
DEMOKRASI.CO.ID - Sektor pertanian berpotensi tak bisa diandalkan di masa depan. Sebab, Indonesia diprediksi mengalami krisis jumlah petani dalam kurun waktu 10-15 tahun mendatang.
Alih generasi sektor pertanian kepada kaum milenial menjadi perhatian serius. Saat ini rata-rata petani di Indonesia berusia 47 tahun ke atas.
"Rata-rata petani di Indonesia berumur 47 tahun. Petani Indonesia akan menjadi krisis pada 10-15 tahun mendatang," kata Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria seperti dikutip Minggu (17/11/2019).
Persoalan ini pun menjadi topik pembahasan dalam pertemuan menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo di kantor Kementerian Pertanian. Menurut Arif, penguatan data menjadi kunci untuk mengurai masalah regenerasi petani.
"Akurasi data menjadi penting untuk mengambil keputusan. Soal data, kita akan terus gali, perkuat, terutama dalam pengembangan generasi petani," kata Arif.
Asal tahu saja, sejak tahun 1990-2018 kontribusi pertanian terhadap PDB turun drastis dari 22,09% menjadi sekitar 13%. Serapan tenaga kerja untuk sektor ini juga turun tajam dari 55,3% menjadi 31% pada periode yang sama.
Jadi krisis jumlah petani merupakan sebuah keniscayaan. Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa mengatakan ketika negara semakin maju yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan per kapita, maka terjadi juga perubahan struktural dari semula berbasis pertanian menuju industri dan jasa.
"Akibatnya, jumlah petani akan terus menurun. Apa itu dicemaskan atau tidak, sejarah pembangunan ekonomi di semua negara, selalu terjadi tren jumlah petani menurun, jadi itu suatu keniscayaan," kata Dwi Andreas.
Mentan Syahrul Yasin Limpo mengatakan persoalan margin di sektor pertanian membuat orang tak tertarik di bisnis ini.
Badan Pusat Statistik merilis keadaan ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2019. Berdasarkan lapangan pekerjaan utama, ada penurunan pekerja di bidang pertanian, kehutanan, perikanan.
BPS mencatat pada Agustus 2019, penduduk yang bekerja pada tiga bidang itu sebanyak 34,58 juta orang (27,33% dari seluruh lapangan pekerjaan utama). Angka itu turun 1,12 juta atau 1,46% dibandingkan Agustus 2018 yang tercatat 35,70 juta orang.
Upah Petani Kecil dan Miskin Terus
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan upah riil harian buruh tani pada Oktober 2019 naik 0,12% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi Rp 38.278. Kalau seorang buruh tani mendapatkan upah sebesar ini dan harus menghidupi keluarganya, maka niscaya mereka akan berada di bawah garis kemiskinan.
Sejatinya upah nominal buruh tani pada Oktober 2019 adalah Rp 54.515/hari. Namun dikurangi inflasi perdesaan, maka nilai riilnya menjadi Rp 38.278/hari.
Kalau seorang buruh tani bekerja 30 hari sebulan tanpa libur, maka dia akan menerima Rp 1.148.340. Memang relatif kecil, tetapi setidaknya masih di atas garis kemiskinan yang pada Maret 2019 sebesar Rp 313.232/kapita/bulan.
Namun kalau sang buruh tani sudah berumah tangga, situasinya akan berbeda. Dengan asumsi satu KK berisi empat orang, maka pendapatan keluarga buruh tani itu adalah Rp 287.085/kapita/bulan. Sudah di bawah garis kemiskinan.
Ini menjadi salah satu penyebab mengapa sektor pertanian semakin ditinggalkan. Rasional saja, siapa sih yang mau miskin?
BPS mencatat jumlah tenaga kerja di sektor pertanian pada 2018 adalah 38,7 juta orang. Dalam lima tahun terakhir, jumlah tenaga kerja di sektor ini terus menurun.
Cangkul 99% Impor
Di saat Indonesia harus menghadapi krisis petani, alat utama bertani pun harus diimpor dari China. Mengutip data BPS, total impor cangkul sepanjang Januari-Oktober 2019 mencapai US$ 106,13 ribu, dengan volume sebanyak 292,44 ton atau 292.444 kilogram (kg).
Secara rinci, impor cangkul tersebut berasal dari China sebanyak 291,44 ton atau setara 99,6% dengan nilai sebesar US$ 106.062. Sisanya hanya sebesar 7 kg yang berasal dari Jepang dengan nilai sebesar US$ 65.
Sementara itu, sepanjang tahun 2015-2018, impor cangkul seluruhnya berasal dari China. Pada 2015, nilai impor cangkul sebesar US$ 6.589 dengan volume sebanyak 14,3 ton atau sebesar 14.261 kg.
Kemudian impor cangkul naik tajam pada tahun 2016 menjadi sebesar US$ 187,06 ribu dengan volume sebanyak 142,8 ton atau 142.783 kg. Namun pada tahun 2017, nilai impor cangkul mengalami penurunan tajam menjadi US$ 794 dengan volume 2,32 ton atau 2.317 kg.
Pada tahun 2018, impor cangkul tercatat kembali naik menjadi nilai US$ 33.889 dengan volume sebanyak 78,1 ton atau 78.100 kg. Hingga pada akhir Oktober 2019 nilai impor cangkul menjadi US$ 106,13 ribu.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan menyebut izin impor yang diberikan dalam bentuk lembaran plat baja alias bahan baku untuk pembuatan cangkul. Persetujuan Impor (PI) yang diberikan sebanyak 400.000 kg pada 2019.
"Selama tahun 2019 hanya baru satu kali beri izin impor bahan baku untuk perkakas tangan, jadi baru berbentuk lembaran plat baja, belum diruncingkan, belum ada ujungnya, belum dicat, dan belum diberi merek," kata Dirjen Perlindungan Konsumen & Tertib Niaga (PKTN) Kemendag Veri Anggrijono dalam konferensi pers di Kantor Kemendag, Jakarta, Jumat (8/11/2019). [cnbc]