
Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
‘’Fiqh itu penuh ikhtilaf!” Kalimat ini pertama kali saya dengar langsung dari mendiang Gus Dur. Bagi saya yang dahulu sempat belajar hukum saat itu terkejut-kejut. Pernyataan Gus Dur di kantor PBNU, Kramat Raya, sebelum di renovasi membuat saya terkaget-kaget. Bayangan saya hukum itu serba tegang dan hitam putih runtuh secara total.
Hukum yang dalam bahasa Arabnya disebut 'Fiqh' ternyata penuh perbedaan pendapat. Bahkan dari awal,para imam empat mahzab masih hidupp, Hambali, Syafii, Maliki, dan Hanafi mereka sudah terbiasa soal beda pendapat. Bahkan kisahnya bila ada seseorang yang membandingkan fatwa di antara salah satu fuqoha itu, keempat imam Mahzab itu selalu memandang: ikuti pendapat dia sebab itu mungkin yang benar. Jadi mereka sangat menghormati pendapat fuqoha yang lainnya. Bukan malah mem-bully dengan menyatakan yang tak sejalan sebagai sesaat seperti kelaziman kegeraman masyarakat di media sosial saat ini.
Lalu apakah ini pernah terjadi di Indonesia masa kini. Jawabnya memang begitu. Mari kita pelan-pelan mengurutnya. Agar tak terlalu jauh kita ikuti kisah mulai dari zaman Buya Hamka di akhir 1970-an hingga sekarang.
Dalam soal buya Hamka yang kala itu menjabat sebagai Ketua Umum MUI sempat membuat kontroversi soal halam haram. Salah satu contohnya adalah soal kebolehan soal perayaan Natal bersama. Saat itu Buya Hamka mendapat pertanyaan publik jamaahnya di mana banyak Muslim yang menjadi pegawai negeri atau swasta ‘terpaksa’ ikut perayaan hari besar keagamaan ini. Mereka tidak bisa menolak karena keputusan instansi atau lembaga. Lagi pula saat itu juga sudah muncul kekhawatiran soal toleransi yang di masa kini sering dikaitan dengan sikap radikal.
Sebagai ulama kondang dan aktif mengelola pengajian di Masjid Al Azhar Kebayoran Baru banyak jamaahnya yang bertanya soal ini kepadanya. Saat itu Buya Hamka menyatakan melarangnya (haram) karena Muslim dilarang ikut prosesi ibadahnya orang lain. Pendapat ini menasional selain karena Buya Hamka sebagai Ketua Umum MUI, dia juga mengelola media Panji Masyarakat yang saat itu sangat berpengaruh kepada persepsi kaum Muslim Indonesia. Saa itu juga partai islam (PPP) juga sedang kuat-kuatnya dengan selalu memenangkan pemilu yang wilayah Jakarta dan Aceh.
Tentu saja banyak yang gerah. Saat itu Buya Hamka juga terkesan jengah kepada jargon: Semua agama itu sama saja. Terkesan Buya Hamka intoleran. Akibatnya, dia tak disukai (kesan ini juga kini ada dalam soal kontroversi perkataan salam dalam pidato pejabat).
Akibatnya, dalam sebuah pertemuan dengan pejabat Orde Baru untuk membahas soal agama itu dia dicuekin. Buya Hamka diundang dan datang dalam pertemuan itu, tapi tak diberi kesempatan bicara. Dia hanya menontin saja tanpa diajak bicara mengenai pendapatnya. Maka dia pun langsung pamit pulang. Sembari ke luar dari pertemuan itulah Buya Hamka menteapkan hati untuk menanggalkan jabatan Ketua Umum MUI. ''Saya sudah sudah tak diperlukan lagi,'' kata Buya Hamka.
Pada sisi lain, dengan kisah itu diam-diam Bua Hamka membuktikan dirinya tetap istikamah (konsieten) saat dahulu memutuskan diri menerima permintaan pemerintah Orde Baru dengan menjadi Ketua Umum MUI. Saat itu pun sebenarnya para petinggi Ormas Islam keberatan bila Hamka menjadi ketua umum MUI. Dalam sebuah pertemuan dengan para petinggi organisasi Islam kala itu, Buya Hamka pun sudah diminta agar menolak jabatan bergengsi itu.
‘’Seperti ilalang, kalau Buya rebah kami pun rebah,’’ begitu tamsil dari M Nastir yang dalam pertemuan itu mewakili ormas Islam yang menyarankan agar Buya Hamka menolak jabatan ketua MUI dari rezim Orde Baru.
Di kemudian hari hal inilah yang dibuktikan oleh Buya Hamka ketika mengambil tindakan untuk menanggalkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI. Sit UAS i ini persis ketika Buya Hamka bersedia menjadi imam dalam shalat jenazah Soekarno padahal dia dahulu di masa pemerintahnya di penjara cukup lama tanpa pengadilan. Padahal tuduhan dari rezim Soekarno saat itu sangat seram, yakni melakukan makar.
Maka, ketika menyatakan berhenti dari Ketua Umum MUI, Buya Hamka terlihat ingin memperlihatkan sikap kearifan yang sama kepada rezim Orde Baru. Dia menunjukan sikap tersendiri, yakni pendapatnya tak bisa 'dibeli'.
Dan sering dengan beranjak waktu polemik ini pun berapa lama terus menggantung dan kemudian hilang begitu saja. Masyarakat melupakannya seiring dengan begitu banyak soal dalam kehidupan mereka sehari-hari. Fatwa Hamka memang sekedar menjadi fatwa (pendapat) belum menjadi hukum karena tidak ada dalam undang-undang dan peraturan lainnya. Karena itu masyarakat pun perlahan terlupa. Di benak warga Muslim cuma mencatat sikap konsisten dan kearifan Hamka yang mendapat gelar anugerah doktor dari Universitas Al Azhar di Mesir itu.
Setelah kasus fatwa Hamka menghilang, di kemudian hari muncul kembali soal ‘haram-halal’ yang membuat ribut publik. Hal itu terkait soal posisi judi bagi umat Islam. Untuk soal ini menjadi perhatian publik karena kala itu terkait sosok undian sejenis lotere, yakni Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Di satu pihak yakni pemerintah menganggapnya bukan judi karena itu bagian dari pengumpulan dana sebagai sumbangan untuk kegiatan olah raga.
Di pihak lain, banyak orang mengatakan itu sebenarnya judi karena mengandung unsur ‘maisir’ dan mengharap hadiah besar, yang saat itu bisa mencapai Rp 1 milyar. Iming iming mendapat segepok duit dengan mudah bagi masyarakat memang sangat menggiurkan.
Tapi kemudian, protes kepada SDSB ini muncul dimana-mana. Raja dangdut Rhoma Irama ketika tampil di televisi untuk pertama kali setelah ‘dicekal’ TVRI’ selama bertahun-tahun melantunkan lagu bertajuk ‘Judi’. Saat itu orang ramai ramai menirukan gaya Oma berlagu dan bergitar: "Judi..ngeek, Menjanjikan kekayaan,,Ngek.. Bohong, walaupun kau menang itu awal dari kekalahan..Judi... ngeeeek”
Nah soal pro kontra judi dan SDSB ini berlangsung cukup lama (dahulu saat gubernur DKI Jakarta di jabat Ali Sadikin sebenarnya masalah serupa ini juga sudah ada). Pro kontra terus terjadi. Setiap malam Rabu malam para sopir angkutan menjelang pukul 23.00 WIB kerap berteriak: “Lebaran-lebaran!” Ini sebagai tanda di radio seusai berita khusus olah raga, akan segera ada pengumuman soal nomor undian SDSB yang ke luar. Siapa yang punya kupon bernomor cocok dengan itu akan mendapat uang yang lumayan besar.
Alhasil, soal SDSB saat itu memang menciptakan keriuhan masif. Lapak kupon SDBS di temukan di mana-mana hingga pelosok kampung. Di sumur tua yang berada di dekat rumah saya misalnya, entah mengapa mendadak tiap malam Selasa banyak orang ‘menyepi’ di sana. Katanya lagi mencari wangsit nomor atau kode SDSB yang bagus. Di tempat lain banyak dukun dadakan muncul dan orang gila ditanyai soal SDSB. Bahkan kode nomor 'undian jagoan' yang ada di alam amplop tertutup di jual di pelataran plaza, pasar, dan tempat keramaian. Suasana masyarakat zaman SDSB riuh rendah dan meriah.
Dan masyarakat Muslim yang menganggap judi haram juga terus melawannya. Bahkan di awal dekade 1990-an muncul demontrasi yang sangat besar yang berisi tuntutan agar SDSB dibubarkan. Demontrasi massa ini semula muncul dari Yogyakarta, tapi kemudian merembet ke Jakarta dan kota-kota lain. Publik pun gelisah karena demontrasi terus belanjut.
Bagaimana dengan sikap elit agama? Saat itu juga ikut terbelah. Gus Dur sebagai seorang ulama menganggap SDSB itu halal dan bukan judi. Dia mengibaratkan (menta'wilkan) SDSB yang dilakukan pemerintah itu layaknya perilaku bumi yang menyerap segala hal yang buruk dan kemudian menggantinya dengan segala hal yang baik. Dengan kata sederhana: uang yang didapat dari SDSB karena dilakukan pemerintah adalah uang halal. Pendapat Gus Dur ini unik karena kala itu Gus Dur cenderung berseberangan dengan pemerintah orde baru yang dipimpin Presiden Soeharto.
Namun, pendapat ini berbeda terbalik dengan tokoh NU asal Sulawesi Selatan saat itu: KH Ali Yafie. Meski kemudian terkesan pro kepada pemerintah, kiai berpengaruh ini berbalikan sikap dengan Gus Dur: Ali Yafie menfatwakan SDSB itu judi. Dan judi hukumnya haram.
Nah, karena tekanan demonstrasi dan adanya pendapat Kiai Ali Yafie serta kebetulan situasi politik rezim mulai ‘merapat ke Islam’, akhirnya oleh Soeharto SDSB dibubarkan. Mimpi ‘berlebaran' di setiap rabu malam pun saat itu kandas. Saat itu penggemar SDSB juga banyak yang menggerutu: “Pemerintah kejam, masa mimpi punya duit dan kaya saja kok dilarang?”
Setelah polemik SDSB di masa usai reformasi soal kontroversi halal dan haram muncul kembali. Kali ini ‘bertanding’ dua pendapat, yakni antara Gus Dur dan KH Sahal Mahfud yang saat itu menjadi Ketua MUI. Ini terkait soal bumbu masak yang terindikasi terbuat dari gelatine yang salah satu unsurnya difermentasikan melalui daging babi.
Gus Dur dalam soal ini membolehkannya, Kia Sahal menenang dan mengatakan kalau gelatine masih menggunakan media daging babi maka itu haram dikonsumsi Muslim. Dan si produsen itu harus menghapus label haram dari barang produksinya. Akhirnya, polemik kemudian berhenti ketika si produsen dikabarkan sudah menggantinya pembuatan gelatine yang tak lagi melalui media daging babi, melainkan melalui daging ayam.
Dan memang soal pro kontra terus belanjut. Soal lain misalnya dalam masalah bank syariah itu sama saja dengan bank konvensional yang riba. Ada seorang tokoh agama yang kemudian lantang berseru bank syariah juga haram: sama saja dengan bank konvensional. Tapi pendapat ini kemudian reda sendiri karena tiba-tiba ada kabar bila orang tersebut saat itu kemudian menjadi komisaris dalam bank syariah. Pada soal lain juga ada yakni soal poligami.
Alhasil, bila kini ada fatwa haram-haram dari Ustadz Somad (UAS), mulai dari patung, cadar, celana cingkrang, dan catur tak usah dibuat repot. Sebab, apa yang dikatakan itu pernah dilakukan para pendahulunya, misalnya Buya Hamka yakni sama-sama menjawab pertanyaan jamah pengajiannya atas hukum (fiqh) soal tertentu sehari-hari. Lagi pula semua permainan itu hukumnya 'mubah' bukan? Jadi mudah baru menjadi halal bila dilakukan untuk kebaikan dan menjadi haram bisa membuat keburukan dan 'mudharat' bahkan 'munkarat'.
Maka lihatlah semua ini dengan lapang dada karena memang semudah itu. Ingat lagi pesan Gus Dur: Fiqh itu penuh ikhtilaf. Maka jangan baperan sebab bila gampang ‘membawa perasaan’ itu tandanya tengah main politik
Halah, gitu saja kok repot!

