logo
×

Minggu, 17 November 2019

Ini Tanda-tanda Ekonomi Indonesia Mulai 'Lampu Kuning'

Ini Tanda-tanda Ekonomi Indonesia Mulai 'Lampu Kuning'

DEMOKRASI.CO.ID - Ekonomi Indonesia tercatat stagnan di angka 5% dalam beberapa tahun terakhir. Meski stagnan, pemerintah kerap mengatakan ekonomi Indonesia masih cukup baik lantaran bisa bertahan di level 5% saat negara lainnya justru tumbuh minus.

Namun, berbagai indikator perekonomian nasional saat ini faktanya menunjukkan tanda ekonomi Indonesia mulai masuk 'lampu kuning'. Indikator-indikator tersebut menunjukkan bahwa ekonomi nasional saat ini tengah lesu.

Meski risiko resesi masih jauh, namun bukan berarti ekonomi Indonesia saat ini masih baik-baik saja. Hal ini bisa dilihat dari level konsumsi nasional.

Mengutip CNBC Indonesia, Sabtu (16/11/2019), konsumsi rumah tangga kuartal III-2019 tercatat menyumbang 56,52% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Namun terpantau terjadi perlambatan pada level tersebut.

Apa perlambatan tersebut? Simak informasi selengkapnya di halaman berikutnya:

Hal tersebut terkonfirmasi dari data penjualan otomotif terbaru. Pada Oktober, penjualan mobil turun 9,5% year-on-year (YoY). Sudah empat bulan beruntun penjualan mobil berada di teritori negatif.Sementara penjualan sepeda motor turun 2% YoY pada Oktober. Dalam tiga bulan terakhir, penjualan motor terlihat dalam tren menurun.

Data lain yang bersifat lebih makro seperti Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) juga mencerminkan bahwa optimisme masyarakat terhadap perekonomian dalam negeri terus tergerus.

Angka IKK terus menurun dalam lima bulan terakhir. Pada Oktober, IKK mencatatkan angka terendah sejak Februari 2017.

Selain IKK, penjualan ritel dalam negeri juga tumbuh minimalis. Bank Indonesia (BI) mengumumkan sepanjang September tahun ini, penjualan ritel hanya tumbuh 0,7% YoY.

Angka tersebut tercatat melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 1,1% dan menjadi laju terlemah sejak Juni 2019.

Hal ini juga terkonfirmasi dari data BPS beberapa minggu lalu yang mencatat konsumsi rumah tangga penduduk Indonesia melambat dengan hanya tumbuh 5,01% YoY pada kuartal III-2019 dari sebelumnya tumbuh 5,17% YoY di kuartal II-2019. Ini menjadi laju terlemah sejak setahun lalu, tepatnya kuartal III-2018.

Perlambatan konsumsi rumah tangga terjadi hampir di seluruh aspek pengeluaran, terutama pakaian, alas kaki dan jasa perawatan. Selain data konsumsi yang menunjukkan perlambatan, aktivitas ekspor dan impor juga mengalami perlambatan.

BPS mengumumkan ekspor Oktober 2019 terkontraksi atau turun 6,13% year-on-year (YoY) dan impor turun 16,39% YoY. Ini membuat neraca perdagangan surplus US$ 160 juta.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan angka defisit neraca perdagangan sebesar US$ 300 juta. Sementara konsensus dari Reuters dan Bloomberg juga meramal terjadi defisit masing-masing US$ 280 juta dan US$ 240 juta.

Sulit untuk merayakan surplus neraca perdagangan ini, karena kinerja ekspor masih belum membaik. Kontraksi ekspor Oktober menggenapi penurunan ekspor yang terjadi selama 12 bulan alias setahun.

Tak hanya ekspor, impor juga turun, bahkan lebih dalam. Pada Oktober, impor bahan baku/penolong turun 18,76% YoY sementara impor barang modal turun 11,35%. Impor bahan baku dan barang modal akan berubah menjadi realisasi investasi dalam tempo beberapa bulan ke depan.

Secara bulanan (month-on-month/MoM), impor bahan baku/penolong masih naik 6,17%. Namun impor barang modal turun 5,87%. Dalam setahun terakhir, rata-rata pertumbuhan impor barang modal hanya 0,58% MoM, sementara bahan baku/penolong malah terkontraksi 0,96%.

Perkembangan impor bahan baku/penolong dan barang modal yang agak mengkhawatirkan ini membuat prospek investasi menjadi samar-samar. Tentunya hal tersebut menimbulkan pertanyaan pada investasi yang diharapkan bisa tumbuh lebih tinggi.[dtk]
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: