan punya masa jabatan yang jelas. Jadi Presiden saat ini tidak bisa dijatuhkan di tengah masa jabatannya karena alasan politik, berbeda kerangka konstitusionalnya dengan, misalnya, waktu Presiden Abdurrahman Wahid yang dijatuhkan oleh MPR," kata Bivitri.
Bivitri pun mengaku heran dengan ramainya ragam permintaan agar Presiden tak mengeluarkan perppu. Sebab, pada zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY dikeluarkan 20 kali perppu. Sementara itu, zaman pemerintahan Presiden BJ Habibie tiga kali mengeluarkan perppu.
"Saya heran kenapa baru kali ini diributkan penerbitan perppu. Sebelumnya perppu ormas dan perppu kebiri tak mendapatkan penolakan," ujar Bivitri. [vin]