DEMOKRASI.CO.ID - Baru beberapa minggu lalu dilantik, Kabinet Jokowi-Ma’ruf ‘digoyang’ persoalan pengelolaan keuangan Asuransi Jiwasraya yang mengakibatkan BUMN tersebut gagal membayar polis bancassurance para nasabahnya.
Penempatan investasi yang diduga diwarnai kecurangan (fraud) mengakibatkan aset perusahaan itu turun drastis. Per Desember 2019, Jiwasraya bahkan dikabarkan gagal membayar klaim polis senilai Rp. 12,4 T. Ujungnya, perusahaan mengajukan suntikan penyertaan modal negara (PMN) senilai Rp. 32 T.
Sayangnya, koordinasi pemerintah dalam menghadapi krisis ini terkesan lemah. Di satu sisi, Kementerian BUMN berinisiatif melaporkan indikasi kecurangan dalam pengelolaan investasi perusahaan kepada Kejaksaan Agung. Ada niat dari Menteri BUMN Erick Thohir untuk menyelesaikan persoalan ini secara profesional sehingga jelas siapa yang harus mempertanggungjawabkan kesalahan di muka hukum.
Tetapi, ketika publik menunggu langkah cepat Kementerian BUMN dan Kejaksaan Agung dalam membongkar kasus tersebut, Presiden Joko Widodo mengeluarkan penyataan bahwa Asuransi Jiwasraya bermasalah sejak sepuluh tahun lalu atau sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tidak ada yang tahu persis motif Presiden ketika menarik persoalan ini ke wilayah politis.
Data laporan keuangan perusahaan menunjukkan bahwa hingga beberapa tahun lalu perusahaan ini tercatat memiliki profit yang baik. Pada tahun 2017, perusahaan ini masih mampu menggamit laba Rp. 2,35 T atau tumbuh 37,64% dibandingkan periode sebelumnya. Bahkan, kala itu, Jiwasraya sempat menjadi official partner dari klub bola kenamaan Inggris, Manchester City. Saat itu, perusahaan disebut-sebut mengandalkan penjualan produk bancassurance yang merupakan penopang premi tersebesar, hingga hampir 50 persen.
Karena itu, pernyataan Presiden pun dikaitkan dengan beredarnya informasi bahwa mantan Direktur Keuangan Jiwasraya periode 2013-2018 Hary Prasetyo pernah diangkat sebagai Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Kedeputian III (Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis).
Informasi tentang kiprah Hary Prasetyo di KSP ini tentu menjadi bola panas yang merugikan istana, sehingga perlu di-counter oleh pemerintah.
Berdasarkan informasi resmi dari situs ksp.go.id, Hary dilantik pada tanggal 1 Mei 2018, sekitar setahun sebelum Pilpres, berbarengan dengan pelantikan Ali Mochtar Ngabalin dalam jabatan sejenis.
Dalam kacamata Komisi VI DPR yang membawahi bidang BUMN, Hary Prasetyo dianggap ikut bertanggungjawab atas nasib Jiwasraya saat ini. DPR menilai Jiwasraya mengabaikan prinsip kehati-hatian saat menjual produk JS Saving Plan dalam kurun waktu 2014-2018 sehingga mengakibatkan kerugian bagi perusahaan dan nasabah.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Aria Bima bahkan mengusulkan pencekalan terhadap Direksi Jiwasraya 2013-2018 termasuk Hary Prasetyo.
Masalah menjadi kian pelik ketika respon pemerintah untuk menyelamatkan Asuransi Jiwasraya terkesan belum jelas.
Kementerian Keuangan menolak memberikan suntikan penyertaan modal untuk penyelamatan Jiwasraya. Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, menolak adanya kemungkinan suntikan penyertaan modal bagi perusahaan tersebut. Meski demikian, Presiden Jokowi menyatakan bahwa dia telah mendiskusikan skema penyelamatan Jiwasraya dengan Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan serta telah mendapatkan gambaran penyelesaiannya.
Sayangnya, skema penyelesaian yang disebut Presiden tersebut belum terjelaskan secara rinci kepada publik, khususnya pada nasabah yang berkepentingan mencairkan polisnya. Walhasil, kalangan pengamat pun mulai berspeksulasi tentang skema seperti apa yang ditawarkan pemerintah untuk menyelesaikan kasus ini.
“Seharusnya memang Kementerian BUMN yang mengambil alih sepenuhnya penyelamatan Jiwasraya. Salah satunya dengan cara menyuntikkan dana yang berasal dari deviden BUMN-BUMN yang disetorkan kepada pemerintah,” kata Aditia Febriansyah, pengamat ekonomi dari ISEI Jawa Barat kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (18/12).
Ke depan, kata Aditia, jangan sampai pemerintah tidak hanya bernafsu menarik deviden dari BUMN-BUMN, tetapi juga mengelola sebagai dana cadangan yang dapat dimanfaatkan ketika muncul kasus semacam yang terjadi pada Jiwasraya.
Dana cadangan tersebut bisa digunakan sebagai sumber talangan atas kewajiban jangka pendek atau bahkan sebagai suntikan modal, sehingga tidak membutuhkan lagi andil lebih jauh dari Kementerian Keuangan. Jangan sampai dikit-dikit minta tolong ke Bu SMI.”
Pertanyaannya, mengingat kebutuhan waktu yang mendesak, mampukah Erick Thohir menghimpun deviden BUMN-BUMN untuk kemudian disuntikkan ke Jiwasraya? (Rmol)