
DEMOKRASI.CO.ID - Sejak digarap Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2015 hingga kini perkara dugaan korupsi Pelindo II yang melibatkan mantan direktur utamanya, RJ Lino belum juga bisa masuk pengadilan.
Digarap sejak KPK dipimpin Agus Rahardjo cs hingga kini pimpinan KPK berganti era Firli Bahuri, alasan yang diungkap mengapa kasus Pelindo II tidak juga masuk pengadilan pun sama. Yakni sama-sama menunggu audit kerugian negara yang dikerjakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Menurut Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK, Ali Fikri, semakin lekas laporan penghitungan itu rampung, maka kian cepat pula penyidik melengkapi berkas perkara.
“Ya kami tunggu tentunya (laporan) penghitungan kerugian negara dan kami sangat mengapresiasi kalau memang itu nanti sudah selesai (dalam dua pekan lagi),” kata Ali Fikri kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat sore (03/01/2020).
Dengan begitu tim penyidik KPK bisa segera melanjutkan penyidikan. Proses pemberkasan juga jadi lebih cepat berjalan.
“Bisa dilakukan berkas tahap I ke jaksa peneliti, sehingga nanti kekurangannya apa, di mana, syarat formil dan materiilnya nanti diperiksa sama jaksa peneliti sehingga perkara ini bisa lebih cepat,” tukas dia lagi.
Ali menerangkan bahwa perkara dugaan korupsi proses pengadaan memang memerlukan waktu lama untuk mengusutnya. Karakter kasus ini berbeda dengan perkara dari hasil operasi tangkap tangan (OTT).
Untuk mengetahui kerugian negara, penyidik KPK pun harus memastikannya ke ahli-ahli yang paham secara teknis. Termasuk dengan BPK.
“Terkadang memang di case begini ini, saksi-saksi dan alat bukti yang penyidik peroleh sudah selesai. Tetapi yang berkaitan dengan pihak lain seperti BPK dan ahli teknis itulah yang butuh waktu,” tambahnya
Kasus yang menjerat RJ Lino ini telah bergulir sekitar empat tahun. Kendati sudah ditetapkan sebagai tersangka pada 15 Desember 2015 silam, RJ Lino hingga kini belum ditahan.
RJ Lino ditetapkan sebagai tersangka lantaran diduga memerintahkan pengadaan tiga QCC dengan menunjuk langsung perusahaan HDHM (PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery. Co.Ltd.) dari China sebagai penyedia barang.
Menurut KPK, pengadaan tiga unit QCC tersebut tidak disesuaikan dengan persiapan infrastruktur yang memadai (pembangunan power house), sehingga menimbulkan inefisiensi.
Terdapat potensi kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya 3.625.922 dolar AS atau sekitar Rp 50,03 miliar berdasarkan Laporan Audit Investigatif BPKP atas Dugaan Penyimpangan Dalam Pengadaan 3 Unit QCC Di Lingkungan PT Pelindo II (Persero) Tahun 2010 Nomor: LHAI-244/D6.02/2011 Tanggal 18 Maret 2011.
Terkait kasus ini, pada November 2019 Wakil Ketua KPK Alexander Marwata sempat mengutarakan pula di tengah Rapat Dengar Pendapat DPR bahwa bukti kasus masih kurang, yakni terkait perhitungan pasti kerugian negara. Hal ini yang kata dia membuat perkara belum dilimpahkan ke pengadilan hingga kini. [ipc]